Empat tahun. Empat tahun sudah ia menjalani sandiwara ini. Sandiwara pernikahan yang sempurna di mata orang lain, namun baginya adalah penjara tanpa jeruji. Empat tahun ia berusaha mati-matian, mengerahkan seluruh jiwa dan raganya, mencoba mengisi kekosongan hati suaminya dengan cintanya yang meluap-luap. Mencoba menepis keraguan yang sering kali menyergap di tengah malam, bisikan-bisikan yang menyebutkan bahwa semua ini sia-sia. Bahwa ia sedang menambal lubang hitam dengan benang rapuh.
Awalnya, Lina percaya. Ia percaya bahwa cinta bisa tumbuh, bahwa kebersamaan akan menumbuhkan benih-benih kasih sayang. Ia ingat betul bagaimana Rian melamarnya empat tahun lalu. Tidak ada romansa berlebihan, tidak ada kata-kata manis yang melenakan. Hanya sebuah kalimat singkat yang terasa seperti pernyataan: "Lina, aku ingin kau menjadi istriku." Saat itu, Lina merasakan kebahagiaan yang meluap. Rian, pria dingin dan karismatik yang selalu memikat perhatiannya sejak mereka kuliah, akhirnya memilihnya. Ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Ia mengira, ketidakmampuan Rian dalam mengungkapkan perasaan adalah bagian dari kepribadiannya, sebuah misteri yang akan ia pecahkan seiring berjalannya waktu. Ia naif. Sangat naif.
Pernikahan mereka berjalan mulus di permukaan. Rian adalah suami yang bertanggung jawab, setidaknya dalam hal materi. Ia tidak pernah absen memberikan nafkah, bahkan berlimpah. Rumah mereka mewah, terletak di kawasan elite Jakarta, dengan taman yang selalu terawat dan mobil-mobil terbaru yang terparkir rapi di garasi. Mereka sering bepergian ke luar negeri, menginap di hotel-hotel bintang lima, dan makan malam di restoran-restoran eksklusif. Di mata teman-teman dan keluarga, mereka adalah pasangan ideal. Lina bahkan sering menerima pujian atas kesabarannya menghadapi sifat Rian yang pendiam dan fokus pada pekerjaan. "Lina memang paling bisa menaklukkan Rian yang kaku itu," begitu sering ia dengar.
Namun, di balik tirai kemewahan itu, ada kekosongan yang menganga. Rian selalu pulang larut malam, terkadang dini hari. Ia selalu punya alasan: rapat, proyek, klien, atau sekadar ingin bekerja lebih lama di kantor. Ketika ia di rumah, ia akan menghabiskan waktu di ruang kerjanya, berinteraksi dengan laptopnya, seolah-olah pekerjaannya adalah satu-satunya entitas yang menarik perhatiannya. Komunikasi di antara mereka minim. Percakapan terbatas pada hal-hal esensial: tagihan, rencana liburan, atau jadwal pengasuh anak mereka. Tak ada obrolan ringan tentang hari yang mereka lewati, tak ada tawa renyah yang mengisi keheningan, tak ada tatapan mata yang saling mengunci penuh arti.
Dan yang paling menyakitkan, tak ada sentuhan yang hangat. Rian menunaikan kewajibannya sebagai suami, tentu saja, tapi setiap sentuhannya terasa seperti tugas, seperti rutinitas yang harus diselesaikan. Tidak ada gairah, tidak ada kelembutan, tidak ada tatapan memuja yang sering Lina baca di novel-novel romansa atau ia lihat di film-film. Ia merasa seperti boneka, sebuah benda yang bisa disentuh, namun tak pernah sungguh-sungguh dirasakan keberadaannya.
Lina berusaha keras. Ia mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian Rian. Ia belajar memasak hidangan favorit Rian, mendekorasi ulang rumah agar lebih nyaman, bahkan mengenakan pakaian-pakaian seksi di malam hari. Ia mencoba menjadi istri yang sempurna, yang patuh, yang selalu tersenyum, yang tak pernah mengeluh. Namun, semua usahanya seolah menabrak dinding tak kasat mata. Rian tetaplah Rian, suaminya yang jauh, yang selalu berjarak.
Puncaknya adalah ketika Arka lahir. Putra semata wayang mereka, malaikat kecil yang membawa kebahagiaan tak terhingga bagi Lina. Ia pikir, kehadiran seorang anak akan mengubah segalanya. Ia berharap, cinta Rian pada Arka akan menular kepadanya, atau setidaknya melunakkan hatinya. Rian memang menyayangi Arka. Ia memenuhi semua kebutuhan Arka, membelikan mainan mahal, menyewa pengasuh terbaik, dan memastikan Arka mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, cinta itu terasa berbeda. Lebih seperti kewajiban seorang ayah, bukan pancaran kasih sayang yang tulus dari lubuk hati. Rian bermain dengan Arka, tapi tidak ada interaksi emosional yang dalam. Tidak ada tatapan bangga yang berbinar, tidak ada dekapan erat yang penuh kerinduan. Bahkan saat Arka jatuh sakit, Rian akan mengurus semua kebutuhan medisnya, tapi ia akan menyerahkan perawatan fisik dan emosional sepenuhnya kepada Lina atau pengasuh.
"Rian, bisakah kau luangkan waktu sedikit untuk Arka? Ia merindukanmu," Lina pernah mencoba berbicara suatu malam, saat Rian sibuk dengan laptopnya.
Rian mengangkat pandangannya sesaat, lalu kembali menatap layar. "Aku sedang sibuk, Lina. Kau tahu sendiri pekerjaanku tidak bisa ditinggalkan. Lagipula, Arka baik-baik saja denganmu dan Mbak Siti."
Hati Lina mencelos. Ia merasa marah, kecewa, dan lelah. Lelah berpura-pura, lelah berharap.
Sore itu, sebelum acara makan malam yang tak ia inginkan, Lina duduk di tepi tempat tidur, memandangi bingkai foto pernikahan mereka. Senyum di wajahnya terlihat begitu palsu sekarang, senyum yang merefleksikan harapan yang hancur. Ia ingat bisikan ibunya sebelum ia menikah: "Lina, cinta itu penting dalam pernikahan. Jangan hanya karena dia mapan dan baik, kamu mau." Lina mengabaikannya. Ia berpikir, ia bisa membuat Rian mencintainya. Ia salah.
Yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa Rian tak pernah sekalipun mencoba menyembunyikan hatinya yang sudah terpaut pada wanita lain. Lina tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, ia selalu tahu. Rian tak pernah melupakan cinta pertamanya. Nama itu, Maya, sering terucap tanpa sengaja dalam bisikan tidurnya. Foto-foto lama yang tak sengaja ia temukan di laci meja Rian, senyum manis seorang wanita dengan mata berbinar, membuat hatinya remuk redam. Wanita itu adalah Maya. Rian tak pernah menyingkirkan kenangan itu. Bahkan, ada beberapa barang kecil di ruang kerja Rian yang ia tahu adalah hadiah dari Maya, bukan dari dirinya. Sebuah gantungan kunci berbentuk miniatur gitar, sebuah bingkai foto kosong dengan ukiran inisial 'M' dan 'R' yang samar. Lina sering memandangi benda-benda itu, dan setiap kali ia melakukannya, ia merasakan pedih yang sama. Luka lama yang tak pernah kering.
Lina pernah mencoba mencari tahu tentang Maya. Mencari namanya di media sosial, bertanya pada teman-teman lama Rian. Ia menemukan bahwa Maya adalah teman kuliah Rian, satu angkatan. Mereka berpacaran selama beberapa tahun, hubungan yang sangat serius, sampai Maya tiba-tiba menghilang. Tidak ada yang tahu pasti alasannya, hanya desas-desus bahwa Maya melanjutkan studi di luar negeri dan memutuskan hubungannya dengan Rian secara sepihak. Setelah itu, Rian berubah. Ia menjadi lebih tertutup, lebih dingin, lebih fokus pada pekerjaan. Lina mencoba membandingkan dirinya dengan Maya. Mencoba mencari tahu apa yang membuat Maya begitu istimewa di mata Rian, sampai-sampai hatinya terkunci rapat untuk wanita lain. Lina merasa rendah diri, tidak secantik Maya, tidak secerdas Maya, tidak sesempurna Maya.
Tapi ia mencintai Rian. Sangat mencintai. Cinta Lina pada Rian adalah cinta yang tulus, tanpa pamrih. Ia mencintai Rian apa adanya, dengan segala kekurangan dan sifat dinginnya. Ia berharap, ketulusannya itu akan membuka hati Rian, melelehkan es yang membekukan perasaannya. Ia percaya, kesabaran akan membuahkan hasil. Ia percaya, tak ada cinta yang tak bisa ditaklukkan.
Ia salah lagi.
Keyakinan itu runtuh perlahan, terkikis oleh hari-hari yang hampa dan malam-malam yang sunyi. Ia mulai merasakan kelelahan yang luar biasa, bukan hanya fisik, tapi juga batin. Ia sering menangis dalam diam, membenamkan wajahnya di bantal agar isakannya tidak terdengar oleh Arka yang tidur di kamar sebelah, atau oleh Rian yang mungkin sudah pulang dan sibuk dengan pekerjaannya. Air matanya adalah bukti dari perjuangannya yang sia-sia, dari harapannya yang tak pernah terwujud.
Lina menyadari, ia tak pernah dicintai. Sama sekali tidak. Rian menikahinya bukan karena cinta, melainkan karena kebutuhan. Kebutuhan akan seorang istri yang bisa merawat rumah dan anak, kebutuhan akan citra keluarga yang utuh di mata masyarakat, kebutuhan akan stabilitas. Lina hanyalah sebuah opsi, sebuah pilihan yang praktis, bukan pilihan hati.
Kesadaran itu datang seperti tamparan keras di wajahnya, membangunkannya dari mimpi buruk yang panjang. Ia tak bisa lagi hidup dalam ilusi. Ia tak bisa lagi berpura-pura bahagia. Ia tak bisa lagi menipu dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, Rian akan menatapnya dengan tatapan penuh cinta yang ia dambakan. Tatapan itu adalah milik Maya, dan akan selalu menjadi milik Maya.
Perasaannya campur aduk: marah, sedih, kecewa, dan juga lega. Lega karena akhirnya ia melihat kenyataan, betapa pun pahitnya. Lega karena ia tak perlu lagi memaksakan diri untuk sesuatu yang tak akan pernah ia dapatkan.
Sejak saat itu, Lina mulai menarik diri. Ia masih menjalankan perannya sebagai istri dan ibu, tapi kini dengan hati yang beku. Ia berhenti berusaha menarik perhatian Rian. Ia berhenti mencoba mengisi kekosongan. Ia berhenti berharap. Ia hanya menjalani hari demi hari, merawat Arka, mengurus rumah, seolah-olah ia adalah robot yang diprogram untuk melakukan tugas-tugas itu.
Hidupnya terasa seperti lorong panjang yang gelap, tanpa ujung. Ia tahu ia harus keluar dari sana, tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Perceraian? Pikiran itu selalu muncul, namun selalu ia tepis. Bagaimana dengan Arka? Bagaimana dengan pandangan orang lain? Ia terlalu takut untuk menghadapi konsekuensinya. Ia terlalu lelah untuk memulai hidup baru.
Sampai suatu hari, telepon berdering. Nomor tak dikenal. Lina ragu-ragu mengangkatnya.
"Halo?"
Suara di seberang sana terasa asing namun familiar. Lembut, namun ada nada tegas.
"Lina? Ini aku, Daniel."
Jantung Lina berdebar kencang. Nama itu. Nama yang sudah lama sekali tak ia dengar. Nama yang terkubur di bawah tumpukan kenangan, namun tak pernah sungguh-sungguh mati. Daniel. Cinta pertamanya. Pria yang dulu pernah mengisi hatinya dengan tawa, dengan janji-janji masa depan, dengan kehangatan yang tak pernah ia rasakan lagi setelah kepergiannya.
Dulu, Daniel adalah segalanya bagi Lina. Mereka bertemu di bangku kuliah, bukan di kampus yang sama dengan Rian. Daniel adalah kebalikan dari Rian: hangat, ekspresif, selalu tahu bagaimana membuat Lina tertawa. Mereka berpacaran selama dua tahun, sebuah hubungan yang penuh warna dan gairah. Lina bahkan sudah membayangkan masa depan mereka bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia. Namun, takdir berkata lain. Daniel harus pindah ke luar negeri mengikuti orang tuanya yang mendadak dipindahtugaskan. Mereka berjanji untuk tetap berhubungan, untuk menunggu, tapi jarak dan waktu mengikis segalanya. Perlahan, komunikasi mereka merenggang, hingga akhirnya terputus sama sekali. Lina hancur saat itu. Hatinya terluka begitu dalam. Ia butuh waktu lama untuk pulih. Dan kemudian, Rian datang, mengisi kekosongan itu, atau setidaknya ia pikir begitu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia sudah melupakan Daniel, bahwa Daniel adalah bagian dari masa lalu yang harus ia relakan. Ia berusaha mencintai Rian, mencoba membangun kembali kehidupannya dengan Rian.
Kini, suara Daniel kembali, menggetarkan seluruh sarafnya. Mengoyak dinding pertahanan yang selama ini ia bangun dengan susah payah.
"Daniel? Astaga, aku tidak percaya ini." Suaranya bergetar.
"Ya, ini aku. Aku baru kembali ke Jakarta. Aku ingin tahu kabarmu."
Percakapan singkat itu terasa seperti terowongan waktu, membawa Lina kembali ke masa lalu, ke masa di mana hatinya masih utuh, di mana ia tahu apa itu cinta sejati. Daniel tidak bertanya tentang pernikahannya, atau tentang Rian. Ia hanya bertanya tentang dirinya, tentang kehidupannya, tentang perasaannya. Dan Lina, tanpa sadar, menceritakan semuanya. Semua kesepian, semua kekecewaan, semua kepalsuan yang selama ini ia sembunyikan dari dunia. Daniel mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
Malam itu, setelah Rian pulang dan langsung masuk ke ruang kerjanya seperti biasa, Lina berbaring di tempat tidur, matanya menerawang menatap langit-langit. Pikiran tentang Daniel terus berputar di kepalanya. Kenangan tentang tawa mereka, sentuhan Daniel yang lembut, janji-janji yang mereka ucapkan. Ia tidak pernah benar-benar melupakan Daniel. Hanya saja ia telah menguburnya dalam-dalam, berharap bisa mengabaikan keberadaannya. Namun kini, setelah bertahun-tahun, Daniel kembali. Dan dengan kembalinya Daniel, kembali pula semua perasaan yang dulu pernah ia rasakan. Perasaan yang begitu kuat, begitu nyata, membuat hidupnya yang sekarang terasa semakin hambar dan palsu.
Ini adalah ironi. Saat ia akhirnya menyadari bahwa ia tak pernah dicintai oleh Rian, cinta pertamanya justru kembali. Cinta yang dulu ia sangka sudah mati, kini bangkit lagi, seolah-olah ingin menunjukkan kepadanya apa arti cinta yang sebenarnya. Dan kesadaran ini membawa beban baru: ia harus merelakan mereka bersama. Merelakan Rian, suaminya yang tak pernah mencintainya, bersama Maya, wanita yang selalu bertahta di hatinya. Dan merelakan dirinya, membiarkan Daniel masuk kembali, dan mungkin, membuka pintu menuju kebahagiaan yang selama ini ia dambakan. Sebuah pilihan yang sulit, namun ia tahu, ia tak punya pilihan lain. Jalan ke depan mungkin berliku, penuh rintangan, tapi ia tidak bisa lagi tinggal di tempat yang sama, terjebak dalam ilusi yang menyakitkan. Ia harus mencari kebahagiaannya sendiri, betapa pun sulitnya. Bahkan jika itu berarti ia harus menghancurkan apa yang disebutnya "pernikahan" ini.