Senyum tipisnya tersungging sempurna, namun ada kilatan misterius di matanya, seolah menyimpan rahasia yang tak terjamah. Di sisinya, Ardi Permana berdiri tegak, setelan tuksedo hitamnya membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna. Matanya tak pernah lepas dari Cantika, tatapan penuh puja dan posesif.
Ardi Permana, putra tunggal dari keluarga konglomerat Permana Group yang menguasai sebagian besar sektor properti dan perhotelan di negeri ini, adalah definisi sempurna dari seorang pria idaman. Tampan, cerdas, berkarisma, dan tentu saja, sangat kaya. Ia terlahir dengan sendok emas di mulutnya, terbiasa dengan segala kemewahan dan kemudahan. Namun, di antara semua yang ia miliki, Cantika adalah permata paling berharga baginya. Ia memuja setiap inci dari Cantika, dari rambut hitam legamnya yang selalu tertata rapi, mata almondnya yang selalu memancarkan kecerdasan, hidung mancungnya, hingga bibir penuhnya yang selalu berhasil membuatnya mabuk kepayang. Bagi Ardi, Cantika adalah karya seni paling indah yang pernah Tuhan ciptakan, sebuah mahakarya yang harus ia miliki sepenuhnya.
Pernikahan mereka adalah sebuah perhelatan akbar yang menjadi buah bibir masyarakat selama berminggu-minggu. Media massa tak henti-hentinya memberitakan detail pernikahan abad ini, mengulas setiap aspek kemewahan dan kemegahannya. Kisah cinta Ardi dan Cantika digambarkan sebagai dongeng modern, di mana pangeran tampan jatuh cinta pada putri jelita. Namun, di balik semua kilauan dan sorotan kamera, hanya Cantika dan Ardi yang tahu bahwa fondasi pernikahan mereka sedikit lebih kompleks dari sekadar kisah romantis biasa. Ya, ada cinta. Cinta yang tulus dari Ardi kepada Cantika, sebuah cinta yang begitu besar hingga mampu menutupi sisi-sisi lain yang mungkin tak terlihat oleh mata publik. Namun, bagi Cantika, cinta itu datang dengan harga yang harus dibayar. Sebuah harga yang ia setujui, demi masa depan yang lebih baik, demi hidup yang lebih stabil. Cantika memang mencintai Ardi, namun ia juga mencintai keamanan, kemewahan, dan status sosial yang Ardi tawarkan. Ini adalah sebuah pertukaran, sebuah perjanjian tak tertulis yang hanya mereka berdua pahami.
"Cantika, kau terlihat sangat bahagia," bisik Ardi di telinga Cantika, suaranya dalam dan penuh kasih. Ia meraih tangan Cantika, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya, sensasi yang familiar namun tetap membuat Cantika sedikit merinding.
Cantika menoleh, senyumnya semakin lebar. "Tentu saja, Ardi. Ini hari pernikahan kita. Siapa yang tidak bahagia?" jawabnya, nada suaranya selembut sutra. Ia menatap mata Ardi, mencoba memancarkan kebahagiaan yang sama. Ia tahu Ardi sangat ingin melihatnya bahagia, dan ia tidak ingin mengecewakannya. Setidaknya, tidak di hari penting ini.
Ardi mengeratkan genggaman tangannya. "Aku akan memastikan kau bahagia setiap hari, Cantika. Aku bersumpah." Janji itu, diucapkan di tengah riuhnya pesta dan sorak sorai tamu, terdengar begitu tulus dan meyakinkan. Cantika hanya tersenyum tipis, membiarkan Ardi memeluknya erat, menenggelamkan diri dalam pelukan yang hangat dan aman.
Malam itu, di suite pengantin yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, Ardi memandangi Cantika yang tengah berdiri di depan jendela, siluet tubuhnya terpahat indah diterpa cahaya bulan. Gaun tidurnya yang berbahan satin putih melambai lembut mengikuti lekuk tubuhnya.
"Cantika," panggil Ardi, suaranya serak. Ia mendekat, memeluk Cantika dari belakang, dagunya bersandar di bahu Cantika. "Aku mencintaimu."
Cantika merasakan kehangatan tubuh Ardi memeluknya. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati keheningan yang singkat sebelum menjawab, "Aku juga mencintaimu, Ardi." Jawaban itu keluar secara otomatis, sebuah mantra yang sudah ia hafal di luar kepala. Ardi membalikkan tubuh Cantika, menangkup wajah Cantika dengan kedua tangannya, dan mencium bibirnya dengan penuh gairah. Ciuman itu dalam, menuntut, dan penuh kepemilikan. Cantika membalasnya, mencoba menenggelamkan diri dalam sensasi yang familiar, membiarkan tubuhnya bereaksi secara alami, meskipun pikirannya melayang entah ke mana.
Di sisi lain kota, di sebuah apartemen sederhana namun nyaman yang terletak di kawasan yang jauh dari kemewahan pusat kota, Reza Dirgantara sedang menikmati secangkir kopi hitam pekat di balkon apartemennya. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan tampak seperti permata yang berserakan di hamparan kain beludru gelap. Meskipun bergelimang harta, Reza lebih menyukai kesederhanaan dan ketenangan. Ia adalah seorang konglomerat ternama yang memimpin Dirgantara Holdings, sebuah perusahaan investasi multinasional yang namanya sudah dikenal di kancah internasional. Kekayaan dan kekuasaannya tak perlu diragukan lagi. Namun, tidak seperti Ardi yang tumbuh dalam kemewahan sejak lahir, Reza membangun kerajaannya dari nol. Ia adalah seorang pekerja keras, cerdas, visioner, dan memiliki insting bisnis yang tajam. Ia memulai bisnisnya dari sebuah perusahaan rintisan kecil hingga kini menjadi salah satu konglomerat paling berpengaruh di Asia.
Reza menghela napas panjang, senyum kecil terukir di bibirnya saat bayangan wajah kekasihnya, Luna Amara, melintas di benaknya. Luna, gadis cantik nan lugu yang berasal dari sebuah desa di kaki gunung, adalah kebalikan dari segala yang pernah Reza kenal. Ia tidak glamour, tidak ambisius dalam hal materi, dan tidak pernah memaksakan diri untuk mengikuti gaya hidupnya yang mewah. Luna adalah angin segar dalam hidup Reza yang selama ini hanya dipenuhi oleh angka-angka, saham, dan rapat-rapat penting. Kehadirannya membawa warna, keceriaan, dan ketenangan.
Hubungan mereka dimulai secara tak terduga. Reza, yang sedang dalam perjalanan bisnis ke daerah terpencil, mengalami kecelakaan mobil kecil di jalan desa. Luna, yang kebetulan lewat, menolongnya dengan sigap, membawa Reza ke rumahnya dan merawat luka-lukanya dengan penuh ketulusan. Di gubuk sederhana dengan aroma kayu bakar dan masakan rumahan yang lezat, Reza menemukan kedamaian yang tak pernah ia rasakan di tengah gemerlap kota. Ia terpesona oleh kecantikan alami Luna, tawa renyahnya, dan kepolosan hatinya. Luna tidak tahu siapa Reza sebenarnya, dan Reza sengaja tidak memberitahunya. Ia ingin melihat apakah Luna bisa mencintainya apa adanya, bukan karena status dan kekayaannya. Dan Luna membuktikan itu. Ia mencintai Reza, pria sederhana yang ia kira hanyalah seorang pengusaha biasa yang sedang sial.
Setelah pulih, Reza kembali ke kota, namun hatinya tertinggal di desa bersama Luna. Ia terus menghubunginya, sering datang berkunjung, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya dan juga jati dirinya. Awalnya Luna terkejut, sangat terkejut. Ia tidak menyangka pria yang ia cintai adalah seorang konglomerat besar. Ketakutan akan perbedaan dunia mereka sempat menghantuinya. Namun, Reza meyakinkannya bahwa cinta mereka lebih besar dari segala perbedaan. Ia berjanji akan selalu melindungi Luna dan memastikan kebahagiaannya.
"Luna... Apa yang sedang kau lakukan sekarang?" gumam Reza pada dirinya sendiri, jemarinya memutar-mutar gagang cangkir. Ia merindukan senyum polos Luna, suara lembutnya, dan masakan-masakan sederhana Luna yang selalu berhasil membuat perutnya kenyang dan hatinya hangat. Mereka berencana untuk bertemu besok, dan Reza sudah tidak sabar.
Di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, di sebuah rumah kayu sederhana dengan halaman yang dipenuhi bunga-bunga liar, Luna Amara sedang membaca buku di teras rumahnya, ditemani secangkir teh herbal hangat. Cahaya lampu minyak yang redup menerangi halaman buku, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Luna mengenakan daster rumahan sederhana, rambut hitam panjangnya diikat seadanya. Wajahnya bersih tanpa polesan make up, namun kecantikan alaminya terpancar jelas. Mata indahnya memancarkan keteduhan dan kepolosan.
Luna adalah gadis yang mandiri dan pekerja keras. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup sederhana, membantu orang tuanya bertani dan mengurus kebun. Ia tidak pernah punya ambisi besar untuk hidup mewah atau mengejar karier di kota. Baginya, kebahagiaan adalah melihat orang tuanya sehat, kebun mereka subur, dan bisa menikmati ketenangan hidup di desa. Namun, kehadiran Reza mengubah segalanya. Reza membuka matanya pada dunia yang lebih luas, dunia yang belum pernah ia bayangkan. Ia mencintai Reza dengan sepenuh hati, tanpa memandang status atau kekayaan pria itu. Ia mencintai kebaikan hati Reza, perhatiannya, dan bagaimana Reza selalu membuatnya merasa aman dan dicintai.
Ia ingat ketika Reza pertama kali datang ke rumahnya, terluka dan tampak kelelahan. Luna tidak tahu siapa dia, hanya melihatnya sebagai seorang musafir yang membutuhkan pertolongan. Ia merawat Reza dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan. Ia bahkan sempat mengkhawatirkan kondisi Reza yang tampak begitu rapuh. Dan kini, pria itu adalah kekasihnya, pria yang berjanji akan selalu berada di sisinya.
Luna tersenyum tipis, membalik halaman bukunya. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan mudah. Banyak perbedaan yang harus mereka hadapi. Namun, ia yakin cinta mereka akan mampu melewati semua rintangan. Ia memegang erat liontin kecil pemberian Reza yang selalu melingkar di lehernya. Liontin perak dengan ukiran nama mereka berdua. Itu adalah hadiah ulang tahunnya yang terakhir, dan menjadi jimat keberuntungannya.
Di kamar tidur utama di sebuah rumah mewah, Cantika sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun tidur sutra yang ia kenakan menampakkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ia memegang botol parfum mahal di tangannya, aromanya menusuk indra penciumannya. Setelah pernikahan, hidupnya berubah drastis. Ia kini resmi menjadi Nyonya Ardi Permana, istri dari salah satu konglomerat paling berpengaruh. Semua kebutuhannya terpenuhi, bahkan lebih dari itu. Ia bisa membeli apa pun yang ia inginkan, pergi ke mana pun yang ia mau. Ia memiliki kartu kredit tak terbatas, pengawal pribadi, supir, dan pelayan yang selalu siap sedia melayaninya.
Hidupnya adalah impian banyak wanita. Namun, terkadang, di tengah semua kemewahan ini, Cantika merasa kosong. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ia merindukan masa-masa ketika ia harus bekerja keras, ketika ia harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Kini, semua sudah ada di depan mata, tanpa perlu berusaha. Ia tahu ia harus bersyukur, dan ia bersyukur. Namun, rasa syukur itu terkadang berbalut rasa hampa yang tak dapat dijelaskan.
Ardi sangat mencintainya, itu jelas. Ardi memanjakannya, melimpahinya dengan hadiah-hadiah mewah, dan selalu berusaha memenuhi setiap keinginannya. Namun, terkadang, cinta Ardi terasa begitu posesif, begitu mengikat. Seolah-olah Cantika adalah properti berharganya yang harus ia lindungi dan kendalikan. Ardi selalu ingin tahu di mana Cantika berada, dengan siapa, dan apa yang ia lakukan. Awalnya, Cantika mengira itu adalah bentuk perhatian, namun lama-kelamaan, ia merasa seperti terkurung dalam sangkar emas.
"Nyonya, Tuan Ardi sudah tidur," ujar Bi Inah, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja untuk keluarga Permana, mengetuk pintu kamar.
Cantika tersentak dari lamunannya. "Oh, iya, Bi. Terima kasih," jawabnya. Ia meletakkan botol parfum di meja rias, lalu berjalan menuju tempat tidur. Ardi sudah terlelap, wajahnya terlihat tenang. Cantika berbaring di sampingnya, membelakanginya, memejamkan mata, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkecamuk di benaknya. Ia harus bahagia. Ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Tidak ada alasan untuk merasa tidak bahagia. Ia menghela napas, berharap esok hari akan membawa kejelasan yang lebih baik.
Di lain tempat, Reza sedang berbicara di telepon dengan Luna. Suaranya lembut, penuh kehangatan. "Jadi, kau sudah siap besok?" tanyanya, senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Tentu saja, Mas Reza. Aku sudah tidak sabar," jawab Luna, suaranya riang. "Mas Reza mau kubawakan masakan apa besok?"
Reza tertawa kecil. "Apapun yang kau masak pasti enak, Luna. Aku akan makan semuanya."
Luna terkekeh. "Mas Reza ini bisa saja."
"Aku serius, Luna. Aku merindukan masakanmu." Reza berhenti sejenak. "Aku merindukanmu."
Hening sejenak. Luna merasakan pipinya menghangat. "Aku juga merindukan Mas Reza," bisiknya.
"Baiklah, kalau begitu, istirahatlah. Sampai jumpa besok," ujar Reza.
"Sampai jumpa, Mas Reza," balas Luna.
Setelah panggilan terputus, Reza menatap ponselnya, senyumnya tak kunjung pudar. Ia tahu bahwa perjalanannya dengan Luna tidak akan mulus. Orang tuanya mungkin akan menentang hubungannya dengan Luna yang berasal dari desa. Banyak orang mungkin akan menghakimi. Namun, Reza tidak peduli. Ia sudah menemukan wanita yang ia cintai, wanita yang mampu membuatnya merasa lengkap. Luna adalah permata tak ternilai baginya, lebih berharga dari semua perusahaan dan kekayaannya. Ia akan memperjuangkan Luna, bagaimanapun caranya. Ia bertekad untuk melindungi Luna dari segala kesulitan dan memastikan kebahagiaan gadis itu.
Reza bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela apartemennya. Ia menatap langit malam yang bertabur bintang, membayangkan masa depannya bersama Luna. Sebuah masa depan yang mungkin tidak akan mudah, namun penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Ia tahu ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala rintangan yang mungkin akan datang. Namun, dengan Luna di sisinya, ia merasa sanggup menghadapi apapun.
Ia kembali ke kamarnya, meraih buku tebal yang terletak di meja samping tempat tidur. Buku tentang filosofi kehidupan, yang selalu menjadi teman setianya di kala senggang. Ia membaca beberapa halaman, namun pikirannya terus kembali pada Luna. Ia membayangkan bagaimana rasanya memiliki Luna di sisinya setiap malam, bangun di pagi hari dan melihat wajah cantiknya. Kehadiran Luna telah mengubah perspektifnya tentang hidup. Ia tidak lagi hanya berorientasi pada keuntungan dan kekuasaan. Ia mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar materi. Cinta, kebahagiaan, dan kedamaian batin.
Sementara itu, di kediaman mewah keluarga Permana, Cantika masih belum bisa tidur. Ia merasakan beban yang begitu besar di pundaknya. Ekspektasi dari keluarga Ardi, pandangan masyarakat, dan juga harapannya sendiri. Ia harus menjadi istri yang sempurna, menantu yang ideal, dan figur publik yang patut dicontoh. Ia harus selalu tampil prima, selalu tersenyum, dan selalu menunjukkan kebahagiaan.
Cantika bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju lemari pakaian yang besar. Ia membuka pintu lemari, menatap deretan gaun-gaun mahal, tas-tas branded, dan perhiasan-perhiasan berkilauan. Semua ini adalah miliknya sekarang. Dulu, ia hanya bisa bermimpi tentang semua kemewahan ini. Kini, ia memilikinya. Namun, apakah ini yang benar-benar ia inginkan?
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat masa-masa sebelum bertemu Ardi. Masa-masa ketika ia masih seorang gadis biasa, bekerja keras di sebuah perusahaan kecil, tinggal di apartemen sederhana. Saat itu, hidupnya penuh dengan tantangan, namun juga penuh dengan semangat. Ia memiliki teman-teman yang tulus, ia memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun yang ia inginkan.
Kini, ia memiliki segalanya, namun ia merasa kehilangan sebagian dari dirinya. Ia merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas, meskipun sangkar itu dihiasi dengan permata dan emas. Ia tahu ia tidak bisa mengeluh. Ini adalah pilihan yang ia buat sendiri. Ia harus menjalaninya.
Cantika berjalan ke balkon kamarnya, menghirup udara malam yang dingin. Ia menatap langit yang gelap, dihiasi bintang-bintang yang berkelip samar. Ia bertanya-tanya, apakah kebahagiaan sejati memang bisa ditemukan dalam kemewahan dan status sosial? Atau apakah kebahagiaan itu justru terletak pada hal-hal sederhana yang selama ini ia abaikan?
Pikirannya melayang pada sosok Luna Amara, gadis sederhana dari desa yang ia kenal melalui cerita-cerita Ardi. Luna adalah kebalikan dari dirinya. Sederhana, polos, dan apa adanya. Cantika pernah melihat foto Luna di ponsel Ardi. Gadis itu memiliki senyum yang tulus dan mata yang memancarkan ketenangan. Cantika bertanya-tanya, apakah Luna bahagia dengan kehidupannya yang sederhana? Apakah Luna merasa lengkap tanpa semua kemewahan ini?
Ia menggelengkan kepalanya. Tidak ada gunanya membandingkan diri dengan orang lain. Setiap orang memiliki takdirnya sendiri. Ia harus fokus pada kehidupannya sendiri, pada pernikahannya, dan pada kebahagiaannya. Ia harus belajar untuk mencintai Ardi dengan sepenuh hati, tanpa syarat. Ia harus belajar untuk menghargai semua yang telah Ardi berikan padanya.
Cantika kembali ke tempat tidur, berbaring di samping Ardi, memeluk tubuh suaminya erat-erat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bahagia, sangat bahagia. Ia akan membuat pernikahan ini berhasil, apa pun yang terjadi. Ia akan menjadi istri yang baik bagi Ardi, dan ia akan melahirkan anak-anak yang sehat dan cerdas untuk keluarga Permana. Ini adalah takdirnya, dan ia akan menjalaninya dengan kepala tegak.
Ia memejamkan mata, membiarkan kelelahan membalut tubuhnya, menariknya ke dalam alam mimpi yang mungkin akan lebih menyenangkan daripada kenyataan yang sedang ia jalani. Di alam mimpi, mungkin ia bisa menemukan kebebasan yang ia rindukan, atau mungkin, ia bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantuinya. Cantika berharap, di balik segala kemewahan dan tuntutan ini, ia akan benar-benar menemukan makna kebahagiaan sejati. Ia berharap, di dalam sangkar emas ini, ia bisa menemukan kedamaian yang ia cari.