Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Pernikahan Bukan Pilihanku
Pernikahan Bukan Pilihanku

Pernikahan Bukan Pilihanku

5.0

Mahardika Satria Wibowo adalah satu-satunya pewaris keluarga bangsawan yang sangat berpengaruh. Setelah putri tunggalnya meninggal dunia saat melahirkan cucu perempuan, ia merasakan tekanan hebat dari ayahnya untuk segera mendapatkan pewaris lain. Mahardika hanya memiliki satu anak perempuan, sebab sang istri tidak dapat lagi memberinya keturunan. Di sisi lain, **Kirana Ayunda Putri**, seorang gadis berusia 19 tahun, terpaksa menerima perjodohan yang tidak ia inginkan. Pamannya mengancam akan menghentikan seluruh biaya pengobatan ibunya jika Kirana menolak. Padahal, Kirana sudah memiliki Bima Senjaya, pria yang sangat mencintainya dan siap melindunginya. Mampukah Kirana melewati semua cobaan ini? Apalagi ia sering kali mendapatkan perlakuan buruk dari istri pertama suaminya, tanpa ada pembelaan berarti dari sang suami.

Konten

Bab 1 ruang kerja

Angin malam berdesir pelan di taman belakang kediaman Wibowo, membawa aroma melati yang kian pekat. Di balik jendela kaca patri yang tinggi, di ruang kerja yang diselimuti tirai beludru tebal, Mahardika Satria Wibowo duduk di hadapan meja mahoni besar. Jemarinya memijat pelipisnya yang berdenyut, matanya menerawang jauh, seolah mencari jawaban di kegelapan malam. Usianya belum genap empat puluh tahun, namun garis-garis kecemasan sudah terukir jelas di dahinya yang lebar. Tekanan yang menghimpitnya belakangan ini terasa bagai beban gunung es yang siap menenggelamkannya.

Ia adalah satu-satunya pewaris takhta keluarga Wibowo, sebuah nama yang identik dengan kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh di seluruh negeri. Keturunan bangsawan yang darahnya mengalir dari para pendiri kerajaan masa lampau, keluarga Wibowo memegang kendali atas banyak sendi kehidupan; mulai dari industri pertambangan, perbankan, hingga media massa. Statusnya sebagai pewaris tunggal seharusnya menjadi kebanggaan, namun kini terasa seperti belenggu emas yang kian mengikat.

Penyebab utama penderitaannya adalah kehilangan yang tak terhingga. Putri tunggalnya, Paramita Ayu Wibowo, permata hatinya, telah pergi meninggalkannya setahun yang lalu. Paramita, yang seharusnya menjadi penerus klan Wibowo di masa depan, wafat tak lama setelah melahirkan cucu perempuannya, Anindya Kirana Wibowo. Sebuah tragedi yang merenggut tawa dari kediaman megah itu, dan menyisakan duka yang mendalam. Mahardika masih ingat betul bagaimana ia menggendong tubuh mungil Anindya untuk pertama kalinya, air mata membasahi pipinya, bukan hanya karena haru, tapi juga karena perih kehilangan sang ibu.

Sejak saat itu, ayahnya, Raden Mas Surya Wibowo, seorang pria tua dengan sorot mata tajam dan kharisma yang tak lekang dimakan usia, tak henti-hentinya mendesaknya. Tekanannya begitu nyata, hampir mencekiknya. "Mahardika, kau harus segera memiliki pewaris lagi! Garis keturunan Wibowo tidak boleh terputus! Anindya hanyalah seorang perempuan, ia tidak bisa mengemban nama besar ini sendirian!" Kalimat itu bagaikan mantra mengerikan yang terus menghantui setiap langkah Mahardika. Ia tahu betul, dalam tradisi keluarga mereka yang kental dan konservatif, hanya anak laki-laki yang bisa menjadi pewaris utama. Meskipun Anindya adalah cucu kandungnya, posisinya sebagai perempuan membuatnya dianggap kurang layak memimpin dinasti sekuat Wibowo.

Masalahnya, istrinya, Rengganis Kusuma Putri, adalah wanita yang dicintainya sepenuh hati. Mereka telah menikah selama hampir dua puluh tahun, dan selama itu pula hanya Paramita yang berhasil mereka miliki. Dokter-dokter terbaik sudah didatangkan, berbagai upaya medis telah ditempuh, namun hasilnya selalu sama: Rengganis tidak bisa lagi memberinya keturunan. Kenyataan pahit ini telah mereka terima bersama, dalam diam, mengubur impian akan anak-anak lain. Namun kini, impian itu kembali diungkit, bukan oleh mereka, melainkan oleh tuntutan yang tak bisa ditawar.

Mahardika menghela napas berat. Bagaimana ia bisa menjelaskan pada ayahnya bahwa cintanya pada Rengganis begitu besar, sehingga ia tak sanggup menyakitinya dengan menikah lagi? Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa hatinya masih dipenuhi duka atas kepergian Paramita, dan belum siap menerima kehadiran wanita lain dalam hidupnya, apalagi jika itu demi sebuah "kewajiban" yang dingin dan tak berperasaan? Namun, ia tahu ayahnya tak akan mengerti. Bagi Raden Mas Surya, kelangsungan nama Wibowo jauh lebih penting daripada perasaan pribadi.

Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunan Mahardika. Rengganis masuk dengan nampan berisi teh hangat dan camilan ringan. Senyumnya samar, menyimpan duka yang sama dengan Mahardika. Rambutnya yang hitam legam kini dihiasi uban di beberapa helai, pertanda waktu dan beban pikiran yang tak ringan.

"Belum tidur, Mas?" tanya Rengganis lembut, meletakkan nampan di meja samping.

Mahardika tersenyum tipis. "Belum, Sayang. Ada banyak hal yang kupikirkan."

Rengganis duduk di kursi seberang meja, menatap suaminya dengan tatapan penuh pengertian. "Ayahmu lagi, ya?"

Mahardika mengangguk. "Ia bersikeras aku harus menikah lagi. Demi pewaris."

Hening sejenak. Rengganis menunduk, menggenggam jemarinya yang lentik. Hati Mahardika teriris melihat kesedihan di mata istrinya. "Aku minta maaf, Gannis. Aku..."

"Jangan minta maaf, Mas," potong Rengganis, mengangkat wajahnya, meski ada kilat basah di matanya. "Aku tahu ini bukan salahmu. Ini takdir." Ia mencoba tersenyum, senyum yang begitu rapuh hingga membuat Mahardika ingin memeluknya erat dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, ia tak bisa. Ia tak bisa menjanjikan itu.

"Bagaimana Anindya?" Mahardika mencoba mengalihkan pembicaraan, mencari sedikit kelegaan dalam pikiran akan cucunya.

"Sudah tidur pulas. Dia sangat menggemaskan, Mas. Mirip sekali dengan Paramita," jawab Rengganis, nada suaranya berubah lembut saat menyebut nama cucunya. "Mungkin kita bisa mengajukan Anindya sebagai pewaris, Mas. Bukankah ia darah daging kita?"

Mahardika menggeleng perlahan. "Ayah tidak akan setuju, Gannis. Kau tahu bagaimana pandangannya tentang hal ini. Ia ingin seorang anak laki-laki yang bisa memimpin perusahaan, yang bisa membawa nama Wibowo dengan kuat di dunia yang didominasi laki-laki ini." Ia tahu itu adalah argumen yang kolot, namun di mata ayahnya, itu adalah kebenaran mutlak.

Rengganis terdiam lagi, matanya menerawang. Ada keputusasaan yang kentara di sana. "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Mas. Aku tidak ingin melihatmu terus tertekan begini. Tapi aku juga tidak sanggup membayangkanmu dengan wanita lain."

Mahardika bangkit dari kursinya, mendekat, dan berlutut di hadapan Rengganis. Ia menggenggam kedua tangan istrinya erat. "Aku juga tidak sanggup, Gannis. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tidak bisa mengecewakan ayah. Keluarga Wibowo akan runtuh jika aku tidak bisa memenuhi tuntutan ini."

Air mata Rengganis akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Mahardika memeluknya, membiarkan istrinya menangis di bahunya. Ia tahu, di balik kemegahan yang mereka miliki, ada kehampaan yang terus menggerogoti. Kehampaan yang kini menuntut tumbal: pernikahan paksa.

Jauh di sudut kota yang berbeda, di sebuah rumah kontrakan kecil di gang sempit yang bising, Kirana Ayunda Putri duduk meringkuk di sudut kamarnya. Suara knalpot motor dan hiruk pikuk obrolan tetangga tak mampu menembus tembok kesedihannya. Mata sembabnya menatap kosong ke arah figura foto lusuh di meja kecil samping tempat tidurnya. Di sana, wajah Bima Senjaya tersenyum lebar, merangkulnya erat. Bima, kekasihnya, cinta pertamanya, satu-satunya harapannya di tengah badai kehidupan.

Usianya baru 19 tahun, namun bahunya sudah terbebani masalah yang tak semestinya ditanggung gadis seusianya. Ibunya, Saraswati, sudah lama mengidap penyakit jantung yang kronis. Setiap bulan, biaya pengobatan dan obat-obatan melambung tinggi, menguras habis tabungan mereka. Kirana bekerja paruh waktu di sebuah toko buku kecil, mencoba membantu sebisa mungkin, namun itu tak pernah cukup.

Penderitaan Kirana semakin diperparah dengan keberadaan pamannya, Prawira. Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, Prawira, adik dari ibunya, adalah satu-satunya kerabat yang mereka miliki. Namun, Prawira bukanlah sosok paman yang penyayang. Ia adalah pria serakah yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Selama ini, ia memang membantu membiayai pengobatan Saraswati, namun bukan tanpa pamrih. Dan kini, pamrih itu datang dalam bentuk ancaman yang begitu kejam.

Beberapa hari yang lalu, Prawira datang ke rumah dengan wajah serius, membawa berita yang menghancurkan hati Kirana. "Kirana, ada seorang pria kaya raya yang tertarik padamu. Dia dari keluarga terpandang. Dia ingin kau menikah dengannya," katanya tanpa basa-basi, mata liciknya menyiratkan sesuatu yang tak beres.

Kirana tentu saja menolak mentah-mentah. "Aku tidak mau, Paman! Aku sudah punya Bima! Dan aku tidak mengenal pria itu!"

Prawira tertawa sinis. "Bima? Bocah miskin itu? Apa yang bisa dia berikan padamu? Lihat ibumu! Dia butuh perawatan terbaik. Jika kau menolak pernikahan ini, aku tidak akan lagi membiayai pengobatan ibumu. Kau mau ibumu mati karena kau terlalu keras kepala?"

Ancaman itu bagaikan belati yang menusuk jantung Kirana. Ibunya adalah segalanya baginya. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa ibunya. Penyakit Saraswati sudah sangat parah, dan tanpa pengobatan rutin, kondisinya pasti akan memburuk drastis. Kirana tahu, Prawira tidak main-main dengan ucapannya. Paman itu memang kejam dan tidak memiliki belas kasihan.

Ia mencoba bicara pada ibunya, namun Saraswati hanya bisa menangis lemah. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak punya cara lain. Ibu tidak ingin jadi bebanmu."

Beban. Kata itu menghancurkan Kirana. Bagaimana mungkin ibunya, satu-satunya keluarganya, menjadi beban? Air matanya tak henti mengalir. Ia merasa seperti boneka yang tak punya pilihan, dilempar ke dalam permainan takdir yang kejam.

Malam itu, Bima datang mengunjungi Kirana, seperti biasa. Ia membawa sebungkus nasi goreng kesukaan Kirana dan senyum hangat yang selalu mampu menenangkan hati Kirana. Bima adalah seorang mekanik di bengkel kecil, penghasilannya pas-pasan, namun cintanya pada Kirana tak terbatas. Ia selalu ada, menjadi sandaran Kirana di saat-saat sulit.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok matamu sembab?" tanya Bima cemas, menyentuh pipi Kirana lembut.

Kirana tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia memeluk Bima erat, membenamkan wajahnya di dada bidang kekasihnya. "Bima... aku... aku harus menikah."

Bima terkesiap. Ia melepaskan pelukan, menatap Kirana tak percaya. "Menikah? Dengan siapa? Kita kan..."

"Bukan denganmu, Bim," bisik Kirana, suaranya tercekat. "Dengan seorang pria yang tidak aku kenal. Pamanku mengancam akan menghentikan pengobatan Ibu jika aku menolak."

Wajah Bima langsung memucat. Rahangnya mengeras. Ia tahu betapa berartinya Saraswati bagi Kirana. "Siapa pria itu, Kirana? Aku akan bicara dengannya! Aku akan bicara dengan pamanmu! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini!"

Kirana menggelengkan kepala. "Tidak ada gunanya, Bim. Pamanku tidak akan mendengarkan. Dan pria itu... ia dari keluarga sangat kaya dan berkuasa. Aku tidak tahu namanya, tapi Paman bilang dia adalah pewaris keluarga Wibowo."

Nama "Wibowo" bagaikan guntur di telinga Bima. Siapa yang tidak kenal keluarga Wibowo? Kekuatan dan pengaruh mereka begitu besar hingga sulit dibayangkan. Melawan mereka sama saja dengan bunuh diri.

"Tidak, Kirana! Kita cari jalan lain! Aku akan bekerja lebih keras, aku akan mencari pekerjaan sampingan lagi! Kita pasti bisa membiayai pengobatan ibumu!" Bima mencoba meyakinkan, namun suaranya bergetar. Ia tahu ia tidak bisa menandingi kekayaan keluarga Wibowo.

Kirana mencengkeram lengan Bima erat. "Tidak, Bim. Ini satu-satunya cara. Aku tidak bisa membiarkan Ibu menderita. Aku harus melakukannya. Maafkan aku."

Hati Bima hancur berkeping-keping. Ia menatap mata Kirana yang penuh keputusasaan, dan ia tahu, ia tak bisa membujuk Kirana. Ia tak bisa menahannya. Cinta mereka, yang begitu kuat dan tulus, kini harus tumbang di hadapan kekejaman takdir dan kekuasaan uang. Bima memeluk Kirana erat, seolah ingin menyatukan kembali kepingan hati mereka yang berserakan. Air matanya menetes, bercampur dengan air mata Kirana.

"Aku akan selalu mencintaimu, Kirana," bisik Bima di telinga kekasihnya. Janji itu terdengar seperti lagu perpisahan yang menyakitkan.

Pernikahan itu berlangsung seminggu kemudian, dalam balutan kemewahan yang tak bisa dibayangkan Kirana sebelumnya. Ballroom Grand Wibowo Hotel disulap menjadi taman bunga yang megah. Ratusan tamu penting dari kalangan pejabat, pengusaha, dan bangsawan hadir. Kirana mengenakan gaun pengantin putih yang indah, namun ia merasa seperti mengenakan kain kafan. Wajahnya dipoles sedemikian rupa, namun matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan mendalam. Ia berdiri di sisi Mahardika, pria yang kini adalah suaminya. Pria yang ia tahu menderita sama sepertinya, meski dengan alasan yang berbeda.

Mahardika sendiri terlihat kaku. Senyumnya dipaksakan, sorot matanya kosong. Ia tahu, Rengganis, istri pertamanya, duduk di barisan terdepan, menyaksikan pernikahan ini dengan hati yang hancur. Ia tidak berani menatap mata Rengganis, takut melihat luka yang ia torehkan.

Upacara pernikahan berjalan layaknya sebuah ritual yang dingin. Tidak ada cinta, tidak ada kebahagiaan sejati, hanya formalitas belaka. Kirana merasa seperti benda, dipamerkan dan diserahkan demi sebuah perjanjian. Ketika mereka bertukar cincin, tangan Mahardika terasa dingin, seolah tak ada kehangatan yang bisa ia berikan.

Setelah resepsi yang terasa abadi, Kirana dibawa ke sebuah kamar megah di kediaman Wibowo. Kamar itu begitu luas dan mewah, dengan perabotan antik dan lukisan-lukisan mahal di dinding. Namun, kemewahan itu terasa seperti sangkar emas yang menjebaknya. Ia duduk di tepi ranjang berukuran raksasa, masih mengenakan gaun pengantinnya, menunggu sesuatu yang tidak ia inginkan.

Tak lama kemudian, Mahardika masuk. Ia sudah berganti pakaian, mengenakan piyama sutra. Wajahnya terlihat lelah. Ia tidak mendekat, hanya berdiri di ambang pintu, menatap Kirana dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Kau bisa tidur di sofa, jika mau," kata Mahardika, suaranya datar. "Aku tahu ini sulit untukmu. Ini juga sulit bagiku."

Kirana mendongak, menatap suaminya. Ia melihat keputusasaan yang sama di mata pria itu. "Aku mengerti, Tuan Mahardika," jawab Kirana, suaranya serak. Ia tahu Mahardika memiliki istri pertama yang sah, dan ia hanyalah istri kedua yang dinikahi karena paksaan.

"Panggil aku Mahardika saja," koreksi Mahardika. "Dan aku minta maaf atas semua ini. Aku tahu kau punya seseorang yang kau cintai."

Pengakuan itu membuat hati Kirana kembali sakit. "Tidak apa-apa," bisiknya. Ia tahu, Mahardika juga tidak menginginkan pernikahan ini. Mereka adalah korban dari keadaan yang sama.

Malam itu, Kirana tidur di sofa yang empuk, meringkuk dalam kesunyian yang mencekam. Sementara Mahardika tidur di ranjang besar itu, memunggungi dirinya, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Ini adalah awal dari kehidupan barunya, kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian dan kesepian. Ia merindukan Bima, rindu sentuhan tangannya, rindu suaranya yang menenangkan. Ia tahu, ia harus kuat demi ibunya.

Pagi pertama Kirana di kediaman Wibowo dimulai dengan perasaan canggung dan tak nyaman. Setelah sarapan pagi yang dingin dan formal bersama Mahardika dan Raden Mas Surya, Kirana diminta untuk menghadap Rengganis, istri pertama Mahardika. Hatinya mencelos. Ia tahu pertemuan ini akan sulit.

Rengganis menunggu di ruang tamu utama, sebuah ruangan luas yang dipenuhi perabotan antik dan hiasan kristal. Ketika Kirana masuk, Rengganis menatapnya dengan tatapan tajam yang tak ramah. Wanita itu mengenakan kebaya sutra mahal, rambutnya disanggul rapi. Aura dingin terpancar darinya.

"Duduklah," perintah Rengganis, tanpa senyum sedikit pun.

Kirana duduk di kursi di hadapan Rengganis, tangannya gemetar. Ia mencoba tersenyum, namun senyum itu tidak sampai ke matanya.

"Namamu Kirana, kan?" tanya Rengganis, nadanya sinis.

"Iya, Nyonya," jawab Kirana pelan.

"Dengarkan baik-baik," kata Rengganis, suaranya rendah namun penuh penekanan. "Kau ada di sini hanya untuk satu tujuan: melahirkan pewaris laki-laki untuk keluarga ini. Setelah itu, posisimu tidak akan berarti apa-apa. Jangan pernah bermimpi untuk mengambil tempatku di sisi Mahardika."

Hati Kirana mencelos. Ia sudah menduga akan mendapatkan perlakuan seperti ini, namun mendengar langsung dari Rengganis tetap saja menyakitkan. "Saya tidak akan pernah berani, Nyonya. Saya tahu posisi saya."

Rengganis menyeringai tipis. "Bagus kalau begitu kau mengerti. Jangan pernah mencoba mendekati Mahardika di luar urusan pewaris. Jangan pernah mencoba bertingkah seperti nyonya rumah. Kau adalah pendatang, dan kau harus tahu tempatmu."

Kata-kata itu bagaikan tamparan keras di wajah Kirana. Ia menunduk, menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia merasa begitu rendah, begitu tidak berdaya. Ia tahu, ini hanyalah awal dari semua perlakuan buruk yang akan ia terima.

"Kau mengerti?" desak Rengganis.

"Mengerti, Nyonya," bisik Kirana.

Rengganis menghela napas, seolah Kirana adalah beban yang berat. "Baiklah. Sekarang kau bisa pergi. Ingat kata-kataku."

Kirana bangkit dari kursi, membungkuk sedikit, lalu segera keluar dari ruangan itu. Ia merasa seperti baru saja melewati medan perang. Begitu tiba di kamarnya, ia langsung ambruk di tepi ranjang, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah ruah. Ia menangis dalam diam, membenamkan wajahnya di bantal, berusaha meredam isak tangisnya agar tidak terdengar siapapun.

Ia merindukan rumah lamanya, keramaian gang sempit yang dulu membuatnya jengkel, tawa ibunya, dan senyum menenangkan Bima. Di sini, di tengah kemewahan yang dingin ini, ia merasa sendirian dan tak berdaya. Ia merasa seperti sepotong daging yang dipersembahkan ke altar demi kepentingan orang lain.

Mampukah ia melewati semua ini? Apalagi ia harus menghadapi kebencian dari istri pertama suaminya tanpa ada pembelaan berarti dari sang suami. Mahardika memang terlihat memahami keadaannya, namun ia terlalu lemah untuk membela Kirana di hadapan Rengganis. Kirana tahu, ia harus berjuang sendiri. Demi ibunya, ia harus kuat. Ini adalah takdirnya, takdir yang pahit, namun harus ia jalani. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, akan ada secercah cahaya di ujung terowongan gelap ini.

Beberapa minggu berlalu dengan lambat dan menyiksa. Kirana menjalani hari-harinya di kediaman Wibowo dengan perasaan tertekan. Ia jarang keluar kamar, kecuali untuk makan atau jika diminta oleh pelayan untuk melakukan sesuatu. Rengganis terus-menerus memberikan perintah dan tugas-tugas yang kadang tak masuk akal, seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa di rumah itu. Kirana membersihkan, mengatur, dan terkadang menemani Anindya bermain, satu-satunya penghiburan kecil yang ia miliki. Anindya, cucu perempuan Mahardika, adalah anak yang manis dan ceria, dan hanya bersamanya Kirana bisa merasakan sedikit kehangatan dan kebahagiaan.

Mahardika sendiri jarang sekali terlihat. Ia sibuk dengan urusan bisnis keluarga, atau mungkin menghindar dari rumah yang terasa begitu tegang. Ketika mereka bertemu, hanya ada keheningan canggung yang meliputi. Mahardika memang tidak pernah bersikap kasar, namun ia juga tidak pernah membela Kirana saat Rengganis memperlakukannya dengan buruk. Ia hanya akan menghela napas, menatap Kirana dengan sorot mata meminta maaf, lalu pergi begitu saja.

Suatu sore, saat Kirana sedang menyiram tanaman di taman belakang, ia mendengar suara Rengganis memanggilnya dengan nada tajam. "Kirana! Kemari!"

Kirana segera menghampiri Rengganis yang berdiri di teras, menatapnya dengan tatapan menghakimi. Di tangan Rengganis ada sebuah vas bunga kristal yang sudah pecah berserakan di lantai.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Rengganis. "Kau memecahkan vas kesayanganku! Vas ini hadiah dari ibuku!"

Kirana terkejut. "Bukan saya, Nyonya! Saya sedang di taman."

"Jangan bohong! Hanya kau yang ada di area ini tadi! Kau sengaja, kan? Kau ingin merusak barang-barangku?" tuduh Rengganis, suaranya melengking.

Kirana menggelengkan kepala, panik. "Sungguh bukan saya, Nyonya! Saya tidak tahu bagaimana itu bisa pecah!"

Suara bentakan Rengganis menarik perhatian para pelayan. Mahardika yang baru pulang dari kantor juga muncul, terkejut melihat keributan itu.

"Ada apa ini?" tanya Mahardika, menatap vas yang pecah dan wajah Kirana yang pucat.

"Istrimu ini, Mas! Dia memecahkan vas kesayanganku!" seru Rengganis, menunjuk Kirana dengan jari telunjuknya. "Dasar ceroboh!"

Mahardika menatap Kirana. Kirana mencoba menatap mata suaminya, mencari sedikit dukungan. "Bukan saya, Mahardika. Saya sedang di taman."

Namun, Mahardika hanya menghela napas. Ia menatap vas yang pecah, lalu kembali menatap Kirana, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tidak berani. Ia tidak membela Kirana. Ia tidak mempertanyakan tuduhan Rengganis. Ia hanya berkata, "Sudah, Rengganis. Biar nanti dibersihkan."

Rengganis mendengus. "Dia harus menggantinya! Vas itu mahal!"

"Sudah, nanti aku ganti," kata Mahardika, menghindari konflik lebih lanjut. Ia melirik Kirana sekilas, pandangannya penuh penyesalan, namun ia tidak melakukan apa pun untuk membelanya.

Kirana merasa begitu hancur. Bukan karena tuduhan itu, tapi karena ketidakberdayaan Mahardika. Ia berharap Mahardika setidaknya bertanya, menyelidiki, atau bahkan membantunya menjelaskan. Tapi tidak. Mahardika hanya ingin menghindari konflik, membiarkan Kirana menjadi korban tuduhan tak berdasar.

"Maafkan saya, Nyonya," bisik Kirana, menunduk pasrah. Ia tahu, tidak ada gunanya melawan. Di rumah ini, kata-kata Rengganis adalah hukum.

Rengganis tersenyum sinis, seolah menang. "Bagus. Sekarang bersihkan itu!"

Kirana berjongkok, mulai mengumpulkan pecahan-pecahan vas, air matanya nyaris menetes. Hatinya perih. Ia merasa seperti diperlakukan lebih rendah dari seorang pelayan. Mahardika hanya berdiri di sana, melihatnya, sebelum akhirnya membalikkan badan dan pergi, meninggalkan Kirana sendirian dengan pecahan-pecahan itu dan hatinya yang juga hancur berkeping-keping.

Ia bertanya-tanya, sampai kapan ia harus menjalani semua ini? Sampai kapan ia harus menanggung semua perlakuan buruk ini? Rasa rindu pada Bima semakin kuat mencengkeramnya. Ia tahu Bima tidak akan pernah membiarkannya diperlakukan seperti ini. Tapi Bima jauh, dan Kirana terjebak.

Malam itu, di kamarnya, Kirana menulis surat untuk ibunya, menyembunyikan semua kesedihan yang ia alami. Ia hanya menulis bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia makan teratur, dan bahwa ia merindukan ibunya. Ia tidak ingin ibunya khawatir. Ia tahu, ibunya adalah satu-satunya alasan ia bertahan.

Namun, di dalam hatinya, sebuah pertanyaan besar terus menghantuinya: Mampukah Kirana melewati semua cobaan ini, apalagi dia kerap kali mendapat perlakuan buruk dari istri pertama suaminya tanpa ada pembelaan dari sang Suami? Jawabannya masih terlalu samar, terlalu berat untuk ia pikul sendirian. Ia hanya bisa berharap, sebuah keajaiban akan datang, atau setidaknya, ia akan menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bertahan hingga akhir.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY