Dia memiliki segalanya: karier yang cemerlang, seorang suami tampan dan mapan yang-setidaknya di matanya-sangat mencintainya, dan seorang putra semata wayang, Arya, yang kini beranjak lima tahun, adalah jantung kehidupannya.
Rutinitas pagi mereka adalah potret ideal sebuah keluarga modern. Pukul enam, Aleandra sudah terbangun, menyiapkan sarapan ringan yang seringkali hanya berupa oatmeal dengan buah beri segar dan green tea untuk dirinya dan Raffael. Suaminya, seorang eksekutif muda di sebuah perusahaan multinasional, selalu tampil prima dengan setelan jas mahal dan senyum menawan yang seringkali membuat Aleandra berdebar seperti saat pertama kali mereka bertemu tujuh tahun lalu. Arya, dengan rambut cokelat acak-acakan dan mata bulat polosnya, akan bergabung di meja makan, sibuk dengan sereal kartun favoritnya. Aleandra akan mencium kening Arya sebelum dia berangkat ke sekolah dengan supir pribadi, lalu beralih kepada Raffael, merapikan dasinya, dan memberikan kecupan ringan di pipi suaminya. Mereka berdua akan berangkat kerja dengan mobil terpisah, menjalani hari yang sibuk, dan bertemu lagi di malam hari untuk makan malam, seringkali di restoran-restoran mewah, atau sesekali Aleandra memasak hidangan favorit Raffael.
Kehidupan Aleandra adalah tarian indah antara profesionalisme dan kehangatan keluarga. Klien-kliennya memujinya karena visinya yang inovatif dalam mengubah lahan kosong menjadi mahakarya hijau, sementara di rumah, dia adalah ibu yang penuh kasih dan istri yang setia. Dia tak pernah sekalipun meragukan kesetiaan Raffael. Pria itu selalu tampak begitu mencintainya, memujinya, bahkan terkadang mengirimkan bunga ke kantornya tanpa alasan khusus, hanya untuk menunjukkan betapa dia menghargai Aleandra. Teman-teman dekatnya seringkali iri, mengatakan bahwa Aleandra hidup dalam dongeng. Dan Aleandra, dalam kebodohannya, setuju.
Namun, dongeng itu mulai menunjukkan retakannya pada malam itu, malam yang seharusnya menjadi perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh. Aleandra telah merencanakan kejutan. Dia pulang kerja lebih awal, memasak steak wagyu yang paling disukai Raffael, menyalakan lilin aromaterapi, dan memilih gaun malam hitam yang pernah Raffael puji habis-habisan. Dia bahkan mematikan lampu ruang tamu, hanya menyisakan cahaya remang dari lilin, menciptakan suasana romantis yang sempurna. Pukul delapan malam, Raffael belum juga tiba. Aleandra mencoba menghubunginya, tetapi ponselnya langsung masuk ke kotak suara. Sebuah keanehan, karena Raffael biasanya akan mengirim pesan jika dia akan terlambat.
Pukul sembilan, kegelisahan mulai merayapi hati Aleandra. Dia mengirim pesan, "Sayang, kamu di mana? Makan malam sudah siap. Selamat ulang tahun pernikahan." Tak ada balasan. Pukul sepuluh, lilin sudah meleleh separuh, steak sudah dingin, dan jantung Aleandra berdetak tak keruan. Dia mencoba menghubungi teman-teman Raffael, kolega-koleganya, siapa pun yang mungkin tahu keberadaannya. Nihil.
Saat tengah malam hampir tiba, ponsel Aleandra akhirnya berdering. Nama Raffael tertera di layar. Sebuah desahan lega lolos dari bibir Aleandra. "Raffael, kamu di mana saja? Aku khawatir sekali!" serunya, suaranya sedikit bergetar karena campuran lega dan amarah.
Ada jeda sejenak. Lalu, suara Raffael terdengar, tetapi bukan suara yang biasa Aleandra dengar. Itu suara yang berat, serak, seolah dia baru saja menangis atau baru bangun tidur. "Aleandra... Maafkan aku. Aku ada pekerjaan mendadak di luar kota. Ada masalah besar di proyek kita. Aku harus langsung ke sana."
Mata Aleandra mengerjap. "Pekerjaan mendadak? Kenapa kamu tidak bilang? Kenapa ponselmu tidak aktif?"
"Aku... aku tidak sempat. Semuanya serba cepat. Ponselku mati dan tidak ada charger. Aku baru bisa pinjam ponsel teman sekarang. Aku minta maaf, Aleandra. Aku tahu ini ulang tahun pernikahan kita. Aku akan menebusnya saat aku pulang." Suaranya terdengar meyakinkan, penuh penyesalan. Terlalu meyakinkan, pikir Aleandra.
"Baiklah," jawab Aleandra, berusaha menekan keraguan yang tiba-tiba muncul. Dia mencoba percaya, mencoba membuang pikiran buruk yang mulai berbisik di benaknya. Ini Raffael. Suaminya. Pria yang tak pernah sekalipun mengecewakannya. "Baiklah. Hati-hati di jalan. Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu," jawab Raffael, dan sambungan pun terputus.
Aleandra mematikan lilin, menyimpan makanan yang sudah dingin ke dalam kulkas, dan mengganti gaunnya dengan piyama. Dia berbaring di tempat tidur, mencoba tidur, tetapi otaknya terus memutar ulang percakapan itu. Ada sesuatu yang janggal. Cara Raffael berbicara, jeda-jeda aneh, dan alasan yang terkesan dibuat-buat. Raffael selalu membawa power bank atau charger cadangan. Dan pekerjaan mendadak di luar kota? Biasanya, dia akan diberitahu jauh-jauh hari jika ada perjalanan bisnis. Keraguan itu, meskipun kecil, mulai menancap kuat di hatinya.
Keesokan harinya, Aleandra bangun dengan perasaan tidak enak. Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang kepada Raffael. Dia membuka laptopnya, tetapi bukannya email pekerjaan, tangannya mengetikkan nama Raffael di kolom pencarian internet, lalu nama perusahaannya. Dia mencari berita proyek mendadak, masalah besar. Tidak ada. Semuanya tampak normal.
Kegelisahan itu memuncak saat siang hari. Aleandra memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Dia menelepon sekretaris Raffael, seorang wanita muda bernama Diana, yang selama ini selalu ramah padanya.
"Halo, Diana? Ini Aleandra."
"Oh, Ibu Aleandra! Ada yang bisa saya bantu?" suara Diana ceria seperti biasa.
"Maaf mengganggu, Diana. Raffael ada di kantor?" Aleandra mencoba terdengar santai, meskipun jantungnya berdegup kencang.
"Bapak Raffael? Tadi pagi Bapak datang sebentar, tapi beliau langsung pergi lagi, Bu. Katanya ada urusan penting di luar."
"Di luar kota?" Aleandra mencoba memancing informasi.
"Ehm... setahu saya tidak, Bu. Beliau hanya bilang ada pertemuan penting di salah satu restoran. Kenapa, Bu? Ada sesuatu yang mendesak?"
Dunia Aleandra terasa berputar. Raffael berbohong. Raffael tidak ke luar kota. Dia tidak ada pekerjaan mendadak. Ada pertemuan penting di restoran? Perut Aleandra serasa diaduk-aduk. Kepalanya berdengung. Apa yang disembunyikan Raffael?
"Tidak, Diana. Tidak ada apa-apa. Terima kasih," jawab Aleandra, lalu buru-buru menutup telepon.
Tangannya gemetar saat dia mencoba mengetikkan sesuatu di ponselnya. Restoran? Restoran apa? Dia mencoba mengingat semua restoran yang biasa Raffael kunjungi untuk pertemuan bisnis. Tidak ada yang terlintas di benaknya. Otaknya kosong, dipenuhi oleh satu pikiran: Raffael berbohong padanya.
Selama seminggu berikutnya, Raffael kembali ke rutinitasnya. Dia pulang ke rumah, bersikap seperti biasa, memeluk Aleandra, bermain dengan Arya. Dia bahkan membawa Aleandra makan malam di restoran mewah, mencoba "menebus" ulang tahun pernikahan mereka. Tetapi bagi Aleandra, setiap sentuhan Raffael terasa hambar, setiap perkataannya terasa palsu. Dia mengamati Raffael, mencoba menemukan celah, tanda-tanda kebohongan. Raffael tampak sedikit lebih lelah, sering melamun, dan sesekali ponselnya disembunyikan seolah takut Aleandra melihatnya. Insting Aleandra, yang selama ini terabaikan oleh cinta buta, kini menjerit-jerit.
Puncaknya terjadi pada suatu malam, saat Raffael tertidur pulas di sampingnya. Ponsel Raffael berkedip, menandakan ada pesan masuk. Aleandra tidak pernah menyentuh ponsel Raffael sebelumnya. Rasa hormat dan kepercayaan selalu menghalanginya. Tapi kali ini, dorongan untuk tahu kebenaran terlalu kuat. Dia meraih ponsel itu, tangannya gemetar.
Layar ponsel menunjukkan notifikasi dari aplikasi pesan. Nama pengirimnya adalah "Bidadariku".
Napas Aleandra tercekat. Bidadariku? Siapa ini? Dengan jantung berdebar kencang, ia membuka pesan itu.
Selamat pagi, Sayangku. Terima kasih untuk malam yang indah kemarin. Aku tidak sabar menunggu akhir pekan kita di Bali. Aku cinta kamu.
Sebuah foto terlampir di bawah pesan itu. Foto seorang wanita muda, cantik, dengan rambut panjang tergerai dan senyum menawan. Wanita itu berada di sebuah kamar hotel mewah, dan di belakangnya, samar-samar terlihat kemeja pria yang tergantung di kursi. Kemeja yang sangat familiar. Kemeja Raffael.
Dunia Aleandra runtuh. Kata-kata itu, foto itu, menamparnya telak. Bukan pekerjaan mendadak. Bukan masalah proyek. Raffael berselingkuh. Dan yang lebih menyakitkan, dia berselingkuh tepat di malam ulang tahun pernikahan mereka. Selama ini, dia hidup dalam sebuah kebohongan besar yang dibangun dengan begitu rapi.
Air mata mulai mengalir deras di pipi Aleandra, tanpa suara. Dia tidak ingin membangunkan Raffael. Dia menatap wajah suaminya yang tertidur pulas, wajah yang selama ini dia percaya, dia cintai, dia sayangi. Kini, wajah itu tampak asing, penuh kebohongan yang tak terucapkan. Pengkhianatan ini terasa lebih dalam daripada tusukan pisau. Itu adalah penghancuran total atas setiap kenangan, setiap janji, setiap momen kebahagiaan yang dia kira adalah nyata.
Dia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, dan mengunci pintunya. Di sana, di depan cermin, dia melihat pantulan dirinya. Wanita yang selama ini begitu percaya diri, kini tampak rapuh, hancur. Wajahnya pucat, matanya bengkak, dan air mata terus mengalir. Dia tidak menangis meraung, hanya isakan-isakan kecil yang lolos dari bibirnya, isakan-isakan yang penuh dengan rasa sakit, penyesalan, dan kemarahan yang membara.
Dia merasa konyol. Bagaimana dia bisa begitu buta? Bagaimana dia tidak melihat tanda-tanda itu? Kecurigaan kecilnya di awal, telepon Diana, dan kini, pesan dan foto itu. Semuanya adalah bukti yang telanjang, tetapi dia terlalu sibuk dalam mimpinya sendiri untuk menyadarinya.
Aleandra menghabiskan sisa malam itu di kamar mandi, mencoba menenangkan diri, mencoba berpikir. Apa yang harus dia lakukan? Marah? Menggugat cerai? Menghadapi Raffael? Pikiran itu terasa terlalu berat. Dia merasa mati rasa, seperti seluruh jiwanya telah direnggut.
Keesokan paginya, Aleandra bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Dia menyapa Raffael, menyiapkan sarapan, dan mengantar Arya ke sekolah seperti biasa. Tetapi ada dinding tak terlihat yang berdiri di antara dia dan Raffael. Setiap sentuhan Raffael terasa menjijikkan, setiap perkataannya terasa seperti racun. Dia menjaga jarak, menghindari tatapan mata Raffael, dan mencari alasan untuk tidak berada di ruangan yang sama dengannya.
Raffael sepertinya tidak menyadari perubahan itu. Atau mungkin dia terlalu asyik dengan dunianya sendiri untuk memperhatikan. Itu semakin menyakitkan Aleandra. Pria ini, suaminya, ayah dari putranya, tidak peduli. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Aleandra tahu.
Beberapa hari berlalu dalam keheningan yang menyiksa. Aleandra berusaha mengumpulkan kekuatannya, menyusun kata-kata untuk menghadapi Raffael. Dia tidak ingin gegabah, terutama demi Arya. Dia harus memikirkan Arya.
Suatu sore, saat Arya sedang tidur siang dan Raffael belum pulang dari kantor, Aleandra memutuskan bahwa ini adalah saatnya. Dia akan menghadapi Raffael. Dia akan menuntut kejelasan. Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponselnya dan mencari kontak "Bidadariku" di ponsel Raffael. Wanita itu adalah kunci dari semua kehancuran ini.
Dia menekan nomor itu. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.
Setelah beberapa dering, sebuah suara wanita yang lembut, manja, dan sedikit genit menjawab, "Halo, Sayang? Kok tumben telepon pakai nomor lain?"
Darah Aleandra mendidih. "Ini bukan Sayangmu," suara Aleandra terdengar datar, nyaris tanpa emosi, meskipun di dalamnya ada badai yang mengamuk. "Ini Aleandra, istri sah dari Raffael."
Ada keheningan panjang di ujung sana. Lalu, suara wanita itu berubah menjadi panik. "A-Aleandra? Maksud Anda... Bu Aleandra? Istri Bapak Raffael?"
"Benar. Dan aku ingin kau tahu, aku sudah tahu semuanya. Semua kebohongan yang kalian berdua rangkai di belakangku."
"Saya... saya minta maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Bapak Raffael sudah menikah. Dia bilang dia single." Suara wanita itu terdengar gemetar, dan Aleandra bisa mendengar nada kepanikan yang jujur di sana.
Mata Aleandra menyipit. Bohong. Raffael tidak mungkin bilang dia single. Dia selalu memakai cincin pernikahannya. Foto-foto mereka berdua sering diunggah di media sosialnya, meskipun Raffael bukan orang yang terlalu aktif di sana. Apakah wanita ini benar-benar tidak tahu, atau dia hanya berpura-pura?
"Jangan berbohong padaku. Kalian berdua sudah sejauh ini. Jadi, katakan padaku, siapa kau? Dan apa maumu dari suamiku?" Aleandra mencoba mengendalikan emosinya, agar tidak terdengar histeris. Dia butuh informasi.
"Nama saya Nayla, Bu. Saya... saya hanya karyawan baru di kantor Bapak Raffael. Dia... dia bilang dia akan menceraikan istrinya. Dia bilang pernikahannya sudah lama tidak bahagia." Suara Nayla terdengar seperti akan menangis.
Setiap kata yang keluar dari bibir Nayla adalah pukulan telak bagi Aleandra. Tidak bahagia? Setelah semua pengorbanan yang dia lakukan? Setelah dia menunda mimpinya untuk membangun bisnis sendiri demi mendukung karier Raffael? Setelah dia rela mengurangi jam kerjanya demi mengurus Arya dan memastikan rumah mereka selalu nyaman bagi Raffael? Tidak bahagia? Itu adalah kebohongan terbesar yang pernah dia dengar.
"Pernikahan kami sangat harmonis, Nayla. Sampai kau datang," Aleandra berkata dingin. "Kau tahu, pengorbanan yang kubuat untuk pria itu, tidak ada apa-apunya dibandingkan dengan kedatanganmu yang sesaat."
"Saya... saya tidak bermaksud begitu, Bu. Saya benar-benar tidak tahu. Bapak Raffael sangat meyakinkan. Dia bilang dia kesepian, dia butuh seseorang. Dia bilang Bapak dan Ibu sudah tidak tidur sekamar lagi."
Aleandra hampir saja tertawa getir. Omong kosong! Mereka tidur di ranjang yang sama setiap malam, sampai malam ulang tahun pernikahan mereka. Raffael telah menciptakan narasi kebohongan yang sempurna untuk memanipulasi wanita ini, dan mungkin, dirinya sendiri.
"Dengar, Nayla. Aku tidak tahu apa yang dia katakan padamu, tapi aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku tidak akan membiarkan ini berlanjut. Tinggalkan suamiku. Sekarang juga."
"Tapi, Bu... Bapak Raffael berjanji akan menikahi saya. Dia bilang dia mencintai saya," suara Nayla kini terdengar seperti rengekan, seperti anak kecil yang permennya direbut.
Janji? Cinta? Kata-kata itu begitu mudah keluar dari mulut Raffael, begitu mudah diucapkan kepada wanita lain. Air mata Aleandra kembali mengalir, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena kemarahan yang membara.
"Kau bisa percaya apa pun yang dia katakan, tapi aku sarankan kau berpikir dua kali. Karena pria yang berbohong kepada istrinya sendiri, tidak akan segan berbohong kepadamu juga. Jadi, jauhkan dirimu dari keluargaku. Ini peringatan pertama dan terakhirku."
Aleandra menutup telepon tanpa menunggu jawaban Nayla. Tangannya gemetar, tubuhnya dingin, tetapi ada perasaan puas yang aneh. Setidaknya, dia sudah melangkah. Dia sudah menghadapi salah satu dari mereka. Kini tinggal Raffael.
Malam itu, Raffael pulang seperti biasa, dengan senyum ramah yang kini terasa seperti topeng. Aleandra telah menyiapkan makan malam seperti biasa, tetapi dia tidak duduk di meja makan bersamanya. Dia memilih makan di dapur, beralasan dia sudah makan duluan. Raffael tampak sedikit bingung, tetapi tidak berkomentar.
Setelah Arya tidur, Aleandra duduk di ruang tamu, menyalakan lampu terang, dan menunggu Raffael. Dia tahu ini akan menjadi konfrontasi yang panjang dan menyakitkan.
Raffael muncul dari kamar mandi, mengenakan piyama, dan duduk di sofa di seberang Aleandra. "Kenapa kamu belum tidur, Sayang?" tanyanya, suaranya lembut.
Aleandra menatapnya lurus. Matanya kosong, tanpa kehangatan yang biasa Raffael lihat. "Kita perlu bicara, Raffael."
Raffael mengerutkan kening. "Ada apa? Kamu terlihat tidak baik-baik saja."
"Oh, ya? Apakah aku terlihat tidak baik-baik saja? Mungkin karena aku baru saja menemukan bahwa suamiku adalah seorang pembohong dan penipu."
Wajah Raffael berubah. Senyumnya lenyap, dan ekspresi bingung muncul di wajahnya. "Apa yang kamu bicarakan, Aleandra? Aku tidak mengerti."
Aleandra bangkit, berjalan ke arah meja kopi, dan meletakkan ponsel Raffael di sana, dengan layar yang menunjukkan pesan dari "Bidadariku" dan foto Nayla.
"Ini," kata Aleandra, suaranya tenang tetapi penuh ancaman. "Aku bicara tentang ini. Tentang 'pekerjaan mendadak di luar kota' yang sebenarnya adalah tidur dengan wanita lain di malam ulang tahun pernikahan kita. Tentang 'Bidadariku' yang bernama Nayla, seorang karyawan baru di kantormu, yang kau janjikan akan kau nikahi."
Raffael menatap ponsel itu, lalu ke Aleandra, wajahnya pucat pasi. Ekspresi terkejut dan ketakutan melintas di matanya. Dia mencoba mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, Raffael," Aleandra melanjutkan, air mata kini mulai menggenang di matanya, tetapi dia menahannya. Dia tidak akan menangis di depan pria ini. Dia tidak akan memberinya kepuasan itu. "Aku sudah bicara dengan Nayla. Dia bilang kau bilang padanya bahwa kau kesepian, bahwa pernikahan kita tidak bahagia, bahwa kau akan menceraikanku."
Raffael akhirnya menemukan suaranya, meskipun serak. "Aleandra, itu tidak benar. Aku... aku bisa menjelaskan semuanya."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan," ulang Aleandra, kini suaranya meninggi. "Semua sudah jelas. Kau mengkhianatiku. Kau menghancurkan segalanya. Kau membuatku merasa bodoh, konyol, karena selama ini aku percaya padamu. Aku mengorbankan begitu banyak hal untukmu, Raffael! Dan kau membalasnya dengan cara ini?"
"Aleandra, tolong dengarkan aku," Raffael beranjak dari sofa, mencoba mendekat. "Aku bersumpah, ini hanya kesalahan. Aku tidak mencintainya. Aku mencintaimu, Aleandra. Hanya kamu."
Aleandra mundur selangkah. "Jangan sentuh aku. Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu itu. Cinta? Cinta macam apa ini? Cinta yang kau berikan pada wanita lain? Cinta yang kau berikan padaku adalah ilusi, Raffael. Sebuah kebohongan besar."
"Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... aku hanya tersesat, Aleandra. Aku berjanji akan mengakhirinya. Aku akan memutuskan hubungan dengannya. Kita bisa memperbaiki ini." Ada nada memohon dalam suaranya, tetapi Aleandra tidak lagi tergerak.
"Memperbaiki? Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur berkeping-keping? Kau menghancurkan kepercayaanku, Raffael. Dan tanpa kepercayaan, tidak ada pernikahan." Aleandra menatapnya dengan tatapan tajam, penuh tekad yang dingin. "Aku ingin kau pergi. Malam ini."
Raffael terkesiap. "Pergi? Ke mana? Ini rumah kita."
"Bukan. Ini rumahku. Dan Arya. Kau bisa pergi ke mana pun kau mau. Tapi jangan pernah muncul di sini lagi, kecuali untuk mengurus perceraian kita. Dan untuk Arya, kau akan bertemu dengannya di luar. Aku tidak ingin dia melihatmu di sini, setelah semua kebohongan ini."
"Aleandra, jangan seperti ini. Aku mohon. Pikirkan Arya. Kita adalah keluarga." Raffael mencoba memainkan kartu Arya, tetapi Aleandra sudah kebal.
"Aku memikirkan Arya. Dan Arya tidak pantas memiliki ayah seorang penipu dan pembohong. Kau yang merusak keluarga ini, Raffael. Bukan aku."
Ketegasan Aleandra membuat Raffael menyadari bahwa ini bukan lagi gertakan. Matanya dipenuhi kepanikan yang nyata. "Aleandra, tolong... beri aku kesempatan lagi. Aku akan berubah. Aku akan membuktikan padamu."
"Terlambat, Raffael," Aleandra menggelengkan kepala. "Kepercayaan itu seperti kaca. Sekali pecah, tidak akan pernah bisa utuh kembali, meskipun kau mencoba merekatkannya. Aku sudah selesai. Kita sudah selesai."
Ada jeda panjang yang menyakitkan. Udara di antara mereka terasa tebal dengan pengkhianatan dan kehancuran. Raffael menatap Aleandra, mencoba menemukan celah, tetapi wajah wanita itu kini keras, dingin, dan asing baginya. Wanita yang selama ini begitu lembut, kini tampak seperti patung es.
"Baiklah," kata Raffael akhirnya, suaranya rendah dan penuh kekalahan. Dia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dia katakan untuk mengubah pikiran Aleandra. Tekad di mata Aleandra adalah final. Dia mengambil tas kerjanya, kunci mobilnya, dan beberapa barang yang tergeletak di ruang tamu.
Sebelum dia melangkah keluar, Raffael menoleh lagi kepada Aleandra. "Kau akan menyesal, Aleandra. Kau tidak akan bisa tanpaku. Kau bukan apa-apa tanpa aku."
Kata-kata itu, yang seharusnya menyakitkan, justru memicu percikan api di mata Aleandra. Kemarahan yang tadi terpendam kini membakar. "Kita lihat saja, Raffael," jawab Aleandra, suaranya tajam dan penuh keyakinan yang baru ditemukan. "Kita lihat saja siapa yang akan menyesal pada akhirnya. Aku akan membuktikan padamu dan pada seluruh dunia bahwa kau salah. Aku akan bangkit, menjadi lebih kuat, dan kau akan menjadi penonton dari semua kesuksesanku."
Raffael menatapnya dengan tatapan tak percaya, seolah dia tidak mengenali wanita di depannya. Lalu, dengan desahan berat, dia membalikkan badan dan melangkah keluar dari apartemen itu, meninggalkan Aleandra sendirian dalam keheningan yang memekakkan.
Saat pintu tertutup di belakang Raffael, Aleandra akhirnya membiarkan air matanya mengalir deras. Kali ini, air mata itu bukan hanya karena kesedihan, tetapi juga karena tekad yang membara. Dunianya memang hancur, tetapi dia tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam kehancuran itu. Demi Arya, demi harga dirinya, dan demi membalaskan sakit hati yang tak terhingga ini, Aleandra akan bangkit. Dia akan menunjukkan kepada Raffael dan mantan ibu mertuanya, yang selalu meremehkannya, bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar. Ini bukan akhir dari segalanya. Ini adalah awal dari sebuah babak baru, di mana Aleandra akan menulis ulang takdirnya sendiri.