Anjani mengusap air mata yang tak henti mengalir. Ia duduk bersimpuh di lantai dingin, memeluk kedua lututnya erat-erat, seolah mencari perlindungan dari kenyataan yang begitu kejam. Foto pernikahannya dengan Bagas tergeletak di atas nakas, menampilkan senyum-senyum bahagia yang kini terasa begitu asing, begitu palsu. Bagas, cinta pertamanya, belahan jiwanya, kini justru menjadi sumber luka yang paling dalam.
"Untuk apa lagi aku mempertahankannya?" gumam Bagas kala itu, suaranya dingin, tanpa jejak kehangatan yang dulu selalu Anjani kenal. Matanya menatap Anjani dengan pandangan hampa, seolah Anjani adalah benda tak berharga yang patut disingkirkan. "Aku butuh penerus, Anjani. Keluarga kita butuh garis keturunan."
Anjani ingat betul bagaimana kata-kata itu menusuknya lebih dalam dari pisau manapun. Hatinya mencelos, tercekat. Ia mencoba meraih tangan Bagas, berharap ada sedikit belas kasih di sana, sedikit pengertian. Namun, Bagas menepisnya. "Jangan sentuh aku," desisnya. "Kau menjijikkan."
Kata 'menjijikkan' itu melayang di udara, menancap di ulu hati Anjani, membuat napasnya terasa sesak. Ia tak pernah menyangka, cinta yang dulu mereka rajut dengan begitu indah, janji-janji setia yang terucap di hadapan Tuhan, kini hancur lebur hanya karena satu vonis medis. Ia bukan lagi Anjani yang dicintai, melainkan sekadar rahim yang gagal, sebuah wadah kosong yang tak berguna.
Dan hari ini, puncaknya. Ibu Rita, ibu mertuanya, yang selama ini selalu bersikap manis dan penuh kasih sayang di hadapan Anjani, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang kejam dan tak berperasaan. Pagi-pagi sekali, Ibu Rita datang ke rumah mereka, membawa serta beberapa koper besar.
"Anjani, kemasi barang-barangmu," perintah Ibu Rita, suaranya menusuk, tanpa basa-basi. Matanya menatap Anjani dengan jijik, sama seperti tatapan Bagas tempo hari. "Kau sudah tidak ada tempat di sini."
Anjani terkesiap. "Apa maksud, Bu?" tanyanya, suara bergetar.
Ibu Rita mendengus, melipat tangan di dada. "Apa lagi? Bagas akan menikah lagi. Dengan adik tirimu, Sinta."
Dunia Anjani runtuh. Bukan hanya retak, tapi hancur berkeping-keping. Sinta? Adik tirinya? Adik yang ia sayangi, yang ia lindungi, yang ia anggap seperti darah dagingnya sendiri? Bagaimana mungkin?
"Tidak mungkin," bisik Anjani, menggelengkan kepala tak percaya. "Sinta tidak akan melakukan ini padaku."
"Oh, dia akan," sahut Ibu Rita sinis. "Sejak awal, Sinta memang lebih cocok untuk Bagas. Dia muda, subur, dan tentu saja, dia bisa memberikan Bagas apa yang tidak bisa kau berikan: seorang anak."
Air mata Anjani kembali tumpah. Sakit. Sakit sekali. Pengkhianatan ini terasa berkali lipat lebih menyakitkan daripada vonis dokter sekalipun. Orang-orang yang ia cintai, orang-orang yang seharusnya menjadi sandarannya, kini justru menusuknya dari belakang, bersekongkol menghancurkan hidupnya.
Ia berdiri perlahan, merasakan nyeri di setiap persendiannya, seolah tubuhnya pun ikut remuk. Ia menatap Ibu Rita dengan pandangan kosong. "Jadi, selama ini, semua kebaikan itu... hanya sandiwara?"
Ibu Rita hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Itu sudah nasibmu, Anjani. Kau tidak berguna lagi. Sekarang, cepat kemasi barang-barangmu. Bagas tidak ingin melihatmu lagi di sini saat dia pulang nanti."
Seolah ada kekuatan gaib yang mendorongnya, Anjani mulai melangkah ke kamar tidur. Setiap langkah terasa berat, seperti menyeret beban seribu ton. Di lemari pakaian, ia melihat gaun pengantinnya yang tergantung rapi. Dulu, ia membayangkan gaun itu akan menjadi simbol kebahagiaan abadi. Kini, ia hanya melihatnya sebagai kain putih yang menyimpan kenangan pahit.
Dengan tangan gemetar, ia mulai memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ransel kecil. Tidak banyak barang yang ia bawa. Seolah, ia ingin meninggalkan semua kenangan pahit ini di rumah yang dulunya ia sebut 'rumah impian'. Ia tidak punya tujuan, tidak punya rencana. Hanya ada kehampaan yang mencekiknya.
Ketika ia kembali ke ruang tamu dengan tas di tangan, Bagas sudah berdiri di ambang pintu, wajahnya datar, tanpa ekspresi. Di sampingnya, Sinta berdiri dengan senyum tipis yang penuh kemenangan. Ia mengenakan gaun sutra berwarna krem, rambutnya tergerai indah, dan matanya berkilat licik.
Melihat Sinta berdiri di sana, di samping Bagas, Anjani merasakan gejolak amarah yang membakar. Bukan hanya sakit hati, tapi juga kemarahan yang membara. Bagaimana bisa Sinta, adik tirinya, wanita yang ia besarkan, yang ia belikan pakaian, yang ia ajari banyak hal, tega melakukan ini?
"Sudah siap?" tanya Bagas, suaranya tetap dingin.
Anjani tidak menjawab. Ia hanya menatap Bagas dan Sinta bergantian. Ada kebencian yang mulai tumbuh di hatinya, menggantikan rasa sakit yang tak terhingga.
"Anjani, kami tidak ingin ada masalah," kata Sinta, suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ejekan yang jelas di dalamnya. "Lebih baik kau pergi saja. Hidupmu akan lebih tenang."
"Tenang?" Anjani tertawa sinis, tawa yang terdengar lebih seperti rintihan. "Bagaimana aku bisa tenang setelah kalian menghancurkanku seperti ini? Kalian bajingan!"
Sinta tersentak. Bagas maju selangkah. "Jaga bicaramu, Anjani!" bentaknya.
"Jaga bicaraku? Setelah kalian menginjak-injak hatiku, setelah kalian membuangku seperti sampah? Apa yang harus kujaga?!" Anjani tidak bisa menahan emosinya lagi. Semua kekecewaan, kemarahan, dan rasa sakit yang ia rasakan meledak. "Kau, Bagas, kau suami macam apa?! Dan kau, Sinta, kau adik macam apa?! Kalian berdua adalah iblis! Aku tidak akan pernah memaafkan kalian!"
Bagas mencengkeram lengannya. "Keluar dari rumahku sekarang juga!"
Anjani menarik tangannya dengan kasar. "Baik! Aku akan pergi! Tapi ingat ini baik-baik, Bagas! Dan kau, Sinta! Aku akan kembali! Aku tidak akan melupakan ini! Aku bersumpah, aku akan membalas perbuatan kalian!"
Dengan air mata dan amarah yang memuncak, Anjani berbalik dan melangkah keluar dari rumah itu. Ia tidak peduli ke mana kakinya melangkah. Yang ia tahu, ia harus pergi sejauh mungkin dari tempat ini, dari orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya.
Anjani berjalan tanpa arah, air mata membasahi pipinya yang dingin. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah berjalan, atau ke mana tujuannya. Kota Jakarta yang ramai terasa begitu asing, begitu kejam. Setiap orang yang berpapasan dengannya seolah tidak melihat penderitaannya. Dunia tetap berputar, sementara dunianya hancur berkeping-keping.
Ia menemukan dirinya duduk di bangku taman yang sepi, di bawah pohon beringin tua. Daun-daun berguguran, mencerminkan perasaannya yang rontok. Ia mengeluarkan ponselnya, berharap ada seseorang yang bisa ia hubungi, seseorang yang bisa memberinya sedikit kekuatan. Namun, daftarnya terasa kosong. Orang tuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia hanya memiliki Bagas dan Sinta, dan kini, mereka adalah musuhnya.
"Apa yang harus kulakukan?" bisiknya pada angin. "Aku tidak punya apa-apa lagi."
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama "Ayah" tertera di layar. Bukan ayah kandungnya, melainkan Pak Rahmat, ayah tirinya. Pria yang menikahi ibunya setelah ayahnya meninggal, dan membawa Sinta ke dalam hidup mereka. Anjani dan Pak Rahmat tidak pernah memiliki hubungan yang hangat. Sejak dulu, Pak Rahmat selalu terlihat acuh tak acuh padanya, dan lebih memihak Sinta.
Anjani ragu sejenak, namun akhirnya mengangkat panggilan itu. "Halo, Ayah?"
Suara Pak Rahmat terdengar berat dan tergesa-gesa. "Anjani, kau harus pulang sekarang! Ada masalah besar!"
"Masalah apa?" Anjani merasakan firasat buruk.
"Ayah... Ayah terlilit utang. Sangat besar. Ayah bermain judi online dan sekarang... sekarang para rentenir mengancam akan membunuh Ayah jika Ayah tidak bisa membayar. Dan satu-satunya cara..." Suara Pak Rahmat tercekat. "Satu-satunya cara adalah kau harus menikah."
Anjani terkesiap. Menikah? Lagi? Setelah semua yang terjadi? "Menikah dengan siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Dengan... dengan seorang pria bernama Bima. Dia... dia lumpuh. Tapi dia kaya raya. Keluarga mereka bersedia melunasi semua utang Ayah, asalkan kau bersedia menikah dengannya."
Dunia Anjani kembali berputar. Ini bukan mimpi buruk, ini adalah kenyataan yang lebih mengerikan dari mimpi terburuk sekalipun. Setelah dicampakkan karena tidak bisa memiliki anak, ia kini dipaksa menikah dengan pria lumpuh demi melunasi utang-utang ayah tirinya yang sembrono. Takdir seolah sedang mempermainkannya, melemparkannya dari satu jurang ke jurang lainnya.
"Tidak, Ayah. Aku tidak bisa," Anjani menggelengkan kepala, air mata kembali membanjiri wajahnya. "Aku tidak bisa."
"Kau harus, Anjani! Ini demi keselamatan Ayah! Jika kau tidak mau, mereka akan membunuh Ayah! Apa kau tega melihat Ayah mati di tangan para penagih utang itu?!" Suara Pak Rahmat terdengar putus asa, bercampur dengan ancaman terselubung.
Anjani terdiam. Meskipun hubungan mereka tidak pernah baik, Pak Rahmat adalah satu-satunya keluarga yang tersisa baginya setelah Sinta dan Bagas mengkhianatinya. Ia tidak bisa membayangkan jika Pak Rahmat benar-benar celaka. Beban itu terlalu berat untuk ia tanggung.
Namun, menikah lagi? Dengan pria yang bahkan belum ia kenal, yang lumpuh, dan semua ini hanya demi melunasi utang? Rasanya seperti menjual diri, menjual sisa-sisa harga diri yang masih ia miliki.
"Ayah, apa tidak ada cara lain?" Anjani mencoba mencari celah.
"Tidak ada! Ini satu-satunya jalan! Pernikahan ini harus terjadi dalam seminggu! Mereka sudah tidak sabar!"
Anjani merasakan lehernya tercekat. Seminggu? Begitu cepat? Ia bahkan belum sempat mencerna semua kejadian hari ini. Hatinya hancur, jiwanya lelah. Bagaimana ia bisa menjalani hidup baru di tengah kekacauan ini?
"Anjani, Ayah mohon..." Suara Pak Rahmat terdengar seperti rintihan.
Anjani memejamkan mata. Ia merasa terjebak dalam labirin yang gelap, tanpa jalan keluar. Di satu sisi, ia tidak ingin Pak Rahmat celaka. Di sisi lain, ia tidak ingin mengorbankan hidupnya lagi.
Pikirannya berputar-putar. Mengapa semua ini harus terjadi padanya? Mengapa ia harus selalu menjadi korban? Dibuang suami, dikhianati adik, dan sekarang dipaksa menikah demi utang ayah tiri. Hidupnya terasa seperti lelucon pahit yang tak ada habisnya.
Namun, di tengah keputusasaan itu, secercah api kecil mulai menyala di dasar hatinya. Api amarah. Api dendam. Ia tidak akan membiarkan dirinya terus-menerus diinjak-injak. Ia tidak akan membiarkan Bagas dan Sinta hidup bahagia di atas penderitaannya.
Jika ia harus menikah dengan Bima, pria lumpuh yang kaya raya itu, maka biarlah. Ia akan menggunakan pernikahan ini sebagai jembatan. Jembatan untuk bangkit, jembatan untuk mendapatkan kekuatan, dan jembatan untuk membalas semua perlakuan keji yang ia terima.
Ia teringat kembali tatapan mata Sinta yang penuh kemenangan, senyum licik yang mengukir di bibirnya. Ia teringat bagaimana Bagas menatapnya seolah ia adalah sampah. Tidak, ia tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja.
"Baik, Ayah," kata Anjani, suaranya terdengar dingin dan mantap, bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Aku akan menikah dengannya."
Ada kelegaan yang jelas dalam suara Pak Rahmat. "Terima kasih, Anjani! Terima kasih! Ayah akan kirimkan alamatnya. Kau harus menemuinya besok."
Anjani mengakhiri panggilan. Ia menatap langit kelabu di atasnya. Air matanya sudah kering, digantikan oleh tekad yang membara.
Ini bukan akhir baginya. Ini adalah awal. Awal dari sebuah perjalanan balas dendam. Awal dari perjuangan untuk mendapatkan kembali hidupnya. Ia akan menerima perjodohan ini, ia akan menjalani pernikahan itu, tetapi ia tidak akan menjadi Anjani yang lemah dan tertindas lagi.
Ia akan menjadi wanita yang kuat, wanita yang bangkit dari keterpurukan, dan wanita yang akan membuat Bagas dan Sinta menyesali perbuatan mereka. Dengan tatapan kosong, ia melihat bayangan dirinya di genangan air hujan. Bayangan itu tampak rapuh, namun di dalamnya, ada percikan api yang siap membakar.
Perjodohan dengan Bima adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, itu adalah pembebasan dari ancaman utang Pak Rahmat. Di sisi lain, itu adalah pintu masuk ke dunia yang sama sekali baru, dunia yang belum ia pahami. Namun, Anjani tahu satu hal: ia tidak akan menyerah.
Ia harus mencari tahu siapa Bima, pria lumpuh yang akan menjadi suaminya. Mengapa keluarganya mau menanggung utang sebesar itu hanya untuk pernikahan ini? Pasti ada sesuatu yang lebih dari sekadar "kaya raya". Mungkin ada rahasia, mungkin ada motif tersembunyi. Anjani harus bersiap.
Ia mengepalkan tangannya. Rasa sakit di hatinya tidak hilang, tapi kini ia merasa memiliki tujuan. Tujuan untuk membalas dendam, tujuan untuk mendapatkan kembali kebahagiaannya.
Malam itu, Anjani tidak bisa tidur. Pikirannya melayang-layang, membayangkan skenario terburuk dan terbaik dari pernikahannya yang akan datang. Ia membayangkan bagaimana rasanya hidup bersama seorang pria yang lumpuh, bagaimana ia akan beradaptasi dengan keterbatasannya. Ia juga membayangkan bagaimana caranya mengumpulkan kekuatan, bagaimana ia bisa menggunakan posisinya sebagai istri dari seorang pria kaya untuk merencanakan balas dendamnya.
Ia harus pintar. Ia harus strategis. Ia tidak bisa bertindak gegabah. Bagas dan Sinta mungkin meremehkannya, mengira ia sudah hancur tak berdaya. Tapi mereka salah. Anjani yang sekarang, Anjani yang dipenuhi luka dan amarah, adalah Anjani yang berbahaya.
Esok pagi, Anjani berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, wajahnya pucat. Namun, di matanya, ada kilatan tekad yang membara. Ia mengikat rambutnya ke belakang, seolah mengikat semua kelemahan dan keraguan yang ia rasakan.
Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya. Babak di mana ia akan bangkit dari abu, babak di mana ia akan berjuang untuk dirinya sendiri, dan babak di mana ia akan membalas setiap tetes air mata dan setiap rasa sakit yang telah Bagas dan Sinta torehkan padanya.
Anjani yang dulu, yang lugu dan mudah percaya, telah mati. Kini, yang tersisa adalah Anjani yang baru, yang siap menghadapi segala rintangan, yang siap berjuang untuk kehidupannya, dan yang siap untuk membalas dendam.