Unduh Aplikasi panas
Beranda / Miliarder / Bukan Cinta Yang Kandas
Bukan Cinta Yang Kandas

Bukan Cinta Yang Kandas

5.0

Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Aveline de la Fontaine adalah mengikat janji suci dengan Damian Blackwood. Pernikahan mereka, yang telah berjalan selama tiga tahun, bukanlah didasari cinta, melainkan sebuah aliansi bisnis antara dua keluarga konglomerat. Namun, Aveline naif berharap Damian pada akhirnya akan melihatnya. Kenyataannya, hati Damian telah lama terkunci, hanya ada ruang untuk cinta masa lalunya, Clara. Demi sebuah harapan kosong, Aveline menekan ambisinya sendiri. Ia, seorang arsitek jenius lulusan terbaik, rela bekerja di bawah bayang-bayang perusahaan Blackwood, menyumbangkan ide-ide briliannya hanya agar nama Damian yang bersinar. Citranya di mata publik merosot dari seorang pewaris visioner menjadi istri yang menyedihkan dan haus perhatian. Titik baliknya tiba pada malam penganugerahan proyek terbesar tahun itu. Damian, di atas panggung, mendedikasikan penghargaannya untuk "inspirasi abadinya," Clara, sementara Aveline-yang sebenarnya merancang konsep kemenangan itu-duduk tak terlihat di antara penonton. Saat itulah Aveline sadar, ia telah membangun istana untuk pria yang salah. Tanpa menoleh ke belakang, Aveline mengajukan gugatan cerai. Ia mendirikan kembali firma arsitekturnya sendiri, merebut kembali nama "de la Fontaine" yang sempat ia tinggalkan. Ia tidak lagi mengejar cinta, melainkan mahakarya. Kesuksesan kembali memeluknya saat rancangannya untuk "Azure Spire," sebuah menara ikonik, mengalahkan proposal dari perusahaan Blackwood. Aveline kembali ke singgasananya, bukan lagi sebagai istri seseorang, tetapi sebagai arsitek yang karyanya dihormati dunia. Lantas, setelah membangun kembali mahkotanya dari puing-puing pengkhianatan dan membalas mereka yang meremukkannya, akankah Aveline membuka kembali gerbang hatinya yang kini dijaga kokoh oleh baja dan beton?

Konten

Bab 1 Architectural Innovator of the Year

Gemerlap lampu kristal di Grand Ballroom Hotel Mahameru terasa seperti ribuan mata yang menusuk. Bagi Aveline de la Fontaine, setiap pantulan cahaya di gaun sutra berwarna perak miliknya terasa seperti sebuah ejekan. Gaun itu, sebuah mahakarya desain yang minimalis namun tak bercela, dipilihnya bukan untuk menonjol, melainkan untuk menyatu dengan latar. Seperti perannya selama tiga tahun terakhir ini: menjadi latar belakang yang indah bagi suaminya, Damian Blackwood.

Malam ini adalah malam penganugerahan "Architectural Innovator of the Year", sebuah ajang paling bergengsi di industri mereka. Perusahaan Blackwood dinominasikan untuk "Proyek Phoenix," sebuah revitalisasi kawasan kumuh di tepi kota menjadi pusat komersial dan hunian yang berkelanjutan. Sebuah proyek yang ambisius, kompleks, dan di atas kertas, sepenuhnya dipimpin oleh Damian. Namun, Aveline tahu di mana letak jiwa proyek itu sebenarnya.

Jiwa itu lahir di malam-malam tanpa tidur miliknya, di atas sketsa-sketsa yang diremas dan dibuang, di antara puluhan cangkir kopi dingin di studio pribadinya yang sunyi. Jiwa itu adalah filosofi desainnya: arsitektur yang melayani manusia, bukan sebaliknya. Konsep jembatan penghubung yang mengintegrasikan ruang hijau dengan beton, fasad bangunan yang mampu memanen air hujan, dan tata letak yang dirancang untuk menciptakan interaksi komunal-semua itu adalah bisikan idenya yang ia tuangkan ke dalam proposal, yang kemudian dengan bangga dipresentasikan Damian sebagai miliknya.

"Kau terlihat pucat, Aveline," suara Damian yang dalam dan dingin memecah lamunannya. Ia menoleh. Damian berdiri di sisinya, setelan Tom Ford hitamnya membungkus tubuhnya dengan sempurna. Tidak ada kerutan, tidak ada cela. Seperti biasa, ia adalah perwujudan dari kesempurnaan yang beku. Matanya yang kelabu menilainya sekilas, bukan dengan kehangatan seorang suami, melainkan dengan tatapan seorang CEO yang memeriksa asetnya sebelum ditampilkan di depan publik.

"Hanya sedikit lelah," jawab Aveline pelan. Tangannya tanpa sadar meremas clutch peraknya.

"Pastikan kau terlihat prima. Banyak wartawan malam ini," katanya lagi, lebih sebagai perintah daripada perhatian. Ia mengulurkan lengannya. "Ayo."

Aveline menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan untuk menenangkan gemuruh di dadanya, lalu mengaitkan lengannya di lengan Damian. Saat mereka berjalan menuju meja utama, kilatan lampu kamera menyambut mereka seperti badai petir buatan. Senyum tipis terpasang di bibir Aveline, sebuah senyum yang telah ia latih hingga sempurna di depan cermin. Senyum Nyonya Blackwood. Di mata dunia, mereka adalah pasangan idaman: Damian Blackwood, sang visioner yang dingin dan jenius, dan Aveline de la Fontaine, sang pewaris cantik dari keluarga arsitek legendaris yang kini dengan setia mendukung suaminya.

Sebuah kebohongan yang indah.

Keluarga de la Fontaine adalah bangsawan di dunia arsitektur. Kakeknya membangun ikon-ikon kota, dan ayahnya melanjutkan warisan itu dengan sentuhan modern. Aveline adalah permata mahkota mereka, seorang arsitek muda dengan bakat alami yang digadang-gadang akan melampaui para pendahulunya. Lalu datanglah Damian Blackwood, dengan tatapan tajam dan ambisi seluas samudera. Pernikahan mereka adalah sebuah merger, penyatuan dua dinasti untuk menciptakan kekuatan tak terkalahkan di industri properti dan konstruksi. Ayahnya menyetujuinya, melihatnya sebagai langkah strategis. Aveline, yang saat itu terpesona oleh karisma dan ketajaman pikiran Damian, dengan naif berharap bahwa dari aliansi bisnis ini, bisa tumbuh sesuatu yang lain. Cinta, mungkin. Atau setidaknya, rasa hormat.

Tiga tahun telah berlalu. Tiga tahun sejak ia memindahkan studionya ke salah satu lantai di Menara Blackwood, tiga tahun sejak ide-idenya mulai mengalir ke dalam proyek-proyek atas nama suaminya. Harapannya terkikis perlahan, seperti batu karang yang dihantam ombak tanpa henti. Damian tidak pernah melihatnya. Ia melihat nama de la Fontaine di belakangnya, melihat koneksi keluarganya, melihat otaknya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi. Namun ia tidak pernah melihat Aveline.

"Damian! Aveline! Senang sekali melihat kalian," sapa seorang pria tua berperut buncit, Tuan Tirtayasa, salah satu investor besar Proyek Phoenix. "Aku yakin sekali piala itu akan kau bawa pulang malam ini, Damian. Proyek Phoenix itu... jenius! Benar-benar jenius!"

Damian mengangguk singkat, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Kita lihat saja nanti, Pak Tirta. Terima kasih atas dukungan Anda."

"Dan Nyonya Blackwood," Tuan Tirtayasa menoleh pada Aveline, matanya memancarkan simpati yang salah tempat. "Anda pasti sangat bangga pada suami Anda. Beruntung sekali Damian memiliki Anda di sisinya sebagai sumber inspirasi."

Aveline hanya tersenyum, senyum kosong yang sama. Inspirasi. Jika saja pria ini tahu bahwa 'inspirasi' itu terjaga hingga pukul empat pagi untuk memecahkan masalah sistem drainase pada desain yang ia puji. Jika saja ia tahu bahwa 'inspirasi' itu harus berdebat sengit (dalam diam, tentu saja, melalui catatan dan email) dengan para insinyur untuk memastikan integritas struktural jembatan hijaunya tidak dikompromikan demi anggaran.

Mereka duduk di meja utama, dikelilingi oleh para petinggi industri lainnya. Percakapan mengalir di sekitar Aveline seperti air sungai, tetapi ia merasa terdampar di pulau sunyi miliknya sendiri. Ia mengamati detail arsitektur ballroom itu-kolom-kolom bergaya neo-klasik yang megah, langit-langit berkubah dengan lukisan fresko yang rumit. Sebuah bangunan yang dirancang untuk memancarkan kemegahan dan kekuasaan. Seperti pernikahannya. Indah di luar, namun dingin dan kosong di dalam. Tanpa jiwa.

MC naik ke atas panggung, dan acara utama pun dimulai. Satu per satu, penghargaan dibacakan untuk kategori yang berbeda. Jantung Aveline berdebar semakin kencang, sebuah ritme yang menyakitkan di tulang rusuknya. Ia merasakan dilema yang aneh. Sebagian dari dirinya ingin mereka menang. Kemenangan itu adalah validasi atas kerja kerasnya, bukti bahwa idenya memang brilian. Namun, sebagian besar dari dirinya merasa ngeri. Kemenangan itu akan menjadi milik Damian. Namanya yang akan terukir di piala itu. Wajahnya yang akan terpampang di semua media esok hari. Dan ia akan kembali menjadi bayang-bayang yang tak terlihat.

"Dan sekarang... kategori yang kita semua tunggu," suara MC menggema. "Architectural Innovator of the Year. Nominasinya adalah..."

Beberapa nama dan proyek disebutkan. Layar besar di belakang panggung menampilkan visual dari setiap nominasi. Saat Proyek Phoenix muncul, dengan visualisasi 3D yang memukau dari bangunan-bangunan ramah lingkungan dan taman-taman vertikal, desas-desus kekaguman terdengar di seluruh ruangan. Aveline merasakan secuil kebanggaan yang pedih. Itu adalah dunianya, lahir dari imajinasinya.

"Dan pemenangnya adalah..." MC membuka amplop dengan gerakan teatrikal. "...Blackwood Corporation, untuk Proyek Phoenix!"

Riuh tepuk tangan membahana. Damian tetap tenang, seolah ia sudah tahu hasilnya sejak awal. Ia berdiri, merapikan dasinya, lalu menoleh sekilas ke arah Aveline. Bukan tatapan berbagi kemenangan, melainkan tatapan singkat yang berkata, 'Tugasmu selesai, tetaplah di sini.'

Aveline bertepuk tangan secara otomatis, otot-otot wajahnya kaku membentuk senyuman bangga yang palsu. Ia melihat Damian berjalan menaiki tangga panggung, setiap langkahnya penuh percaya diri. Ia berdiri di podium, membiarkan kilatan kamera menghujaninya sejenak sebelum mengangkat tangan meminta ketenangan.

"Terima kasih," suaranya yang berwibawa memenuhi ruangan. "Sebuah kehormatan besar bagi Blackwood Corporation untuk menerima penghargaan ini."

Ia memulai pidato kemenangannya. Ia berterima kasih kepada dewan juri, kepada para investor seperti Tuan Tirtayasa, kepada tim insinyur dan manajer proyek. Nama-nama disebutkan, formalitas dipenuhi. Aveline mendengarkan, setiap kata terasa seperti butiran pasir yang menggores hatinya. Ia menunggu. Mungkin, hanya mungkin, kali ini akan berbeda. Mungkin di hadapan ratusan orang ini, ia akan memberinya sedikit pengakuan. Sebuah kalimat sederhana seperti, 'Dan tentu saja, untuk istri saya, yang dukungannya tak ternilai'. Atau mungkin, 'Yang visinya menjadi denyut nadi proyek ini'. Sebuah angan-angan bodoh, ia tahu itu.

Damian berhenti sejenak, tatapannya menerawang ke kejauhan, melewati lautan wajah di hadapannya. Keheningan tercipta, penuh antisipasi.

"Namun," lanjut Damian, suaranya tiba-tiba melembut, dipenuhi nada emosional yang belum pernah Aveline dengar darinya selama tiga tahun pernikahan mereka. Nada itu menusuknya lebih tajam dari pisau. "Inovasi sejati tidak datang dari ruang rapat atau cetak biru. Inovasi datang dari inspirasi. Dan malam ini, saya ingin mendedikasikan penghargaan ini untuk satu-satunya sumber inspirasi abadi saya."

Jantung Aveline berhenti berdetak. Untuk sepersekian detik, sebuah harapan gila dan mustahil menyala di dalam dirinya. Apakah ia akan...?

"Untuk cahaya yang cahayanya tidak akan pernah padam," Damian melanjutkan, matanya berkaca-kaca dengan tulus. "Untuk arsitek pertama yang menunjukkan kepada saya bahwa sebuah bangunan bisa memiliki jiwa. Untuk cetak biru pertama dari semua impian saya."

Ia mengangkat piala itu sedikit lebih tinggi.

"Untukmu, Clara. Di mana pun kau berada, ini untukmu."

Nama itu menggema di seluruh penjuru Grand Ballroom. Clara. Nama yang terasa seperti kutukan di rumah tangganya. Nama cinta pertama Damian, tunangannya, yang meninggal dalam kecelakaan mobil lima tahun yang lalu. Nama hantu yang bayang-bayangnya selalu hadir, lebih nyata daripada kehadiran Aveline yang bernapas di sampingnya setiap hari.

Dunia Aveline runtuh. Bukan runtuh dengan suara gemuruh yang dahsyat, melainkan runtuh dalam keheningan yang memekakkan telinga. Tepuk tangan di sekelilingnya terdengar seperti suara air yang menjauh. Wajah-wajah yang menatap Damian dengan penuh kekaguman dan simpati terlihat kabur dan tidak fokus. Ia merasa seolah-olah seluruh udara telah tersedot keluar dari ruangan, meninggalkan kekosongan yang menyesakkan di paru-parunya.

Di atas panggung, di bawah sorotan lampu, suaminya sedang meratapi wanita lain. Dan di bawah sini, di dalam kegelapan yang relatif, istrinya-arsitek sebenarnya di balik kemenangan itu-telah dihapus sepenuhnya. Ia bukan hanya tidak diberi pengakuan; keberadaannya, kontribusinya, tiga tahun hidupnya, telah dilenyapkan dan digantikan oleh kenangan akan orang mati.

Penghinaan itu begitu total, begitu publik, begitu dalam, hingga rasanya tidak lagi menyakitkan. Rasa sakit telah berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang dingin, jernih, dan sangat tajam. Seperti sepotong pecahan kaca.

Ia menatap gelas kristal di tangannya. Cairan sampanye keemasan di dalamnya tampak tenang. Ia melihat pantulan wajahnya yang kabur di permukaan gelas, lalu ke arah panggung di mana Damian sedang menerima ucapan selamat.

Struktur pernikahannya, yang selama ini ia coba topang dengan pengorbanan dan harapan buta, akhirnya menunjukkan keretakan fatalnya. Pondasinya tidak pernah ada. Bangunan itu didirikan di atas tanah kosong, di atas kenangan orang lain. Dan ia, Aveline de la Fontaine, telah dengan bodohnya mencoba menghiasi sebuah bangunan hantu.

Damian turun dari panggung, piala emas di genggamannya. Ia berjalan kembali ke meja, wajahnya memancarkan kepuasan yang tenang. Beberapa orang menepuk punggungnya saat ia lewat. Ia tiba di meja, meletakkan piala itu dengan bunyi denting pelan di atas taplak putih.

"Sudah selesai," katanya pada Aveline, seolah-olah tidak ada yang luar biasa yang baru saja terjadi. "Kita harus menemui Menteri Pembangunan Kota sebelum beliau pergi."

Ia menunggu Aveline berdiri, seperti yang biasa ia lakukan. Patuh, tersenyum, dan siap memainkan perannya.

Tapi malam ini, Aveline tidak bergerak.

Ia tetap duduk, punggungnya tegak lurus. Tangannya yang tadi meremas clutch kini terlipat tenang di pangkuannya. Untuk pertama kalinya, ia menatap Damian-benar-benar menatapnya. Bukan sebagai suami, bukan sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai seorang pria asing yang kebetulan telah berbagi alamat dengannya selama tiga tahun.

Ia melihat arogansi di matanya, ketidaksadaran total akan luka yang baru saja ia goreskan. Ia melihat seorang pria yang begitu terbungkus dalam dunianya sendiri sehingga orang lain hanyalah alat atau rintangan.

Damian sedikit mengernyit, tidak sabar. "Aveline? Ayo."

Perlahan, Aveline berdiri. Namun, ia tidak bergerak ke arah Damian atau Menteri yang menunggu. Ia mengambil clutch peraknya, memegangnya erat-erat. Matanya bertemu dengan mata kelabu Damian, dan untuk pertama kalinya, tidak ada lagi jejak permohonan atau harapan di sana. Hanya ada ketenangan yang dingin, setenang danau di musim dingin yang membeku.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan mulai berjalan menjauh. Menjauhi meja, menjauhi piala, menjauhi Damian.

Setiap langkah terasa ringan, seolah beban seberat tiga tahun baru saja terangkat dari pundaknya. Ia bisa merasakan tatapan bingung Damian di punggungnya, bisa mendengar desas-desus kecil yang mulai muncul di antara meja-meja di dekatnya. Ia tidak peduli.

Ia terus berjalan, melewati kolom-kolom megah, di bawah lampu kristal yang kini terasa seperti bintang penunjuk jalan. Ia tidak menoleh ke belakang. Tidak ada lagi yang perlu dilihat di sana. Bangunan itu telah runtuh. Dan dari puing-puingnya, Aveline de la Fontaine akan mulai merancang sesuatu yang baru. Sesuatu yang sepenuhnya miliknya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY