ingan yang menyesakkan, sesekali diminta Rengganis melakukan ini itu-seringkali tugas yang seolah sengaja diciptakan untuk merendahkannya-lalu kembali mengurung diri di kamar. Satu-satu
dan ocehan khas anak-anak adalah o
un menara balok bersama Anindya, atau membacakan buku cerita bergambar. Di momen-momen itu, Kirana bisa melupakan sejenak statusnya sebagai istri kedua yang tak d
gan terlalu memanjakan cucuku!" seringkali Rengganis menegur dengan nada tinggi. "Dia bukan anakmu! Jangan buat dia bingung!" Kirana hanya bisa menunduk, menah
kan waktu di ruang kerjanya atau bersama Raden Mas Surya, sang ayah, untuk membicarakan bisnis keluarga. Percakapan mereka nyaris tidak ada, hanya sebatas sapaan formal atau pertanyaan seperlunya. Kirana sering menangkap sorot mata Mahardika yang penuh penyesalan atau bahkan kesepian, namun pria itu terla
uah piring keramik antik yang dipajang di dinding. Piring itu pecah menjadi beberapa bagian. Suara
ranya memenuhi ruangan. "Kau sengaja merusak barang-barang
yonya! Saya tidak seng
mpar. Namun, sebelum tangannya mendarat di pipi Kirana, sebuah tangan lain men
sedikit lebih keras dari biasanya. "
"Kau membelanya, Mas? Dia merusak barang l
is. Ia menghela napas panjang. "Ini hanya piring, Gann
benar-benar membelanya. Namun, setidaknya, kali ini ia menghentikan Rengganis. Kirana menundu
esalahan Kirana, memberikan tugas-tugas remeh, atau bahkan mengurung Kirana di kamar den
an Prawira. Ia tahu, pengorbanannya ini tidak sia-sia. Dari waktu ke waktu, Prawira akan menghubunginya, mengabarkan kondisi ibunya, dan selalu menekankan bahwa biaya pengobatan terus mengalir ber
yi, hanya untuk mendengar suaranya sebentar. Obrolan mereka selalu singkat, dipenuhi keheningan canggung, dan diakhiri dengan Kirana yang harus buru-buru menutup telepon karena takut ketahuan. B
seorang wanita paruh baya bernama Bi Jum, menatapnya dengan iba. Bi Jum a
s?" tanya Bi Jum lembut. "Apa a
s. "Tidak apa-apa, Bi
aimana Nyonya Rengganis memperlakukan Non. Saya juga melihat Tu
edikit lega ada orang yang menyadarinya.
inginan sendiri. Tapi ingat, di setiap kesulitan pasti ada hikmahnya. Dan ada Anindya. Cucu Nyonya
tkan Kirana. Ia mengangguk, ber
h lelah, dan nafsu makannya berubah. Awalnya ia mengira hanya masuk angin atau kelelahan biasa, mengingat tekana
gunakan alat tes kehamilan yang ia pinjam dari salah satu
mi
k: takut, cemas, bingung, namun juga secercah kebahagiaan yang tak terduga. Ia
ki pewaris yang sangat ditunggu-tunggu. Namun, apakah ini ak
u Mahardika pulang dari kantor, jantungnya berdebar tak karuan. Ketika Mahardika masuk keil Kirana, suarany
apnya dengan sedikit keh
itu, tangannya sedikit gekejut, lalu perlahan, secercah harapan dan kelegaan melintas di sana. Ia melangka
yanya, suaranya
i menggenang di matanya. "Aku su
, seolah mencoba mencerna berita itu. Akhirnya, sebuah senyum tipis, nyaris tak
rana," katanya pelan. "Aya
na tidak mengharapkannya. Ia tahu, bagi Mahard
ah besok pagi. Dan Rengg
na kembali cemas. "Bagaiman
terkejut. Tapi dia harus menerimanya. Ini
ak menyentuhnya, namun kehadirannya terasa sedikit berbeda. Ada suasana yang sedikit lebih tenang, lebih "lengkap"
kentara. Pria tua itu, yang biasanya terlihat kaku dan dingin, tersenyum lebar. Ia memeluk Mahardika, mengucapkan sel
ya merah padam, tangannya gemetar. Ketika Mahardika memberit
ong! Kau melakukan ini untuk menyakitiku, kan, Ma
n istrinya. "Ini adalah kenyataan. Kirana sedang mengandung a
andangan penuh kebencian. "Kau! Kau mengambil kebahagia
Ia merasa seperti duri dalam daging bagi Rengganis. Kebencian Renggani
, cukup! Hormati Kirana. Dia sedang mengandung cucuku. Kau harus b
u, Rengganis memperlakukan Kirana semakin buruk. Ia tidak lagi hanya memberikan tugas-tugas remeh, tapi juga sengaja memp
ngkali berbisik sinis di telinga Kirana saat tak ada orang lain. "Kau ha
han membesar. Ia berbicara pada bayinya, "Sayang, maafkan Ibu. Maafkan Ibu
na. Setiap kali Dr. Karina datang, ia akan memberikan nasihat-nasihat lembut dan menenangkan. Kirana merasa sedikit nyaman bersamanya,
Dr. Karina bertanya suatu hari
wab Kirana, meski
ingat, kesehatanmu dan bayimu adalah yang utama. Jangan terla
ukan. Bagaimana Kirana bisa mengabaikan tatapan membu
tau apakah ia membutuhkan sesuatu. Namun, ini lebih kepada tanggung jawab terhadap calon anaknya, bukan karena perhatian terhadap Kirana sebagai istrinya. Ia masih tidak m
i, muntah-muntah hebat. Mahardika yang tidur di ranjang terbangun mendengar suara it
tanya Mahardika, nada
gguk lemah. "
, meskipun sederhana, terasa begitu asing dan mendebarkan bagi Kirana. Ini a
ak," kata Mahardika. "Jika ada
Kirana. Ia berbaring miring, menatap Kirana dalam diam. Kirana merasa sedikit nyama
laki-lakinya, meski belum diketahui jenis kelaminnya. Kirana tahu, tekanan untuk melahirkan anak laki-laki sangat besar
-laki atau perempuan, Ibu akan selalu mencintaimu. Ibu hanya berharap ka
aru. Tujuan itu adalah bayi yang tumbuh di dalam rahimnya. Bayi ini adalah harapannya, alasannya untu
bagi Kirana. Ia seringkali duduk di tepi jendela, mengusap perutnya, dan berbicara pada bayinya.
inya di rumah itu akan semakin jelas: ibu dari pewaris, bukan istri yang dicintai. Dan ia masih harus menghadapi Rengganis, yang semakin hari semakin menunjukkan kebenciannya. I
wa kelak, ia bisa menemukan sedikit kedamaian dan kebahagiaan. Apakah kelahiran sang bayi akan membawa kebaikan atau justru memperkeruh keadaan? Kirana