Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Delapan Tahun Menjadi Istri Rahasia
Delapan Tahun Menjadi Istri Rahasia

Delapan Tahun Menjadi Istri Rahasia

5.0

Clara sangat gembira ketika mengetahui dirinya hamil. Ia berpikir, dengan kehamilannya, David, suaminya, akhirnya akan mengumumkan pernikahan mereka yang telah disembunyikan selama delapan tahun. Namun, ternyata selama ini ia hanya dijadikan pengganti. Merasa dipermainkan, Clara memutuskan untuk menyembunyikan kehamilannya dan mengajukan gugatan cerai. Saat Clara hendak memberitahukan kehamilannya, sesuatu yang mengejutkan terjadi. David terkejut dengan permintaan Clara untuk mengumumkan pernikahan mereka yang sudah delapan tahun disembunyikan. Tanpa berpikir dua kali, David menolaknya. Penolakan itu berujung pada Clara yang menyebutkan kata cerai, dan tanpa sadar, David melakukan kekerasan pada istrinya. Clara sedang mengandung anak David, dan akibat kekerasan yang dilakukannya, Clara harus kehilangan salah satu janin yang dikandungnya. Bukan hanya itu, sikap Clara pun berubah drastis. Dari yang biasanya patuh dan lembut, kini ia menjadi dingin dan tak acuh. Kejutan demi kejutan menghantam David, begitu pula rasa bersalah yang menggerogotinya.

Konten

Bab 1 Delapan Tahun

Detak jantung Clara berpacu seperti genderang perang dalam dadanya, mengalahkan irama lagu lembut yang mengalun dari radio di dapur. Senyum merekah di bibirnya, begitu lebar hingga terasa sakit. Tangannya gemetar saat memegang alat uji kehamilan yang menunjukkan dua garis merah tegas. Positif. Hamil. Kata itu, yang selama delapan tahun hanya menjadi mimpi bisu, kini nyata, bergetar dalam setiap serat tubuhnya.

Selama delapan tahun terakhir, hidup Clara adalah sebuah rahasia. Pernikahannya dengan David, seorang pengusaha muda yang sedang naik daun, dilangsungkan secara diam-diam. Tidak ada pesta megah, tidak ada gaun putih yang menjuntai, hanya sumpah setia di hadapan beberapa saksi terdekat dan wali. David selalu punya seribu alasan mengapa pernikahan mereka harus dirahasiakan. "Ini demi karierku, Clara," katanya dulu, dengan tatapan serius yang selalu berhasil meluluhkan hatinya. "Publik belum siap menerima ini. Aku butuh waktu untuk membangun fondasi yang kuat, lalu kita akan mengumumkan semuanya."

Clara percaya. Ia percaya pada cinta David, pada janji-janji masa depan yang dilukisnya dengan begitu indah. Ia memendam kerinduan akan pengakuan, menelan pil pahit ketika melihat David berinteraksi dengan wanita lain di acara-acara publik, bahkan ketika berita gosip tentang David dan kolega wanita muncul di majalah hiburan. Clara selalu menghibur diri, "Ini hanya bagian dari sandiwara. Sebentar lagi, semua akan berakhir. Sebentar lagi, David akan mengumumkan kita."

Dan kini, dengan dua garis merah itu, Clara merasa saatnya telah tiba. Ini adalah kuncinya, tiketnya menuju kehidupan yang diidamkannya. Seorang anak. Bagaimana mungkin David bisa menyembunyikan seorang anak? Bagaimana mungkin David tidak mengumumkan pernikahan mereka ketika ada buah hati yang akan lahir? Kegembiraan membanjiri dirinya, melenyapkan semua keraguan dan kecemasan yang selama ini bersarang di hatinya. Ia membayangkan wajah David saat diberitahu kabar bahagia ini. Pasti David akan melompat kegirangan, memeluknya erat, dan tanpa ragu, langsung menelepon orang-orang terdekatnya untuk mengumumkan kabar baik ini, sekaligus kabar tentang pernikahan mereka.

David pulang larut malam, seperti biasa. Clara sudah menunggu di ruang tamu, jantungnya berdebar kencang. Ia sudah menyiapkan makan malam favorit David, masakan Italia dengan aroma basil dan tomat yang menggoda. Rumah itu hangat, diterangi lampu temaram yang menciptakan suasana romantis. Clara memakai gaun sederhana namun anggun, rambutnya terurai indah, dan wajahnya berseri-seri. Ia ingin momen ini sempurna.

Ketika David masuk, wajahnya tampak lelah. Ia melepas jasnya, melonggarkan dasinya, dan menghela napas panjang. "Maaf terlambat, Clara. Ada rapat penting."

"Tidak apa-apa, David," jawab Clara, suaranya sedikit bergetar karena antusiasme yang tertahan. "Aku sudah menyiapkan makan malam. Ayo makan dulu."

Selama makan malam, Clara mencoba mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan berita besar itu. Namun David terlihat sibuk dengan ponselnya, sesekali menjawab panggilan telepon atau membalas pesan. Perhatiannya terpecah, seolah pikirannya melayang jauh. Clara menelan kekecewaan kecil yang muncul, meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kelelahan biasa.

Setelah makan, David beranjak ke ruang kerjanya. Clara mengikutinya, membawa secangkir teh herbal hangat. "David," panggilnya lembut, meletakkan cangkir di meja.

David mendongak dari layar laptopnya. "Ya, Clara?"

"Ada yang ingin aku bicarakan," kata Clara, tangannya meremas ujung gaunnya. Ini dia. Momennya. Ia mengambil napas dalam-dalam. "Aku... aku hamil, David."

Ada jeda hening yang panjang. Detik-detik terasa membeku. Mata David yang semula fokus pada layar, kini menatap Clara. Bukan dengan kegembiraan yang diharapkan Clara, bukan dengan senyuman lebar, melainkan dengan keterkejutan yang samar, lalu diikuti oleh ekspresi tidak percaya yang dingin.

"Apa?" Suara David terdengar datar, nyaris berbisik.

Hati Clara mencelos sedikit, namun ia berusaha menepisnya. Mungkin David terkejut karena ini kabar bahagia yang tak terduga. "Ya, David. Kita akan punya bayi." Senyumnya mengembang lagi, mencoba menularkan kebahagiaannya.

David bangkit dari kursinya, berjalan mendekat. Ia tidak memeluk Clara, tidak menciumnya, seperti yang Clara bayangkan. Ia hanya berdiri di hadapannya, tatapannya menyusuri wajah Clara, lalu beralih ke perutnya. "Bagaimana bisa?" tanyanya, nada suaranya kini sedikit lebih keras, terdengar seperti tuduhan.

Pertanyaan itu membuat Clara membeku. Bagaimana bisa? Apa maksudnya? "Bagaimana bisa? Ya, seperti pasangan pada umumnya, David. Kita menikah..."

"Tidak, bukan itu maksudku!" David memotong, suaranya naik satu oktaf. Ia berbalik, berjalan mondar-mandir di ruangan kecil itu. "Kita sudah sepakat, bukan? Aku sudah bilang, ini bukan waktu yang tepat untuk memiliki anak! Kita sudah membahas ini!"

Clara merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Kesepakatan? David tidak pernah menyebutkan "kesepakatan" tentang tidak memiliki anak. David hanya selalu berkata "belum waktunya" untuk mengumumkan pernikahan mereka. Pikiran Clara kacau. "Tapi David... kita sudah menikah delapan tahun. Kapan waktunya akan tiba? Dan ini... ini bukan sesuatu yang bisa direncanakan sepenuhnya. Ini adalah berkah..."

David tiba-tiba berhenti, menatap Clara dengan pandangan tajam yang belum pernah Clara lihat sebelumnya. Ada kemarahan yang membara di matanya, bercampur dengan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang membuat Clara merinding. "Berkah? Ini adalah bencana, Clara!"

Kata-kata itu menghantam Clara seperti pukulan telak. Napasnya tercekat. "Bencana?" ulangnya, suaranya nyaris tak terdengar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Ya! Bencana! Kau tahu seberapa keras aku bekerja untuk membangun perusahaan ini? Seberapa banyak yang harus aku korbankan? Reputasiku sedang dipertaruhkan! Aku akan segera menandatangani kontrak besar dengan investor asing, dan berita tentang pernikahan rahasia... dan sekarang anak? Itu akan menghancurkan segalanya!" David membentak, suaranya memenuhi ruangan.

Clara tidak bisa bernapas. Semua gambaran indah tentang masa depan yang baru saja ia lukis, hancur berkeping-keping di hadapannya. Ia merasa dipermainkan, diinjak-injak. "Jadi... jadi selama ini aku hanya dijadikan pengganti?" bisiknya, suaranya sarat dengan kepedihan. "Pengganti untuk apa, David? Untuk siapa?"

David terdiam sesaat, menghindari tatapan Clara. Ia mengusap wajahnya kasar. "Clara, ini bukan tentang pengganti. Ini tentang prioritas. Aku punya ambisi, aku punya tujuan. Aku sudah menjelaskan ini dari awal!"

"Menjelaskan apa? Menjelaskan bahwa aku adalah rahasia yang harus kau sembunyikan selama delapan tahun? Menjelaskan bahwa aku tidak pernah berarti apa-apa bagimu selain seorang istri bayangan yang bisa kau panggil kapan saja, dan kau singkirkan kapan saja?" Suara Clara naik, air mata mengalir deras di pipinya. Kemarahan mulai membakar hatinya, mengalahkan rasa sakit.

"Jangan drama, Clara!" David mendekat, meraih lengannya. "Mari kita bicarakan ini baik-baik. Kita bisa mencari solusi. Mungkin... mungkin kita bisa..."

Clara menarik lengannya dengan kasar. Ia sudah tidak tahan. Kata-kata David menusuknya, membuatnya muak. Ia menatap David dengan mata merah, penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam. "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, David. Tidak ada solusi. Aku sudah muak dengan semua rahasia ini. Aku muak dengan menjadi bayanganmu."

David menatapnya, ada kilatan amarah di matanya. "Jadi, apa maumu, Clara? Mau mengancamku dengan kehamilan itu?"

Kata-kata David seperti percikan api yang menyulut kemarahan Clara. Ia tersenyum getir, senyum yang sama sekali tidak mengandung kebahagiaan. "Mengancam? David, aku hanya ingin hakku. Hak untuk diakui sebagai istrimu. Hak untuk anak ini memiliki seorang ayah yang tidak malu mengakuinya. Tapi sepertinya, itu terlalu besar untukmu." Ia mengambil napas dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. "Kalau begitu, aku tidak ingin apa-apa lagi darimu."

David menatapnya tidak percaya. "Apa maksudmu?"

"Aku menggugat cerai kamu, David." Kata-kata itu meluncur dengan tegas dari bibir Clara, mengejutkan dirinya sendiri. Ada rasa lega yang aneh setelah mengatakannya, bercampur dengan ketakutan yang mencekam.

Wajah David langsung memucat. Ia terpaku, seolah disambar petir. Lalu, kemarahan yang sebelumnya terpendam, meledak. "Cerai?! Kau gila, Clara?! Setelah semua yang kita lalui?! Setelah aku memberikanmu segalanya?!"

"Memberikan segalanya?!" Clara tertawa hampa. "Kau memberiku penantian, David! Kau memberiku janji kosong! Kau memberiku delapan tahun hidupku di balik bayang-bayang!"

Kemarahan David memuncak. Ia tidak bisa lagi mengendalikan diri. Dalam sekejap, ia mendekat, meraih bahu Clara dengan kasar. "Kau tidak akan bisa melakukan ini, Clara! Kau tidak akan bisa menceraikanku! Kau milikku! Kau tahu itu!" Cengkeramannya menguat, menyakitkan.

Clara berusaha melepaskan diri, namun David semakin erat mencengkeramnya. Matanya memerah, napasnya memburu. "Lepaskan aku, David! Jangan sentuh aku!"

David seolah tidak mendengar. Kemarahan dan kepanikan menguasai dirinya. Ia mencengkeram Clara, mengguncangnya, seolah ingin menyadarkan wanita itu dari apa yang David anggap sebagai kegilaan. "Pikirkan baik-baik, Clara! Kau akan menyesalinya! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!"

Rasa sakit dan ketakutan menyelimuti Clara. Ia berjuang, berteriak, namun David semakin kehilangan kendali. Cengkeraman David semakin kuat, menarik tubuh Clara hingga Clara jatuh, kepalanya membentur sudut meja yang keras. Rasa sakit yang tajam menjalar, diikuti oleh kegelapan yang pekat.

Ketika Clara membuka matanya, ia berada di rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidungnya. Ada rasa sakit yang luar biasa di kepalanya dan di bagian bawah perutnya. Di samping ranjang, seorang dokter wanita menatapnya dengan ekspresi prihatin.

"Nyonya Clara, Anda sudah sadar," kata dokter itu lembut. "Bagaimana perasaan Anda?"

Clara mencoba berbicara, namun suaranya tercekat. "Anakku... bagaimana anakku?" Tiba-tiba, ia teringat semua yang terjadi. Pertengkaran dengan David, benturan, rasa sakit...

Dokter menghela napas. "Saya turut berduka, Nyonya Clara. Anda mengalami pendarahan hebat. Kami berhasil menyelamatkan satu dari dua janin Anda."

Dunia Clara runtuh lagi. Satu dari dua janin? Ia mengandung kembar? Dan kehilangan satu? Rasa sakit fisik tidak sebanding dengan hantaman emosional yang ia rasakan. Tangannya terangkat, menyentuh perutnya yang masih terasa kosong sekaligus nyeri. Air mata mengalir tanpa henti. Satu janinnya... David... kekerasan David...

"Suami Anda, Tuan David, ada di luar. Dia sangat khawatir," kata dokter itu.

Mendengar nama David, seluruh tubuh Clara menegang. Khawatir? Setelah apa yang dilakukannya? Clara merasakan gelombang kemarahan yang dingin dan tajam. Tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi kelembutan, tidak ada lagi cinta yang tersisa untuk pria itu. Hanya ada kebencian yang mendalam, dan kekosongan yang menganga di hatinya akibat kehilangan yang tak termaafkan.

Sejak hari itu, Clara bukan lagi Clara yang dulu. Wanita patuh, lembut, dan penuh cinta yang selalu mendambakan pengakuan David, kini telah mati. Di tempatnya, bangkitlah sesosok wanita yang dingin, tak acuh, dan penuh tekad. Tekad untuk melindungi apa yang tersisa darinya, dan untuk membuat David merasakan setiap tetes penderitaan yang ia alami.

David mencoba mendekati Clara, memohon maaf, menjelaskan bahwa ia tidak sengaja, bahwa itu adalah luapan emosi sesaat. Ia datang setiap hari ke rumah sakit, membawa bunga, makanan, dan kata-kata penyesalan. Namun, Clara hanya menatapnya dengan mata kosong, tak berekspresi. Kata-kata maaf David terdengar hampa di telinganya. David telah mengambil sesuatu yang tidak akan pernah bisa dikembalikan. Ia telah merenggut salah satu nyawa mungil yang tumbuh di rahimnya, dan menghancurkan jiwanya.

Rasa bersalah mulai menggerogoti David. Ia melihat perubahan drastis pada Clara. Istrinya yang dulu selalu ceria dan penuh perhatian, kini bergeming. Tatapan matanya tajam, dingin, dan penuh jarak. David mencoba menyentuh tangannya, namun Clara menariknya seolah disentuh benda panas.

"Clara, tolong... maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang merasukiku," David memohon, suaranya parau.

Clara akhirnya berbicara, suaranya serak dan datar, tanpa emosi. "Kau telah membunuh anakku, David. Salah satu dari mereka. Kau telah menghancurkan harapan dan impianku. Kau pikir maafmu bisa mengembalikan semua itu?"

David tersentak. Kata-kata Clara menusuknya bagai belati. Ia tahu, ia telah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang tidak mungkin dimaafkan. Ia melihat pantulan dirinya di mata Clara-seorang monster. Rasa bersalah itu kini tak hanya menggerogoti, tetapi juga mencekiknya. Ia telah menghancurkan hidup wanita yang dulu sangat ia cintai, dan kini, ia harus hidup dengan konsekuensinya. Konsekuensi dari rahasia yang ia jaga, ambisi yang ia kejar, dan kekerasan yang ia lakukan.

Clara tidak lagi patuh. Ia tidak lagi lemah lembut. Ia adalah badai yang tenang, siap untuk melepaskan segala amarah dan kepedihan yang terpendam. David telah menciptakan monster dari wanita yang paling mencintainya. Dan kini, monster itu akan kembali menghantuinya.

Dalam beberapa minggu setelah kepulangan Clara dari rumah sakit, suasana di antara mereka menjadi neraka. Rumah yang dulunya dipenuhi kehangatan, kini terasa seperti kuburan es. Clara berbicara hanya jika diperlukan, dan itu pun dengan nada dingin, sarat akan kebencian. David berusaha keras untuk memperbaiki semuanya, menawarkan apa saja yang bisa ia berikan. Ia bahkan mulai berani berbicara tentang mengumumkan pernikahan mereka ke publik.

"Clara, kita bisa umumkan pernikahan kita sekarang. Aku akan mengadakan konferensi pers. Aku akan mengatakan semuanya. Aku akan memperbaikinya," David mencoba membujuk, putus asa.

Clara hanya menatapnya dengan sinis. "Terlambat, David. Jauh terlambat. Kau pikir dengan mengumumkan pernikahan itu sekarang, semua akan kembali seperti semula? Kau pikir itu bisa mengembalikan anakku yang hilang?"

Setiap kata Clara adalah sabetan pedang. David merasa tak berdaya. Ia terjebak dalam jebakan yang ia ciptakan sendiri. Ambisinya, rahasianya, dan keegoisannya telah merenggut kebahagiaannya, dan kini, ia harus menghadapi konsekuensinya.

Clara mulai menyusun rencananya. Ia mencari pengacara terbaik, mengumpulkan semua bukti yang diperlukan untuk gugatan cerainya. Ia tidak hanya ingin bercerai; ia ingin David merasakan penderitaan yang sama, atau bahkan lebih, dari apa yang telah ia rasakan. Ia akan memastikan David kehilangan segalanya, sama seperti ia kehilangan salah satu janinnya.

Di balik wajah dingin dan tak acuhnya, ada api dendam yang membara. Clara adalah wanita yang berbeda. Ia telah melewati batas penderitaan yang tak terbayangkan, dan ia telah kembali sebagai kekuatan yang tak bisa dihentikan. David telah menyalakan api itu, dan kini, ia harus bersiap untuk terbakar. Kejutan demi kejutan memang menghantam David, namun kejutan yang paling besar adalah transformasi Clara. Wanita yang dulu ia anggap lemah, kini adalah ancaman terbesarnya. Dan David, yang selalu mengendalikan segalanya, kini merasa dirinya tidak lagi memegang kendali. Ia hanya bisa menatap, dihantui oleh rasa bersalah yang menggerogoti dan ketidakpastian akan masa depan yang suram.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY