Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kehamilanku Adalah Harapanku
Kehamilanku Adalah Harapanku

Kehamilanku Adalah Harapanku

5.0

Lara, gadis yang akrab dipanggil Lae, adalah seorang yatim piatu. Orangtuanya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan tragis tepat di hari kelulusan Lae dari sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Untuk bertahan hidup, Lae bekerja di sebuah butik bernama MIRALIS. Di sana, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Reza, putra dari pemilik butik tersebut. Dari pertemuan itu, hubungan mereka pun berkembang menjadi kisah asmara yang indah. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Keluarga Reza menentang hubungan mereka dengan keras. Tekanan dan penolakan dari keluarga membuat Reza memilih memutuskan hubungan dengan Lae. Yang lebih memilukan, saat itu Lae sedang mengandung buah cinta mereka. Alih-alih bertanggung jawab, Reza malah menuntut Lae untuk menggugurkan kandungannya. Pertanyaannya, akankah Lae mengikuti keinginan Reza? Atau dia akan berjuang untuk mempertahankan janin yang sedang tumbuh di dalamnya?

Konten

Bab 1 Gema Kehilangan

Udara sore itu menggetarkan, membawa serta aroma manis melati dan janji-janji masa depan yang cerah. Di hadapan panggung sederhana dengan dekorasi pita dan balon warna-warni, Lara-yang akrab disapa Lae-berdiri di antara barisan teman-teman seangkatannya, jantungnya berdegup kencang. Hari ini adalah hari kelulusan dari Sekolah Menengah Kejuruan, gerbang menuju dunia yang lebih luas, penuh dengan peluang dan impian yang telah ia rajut selama ini. Senyum tak lepas dari bibirnya, membayangkan kedua orang tuanya yang pasti akan bangga melihatnya mengenakan toga dan membawa ijazah di tangan.

Mereka berjanji akan datang, duduk di barisan paling depan, dan bersorak paling keras.

Namun, janji itu tak pernah terpenuhi.

Ketika nama Lae dipanggil, dan ia melangkah maju untuk menerima gulungan ijazah, matanya menyapu kerumunan, mencari sosok ayah dan ibunya. Hanya kursi kosong yang menyambut pandangannya. Kecemasan mulai merayap, menipiskan kebahagiaan yang sebelumnya membuncah. Sebuah firasat buruk, seperti bisikan angin dingin di tengah terik matahari, menyergap hatinya. Firasat itu berubah menjadi kenyataan pahit beberapa jam kemudian, meruntuhkan seluruh dunianya dalam satu kali hempasan.

Sebuah kecelakaan tragis. Mobil yang membawa ayah dan ibunya, melaju dalam perjalanan menuju sekolah, bertabrakan dengan sebuah truk yang entah bagaimana kehilangan kendali. Kabar itu datang seperti sambaran petir di siang bolong, menghanguskan semua harapan dan kebahagiaan yang baru saja ia rasakan. Dalam sekejap, Lae bukan lagi seorang siswi lulusan SMK yang bangga, melainkan seorang yatim piatu yang sendirian. Tangisan pilu yang keluar dari dasar jiwanya tak dapat dihentikan. Dunia seakan berhenti berputar, dan warna-warni kehidupan seketika memudar menjadi abu-abu.

Hari-hari setelah itu adalah kabut duka. Rumah yang dulunya penuh tawa dan kehangatan kini terasa dingin, hampa. Setiap sudut, setiap benda, seakan menyimpan memori orang tuanya, menusuk hati Lae dengan rasa rindu yang tak tertahankan. Ia seringkali terbangun di tengah malam, napas terengah-engah, mencari-cari sentuhan tangan ibu atau gurauan ayah. Namun, hanya kehampaan yang menyambutnya. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini benar-benar sendiri. Tak ada lagi bahu untuk bersandar, tak ada lagi suara lembut yang menenangkan. Hanya keheningan yang menyesakkan, ditemani gema kenangan yang terus menghantui.

Di tengah badai kesedihan itu, Lae tahu ia harus bertahan. Insting untuk hidup, sekecil apa pun, mendorongnya untuk bangkit. Ia tak bisa terus-menerus terpuruk. Orang tuanya pasti tidak ingin melihatnya menyerah. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, Lae mulai mencari pekerjaan. Ia tahu ia tidak memiliki banyak pilihan. Lulusan SMK dengan pengalaman terbatas, ia harus menerima apa pun yang datang.

Nasib kemudian membawanya ke MIRALIS, sebuah butik yang terletak di jantung kota. Bangunan dua lantai itu tampak elegan dari luar, dengan manekin-manekin anggun memamerkan busana-busana eksklusif di balik etalase kaca. Meski ragu, Lae memberanikan diri masuk. Aroma kain sutra, wangi parfum mahal, dan gemerlap cahaya lampu kristal menyambutnya. Ia diterima sebagai asisten butik, sebuah posisi yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran, mulai dari merapikan pakaian, membantu pelanggan, hingga sesekali mendesain ulang pajangan etalase. Gaji yang ditawarkan tidak besar, namun cukup untuk menyambung hidup dan membayar sewa kamar kos kecil di pinggir kota.

Pekerjaan di MIRALIS adalah sebuah pengalih perhatian yang baik dari kesendiriannya. Lae mencoba fokus, menyerap setiap pelajaran baru yang ia dapatkan. Ia belajar tentang berbagai jenis kain, tren mode terbaru, dan cara berinteraksi dengan pelanggan yang beragam. Ia berusaha keras untuk tidak membiarkan kesedihan menguasai dirinya, meski terkadang, di sela-sela pekerjaannya, bayangan kedua orang tuanya tiba-tiba muncul, dan matanya berkaca-kaca.

Suatu sore, ketika Lae sedang sibuk menata manekin di bagian gaun malam, pintu butik terbuka, dan seorang pemuda masuk dengan langkah santai. Posturnya tinggi, rambutnya sedikit berantakan namun tetap terlihat menarik, dan matanya tajam namun memancarkan kehangatan. Ia mengenakan kaus polos dan celana jins, kontras dengan suasana formal butik. Lae awalnya mengira ia adalah pelanggan, namun ia segera menyadari bahwa pemuda itu tidak menunjukkan minat pada busana. Ia malah langsung menuju ruang kantor pemilik butik.

Beberapa saat kemudian, pemuda itu keluar dari ruangan dengan senyum tipis di bibirnya. Ia melihat Lae, yang sedang berdiri di dekat manekin, dan mata mereka bertemu. Jantung Lae sedikit berdebar. Ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang membuatnya merasa sedikit canggung namun penasaran.

"Hai," sapa pemuda itu, suaranya renyah. "Aku Reza. Putra pemilik butik ini. Kamu pasti Lae, karyawan baru yang Ibu ceritakan?"

Lae mengangguk, sedikit gugup. "Iya, saya Lae."

"Senang berkenalan denganmu, Lae," kata Reza, mengulurkan tangannya. "Aku sering mampir ke sini, jadi kita pasti akan sering bertemu."

Perkenalan itu adalah awal dari segalanya. Reza tidak seperti yang Lae bayangkan. Meskipun ia adalah putra pemilik butik, ia sama sekali tidak sombong atau angkuh. Sebaliknya, ia ramah, mudah diajak bicara, dan memiliki selera humor yang bagus. Reza sering mengunjungi butik, kadang untuk membantu ibunya, kadang hanya untuk sekadar menghabiskan waktu. Setiap kali ia datang, ia selalu menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Lae.

Obrolan mereka dimulai dari hal-hal seputar pekerjaan, lalu merambah ke topik-topik lain yang lebih pribadi. Reza sering menanyakan tentang hari-hari Lae, tentang mimpinya, bahkan tentang perasaannya. Lae, yang biasanya tertutup tentang masa lalunya, tanpa sadar mulai membuka diri kepada Reza. Ia menceritakan tentang kehilangan orang tuanya, tentang perjuangannya untuk bertahan hidup, dan tentang bagaimana ia mencoba membangun kembali hidupnya. Reza mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi, tanpa memberi nasihat yang tidak diminta. Ia hanya ada di sana, menjadi pendengar setia.

Kehangatan dan perhatian Reza perlahan mencairkan dinding es yang telah Lae bangun di sekeliling hatinya. Ia mulai merasa nyaman di dekat Reza, bahkan sesekali tertawa lepas bersamanya-sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Reza selalu berhasil membuat Lae tersenyum, bahkan di hari-hari terberatnya. Ia sering membawakan kopi atau makanan ringan untuk Lae, dan sesekali, ketika butik sudah sepi, mereka akan duduk di sudut, bercerita tentang apa saja hingga larut.

Perasaan itu tumbuh secara alami, seperti tunas yang mekar di musim semi. Dari pertemanan, hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Sentuhan tangan yang tak sengaja saat menyerahkan barang, tatapan mata yang bertahan lebih lama dari seharusnya, dan detak jantung yang berdebar lebih kencang saat Reza berada di dekatnya. Lae tak bisa menyangkal bahwa ia mulai jatuh cinta pada Reza. Dan Reza pun tak kalah.

Suatu malam, setelah butik tutup, Reza mengantar Lae pulang ke kosnya. Di bawah cahaya rembulan yang samar, di depan pintu gerbang kos, Reza meraih tangan Lae. "Lae," katanya, suaranya rendah dan lembut, "aku... aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman."

Lae menatap matanya, dan ia melihat ketulusan di sana. Jantungnya berdegup tak karuan. "Aku juga, Reza," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Dan di bawah taburan bintang, ciuman pertama terjadi. Ciuman itu manis, lembut, dan penuh janji. Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang menjadi kisah asmara yang indah. Mereka berpacaran secara diam-diam, tak ingin menarik perhatian di butik. Kencan-kencan sederhana di taman, makan malam di warung pinggir jalan, atau sekadar menghabiskan waktu bersama di kafe kecil, semua terasa begitu istimewa bagi Lae. Reza menjadi dunianya, tempat ia menemukan kembali kebahagiaan yang hilang. Ia merasa hidup kembali, seolah warna-warna yang sebelumnya memudar kini kembali cerah. Lae percaya, ia telah menemukan rumahnya, sebuah tempat di mana ia bisa mencintai dan dicintai sepenuh hati.

Namun, kebahagiaan itu, seperti embun pagi yang bertemu mentari, tidak berlangsung lama. Setiap kisah cinta, apalagi yang dimulai dari dua dunia yang berbeda, memiliki tantangannya sendiri. Dan bagi Lae dan Reza, tantangan itu datang dalam bentuk penolakan dari keluarga Reza.

Ibu Reza, Nyonya Amara, adalah seorang wanita yang sangat memegang teguh status sosial dan martabat keluarga. Ia adalah seorang pebisnis sukses, pemilik MIRALIS, dan sangat peduli dengan citra keluarganya. Baginya, pernikahan adalah tentang menyatukan dua keluarga yang setara, bukan sekadar dua individu yang saling mencintai. Ia sudah memiliki rencana untuk Reza, seorang gadis dari kalangan atas yang dianggap cocok untuk putra tunggalnya.

Kabar tentang hubungan Reza dengan Lae, seorang yatim piatu yang hanya bekerja sebagai asisten butik, sampai ke telinga Nyonya Amara. Reaksi pertamanya adalah kemarahan yang membara. Ia menganggap hubungan itu sebagai noda bagi reputasi keluarganya, sebuah kesalahan yang harus segera diperbaiki. Nyonya Amara memanggil Reza, dan terjadilah pertengkaran hebat yang tak terhindarkan.

"Apa yang kamu lakukan, Reza?!" bentak Nyonya Amara, suaranya menggema di ruang kerja pribadinya yang megah. "Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengan gadis seperti itu? Dia tidak sepadan dengan kita! Dia tidak punya apa-apa!"

Reza berusaha membela diri, menjelaskan perasaannya kepada Lae, tentang betapa berharganya gadis itu baginya. "Bu, aku mencintai Lae. Dia baik, tulus, dan dia tidak pantas Ibu katakan seperti itu."

"Cinta? Omong kosong!" Nyonya Amara menepis kata-kata Reza. "Cinta tidak bisa membeli masa depan, Reza! Kamu adalah pewaris bisnis ini. Kamu harus menikah dengan wanita yang bisa mengangkat derajat keluarga kita, bukan menurunkannya!"

Tekanan tidak hanya datang dari Nyonya Amara. Ayah Reza, seorang pengusaha terkemuka, juga ikut campur. Mereka berdua tanpa henti mendesak Reza untuk mengakhiri hubungannya dengan Lae. Mereka mengancam akan memutus semua dukungan finansial, bahkan mengasingkan Reza dari keluarga, jika ia tetap bersikeras melanjutkan hubungan itu. Mereka membombardir Reza dengan argumen-argumen tentang masa depan, reputasi, dan tanggung jawabnya sebagai putra tunggal.

Reza, yang selama ini selalu menjadi anak yang patuh, mulai goyah. Ia mencintai Lae, itu pasti. Namun, ia juga sangat menghormati orang tuanya. Ia terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama berat: mempertahankan cintanya atau menuruti keinginan keluarganya. Ia melihat betapa besar kekecewaan dan kemarahan di mata orang tuanya, dan ia mulai merasakan beban yang luar biasa di pundaknya.

Penolakan dari keluarga Reza begitu telak, begitu menyakitkan. Lae tahu, dari tatapan Reza yang mulai diliputi kegelisahan, bahwa badai akan segera datang. Ia bisa merasakan jarak yang mulai membentang di antara mereka, meskipun Reza masih berusaha untuk bersikap seperti biasa. Namun, gelisah itu tak bisa disembunyikan.

Dan akhirnya, hari itu tiba.

Reza mengajak Lae bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka kunjungi. Suasana sore itu terasa berbeda. Reza tampak murung, matanya merah, dan ia terlihat sangat lelah. Lae tahu, tanpa ia katakan, bahwa ada sesuatu yang penting, dan pasti menyakitkan, yang akan ia sampaikan.

"Lae," kata Reza, suaranya serak dan gemetar. Ia menatap Lae dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku... aku tidak bisa lagi melanjutkan ini."

Hati Lae mencelos. Ia sudah menduganya, namun mendengar kata-kata itu keluar dari bibir Reza tetaplah bagai pukulan telak. "Apa maksudmu, Reza?" bisiknya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.

"Keluargaku... mereka tidak akan pernah menerima kita," Reza melanjutkan, matanya beralih ke cangkir kopi di hadapannya. "Mereka mengancam akan melakukan segalanya untuk memisahkan kita. Aku tidak tahan lagi dengan tekanan ini, Lae. Aku minta maaf. Aku harus... aku harus memutuskan hubungan ini."

Dunia Lae runtuh untuk kedua kalinya. Lebih menyakitkan, karena kali ini, yang meruntuhkan adalah orang yang paling ia cintai. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah ruah. Rasanya seperti seluruh udara di dalam dirinya lenyap, meninggalkannya kosong dan hampa. Lae tidak bisa berkata apa-apa. Hanya isakan yang keluar dari bibirnya. Ia melihat Reza menangis juga, air mata mengalir di pipinya, namun ia tetap tak bergeming dari keputusannya. Ia memilih orang tuanya.

Setelah perpisahan yang menyakitkan itu, Lae kembali terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Ia bekerja seperti robot, tanpa semangat, tanpa gairah. Butik MIRALIS yang dulunya menjadi tempatnya menemukan harapan dan cinta, kini terasa seperti penjara, penuh dengan kenangan Reza yang menyakitkan. Setiap sudut butik, setiap barang, mengingatkannya pada senyum Reza, pada tawa Reza, pada janji-janji yang kini hanya tinggal kenangan pahit.

Ia berusaha keras untuk melupakan Reza, untuk melanjutkan hidup. Namun, takdir memiliki rencana lain.

Beberapa minggu setelah perpisahan mereka, Lae mulai merasakan perubahan pada tubuhnya. Mual di pagi hari, mudah lelah, dan nafsu makan yang aneh. Awalnya, ia mengira itu hanya karena stres dan kurang istirahat. Namun, setelah beberapa hari, ia mulai curiga. Firasat itu kembali, kali ini membawa sensasi yang berbeda, sensasi yang lebih kompleks.

Dengan tangan gemetar, Lae membeli alat tes kehamilan. Ia menggunakannya di kamar kosnya yang sempit, dengan jantung berdebar kencang. Menit-menit penantian terasa seperti selamanya. Dan ketika dua garis merah muncul di jendela alat tes, dunia Lae kembali berputar, namun kali ini, dengan kecepatan yang memusingkan.

Ia hamil.

Buah cinta mereka, buah dari hubungan yang kini telah berakhir, sedang tumbuh di dalam rahimnya. Rasa kaget, takut, bingung, dan sedikit kebahagiaan yang samar bercampur aduk di benaknya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana ia bisa menghadapi ini sendirian?

Lae tahu, ia harus memberitahu Reza. Ia memberanikan diri menelepon Reza, suaranya bergetar saat ia mengungkapkan kehamilannya. Ia berharap ada sedikit kebahagiaan, sedikit tanggung jawab, sedikit penyesalan di suara Reza. Namun, yang ia dapatkan hanyalah kebisuan yang panjang, lalu suara yang dipenuhi ketakutan dan kemarahan.

"Apa?! Kamu... kamu hamil? Tidak mungkin! Ini tidak bisa terjadi!" suara Reza terdengar panik. "Kamu pasti salah, Lae. Atau... atau kamu berbohong!"

Lae tersentak. "Aku tidak berbohong, Reza. Ini benar. Aku sudah memeriksakannya."

"Ini... ini tidak bisa terjadi," Reza mengulanginya lagi, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Lalu, suaranya berubah menjadi dingin, tanpa belas kasih. "Kamu harus menggugurkannya, Lae. Ini satu-satunya jalan. Aku tidak bisa... aku tidak bisa punya anak sekarang, apalagi denganmu. Keluargaku akan hancur."

Kata-kata itu menghantam Lae seperti ribuan jarum. Menggugurkan? Bagaimana mungkin Reza bisa meminta hal sekeji itu? Ini adalah darah dagingnya, buah cinta mereka, yang kini ia minta untuk dibuang begitu saja. Air mata Lae kembali mengalir deras, namun kali ini, bukan hanya karena kesedihan, melainkan juga kemarahan yang membuncah.

"Reza, bagaimana bisa kamu meminta hal itu?!" teriak Lae, suaranya bergetar. "Ini anak kita! Ini darah dagingmu!"

"Aku tidak peduli! Aku tidak mau ini semua, Lae!" balas Reza dengan nada tinggi, seolah tak peduli dengan perasaannya. "Kamu harus menggugurkannya. Aku akan menanggung semua biayanya. Setelah itu, kita lupakan semuanya, dan kita hidup masing-masing. Itu satu-satunya solusi."

Reza terus mendesak, mengancam, dan meminta Lae untuk mengugurkan kandungannya. Ia bahkan mengatakan akan memberikan uang dalam jumlah besar jika Lae mau menuruti permintaannya. Bagi Reza, ini hanyalah sebuah masalah yang harus disingkirkan, sebuah rintangan yang harus diatasi demi menjaga keutuhan keluarganya dan masa depannya yang telah diatur.

Lae menutup telepon dengan tangan gemetar dan hati yang hancur berkeping-keping. Permintaan Reza, yang begitu kejam dan tanpa empati, membuatnya merasa seolah ia hanyalah sampah yang bisa dibuang. Ia tidak bisa lagi menahan tangis. Ia terisak di kamarnya yang gelap, memeluk perutnya yang masih rata, namun di dalamnya tumbuh kehidupan kecil yang kini menjadi satu-satunya alasannya untuk bertahan.

Lae dihadapkan pada persimpangan jalan yang paling berat dalam hidupnya. Di satu sisi, ada permintaan Reza yang kejam, sebuah jalan keluar yang tampak "mudah" di mata dunia, namun menghancurkan jiwanya. Di sisi lain, ada janin tak berdosa yang sedang tumbuh di dalam dirinya, sebuah kehidupan baru yang ia bawa sendiri, tanpa dukungan, tanpa masa depan yang pasti.

Akankah Lae mengikuti keinginan Reza, mengakhiri kehidupan tak berdosa ini demi "mempermudah" segalanya, demi melupakan semua kepahitan ini? Atau akankah ia berjuang, dengan segala keterbatasan dan ketakutannya, untuk mempertahankan janin yang sedang tumbuh di dalamnya, sebuah simbol cinta yang mungkin tak diinginkan, namun tetaplah sebuah kehidupan yang berhak untuk ada? Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menyesakkan. Masa depan Lae, dan juga masa depan sang janin, berada di ambang keputusan yang maha penting.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY