Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Aku Dipaksa Memberi Keturunan
Aku Dipaksa Memberi Keturunan

Aku Dipaksa Memberi Keturunan

5.0

Risa, seorang wanita tangguh dengan jiwa petualang, harus menghadapi kenyataan pahit: ia terpaksa menikah demi melunasi tumpukan utang yang membelit keluarganya setelah biaya pengobatan sang ayah membengkak. Tanpa sepengetahuannya, Dhimas, pria yang kini menjadi suaminya, memiliki dua sisi yang sangat berbeda. Di hadapan ibunya, Dhimas adalah sosok yang patuh dan penuh hormat, namun di luar itu, ia menunjukkan perangai yang sama sekali berbeda, bahkan penampilannya pun berubah drastis. Perlahan, satu per satu rahasia mulai terkuak. Risa syok ketika mengetahui bahwa ia bukan satu-satunya wanita yang ada di sisi Dhimas. Seolah beban itu belum cukup berat, ancaman dari mertuanya terus menghantuinya: ia harus segera memberikan keturunan. Bagaimana Risa akan menghadapi badai dalam hidupnya ini? Mampukah ia menemukan jalan menuju kebahagiaan di tengah pusaran rahasia dan tuntutan yang tiada henti?

Konten

Bab 1 menenangkan Risa

Aroma tanah basah setelah hujan adalah satu-satunya hal yang menenangkan Risa saat itu. Ia berdiri di ambang pintu rumah sakit, menatap jalanan Jakarta yang masih licin, genangan air memantulkan cahaya lampu kota yang buram. Di dalam, ayahnya, lelaki yang dulu gagah dan selalu memberinya semangat untuk menjelajahi dunia, kini terbaring lemah, terhubung dengan selang-selang yang berdenyut seirama detak mesin. Setiap denyut itu adalah pengingat akan angka-angka yang terus membengkak, utang yang melilit, menjerat keluarganya dalam lingkaran tanpa ujung.

Risa, dengan rambut cokelat pendeknya yang sering berantakan dan matanya yang tajam seperti elang yang siap menaklukkan puncak gunung, selalu bangga dengan kemandiriannya. Sejak kecil, ia tak pernah takut kotor, lebih suka mendaki pohon daripada bermain boneka, dan selalu memimpikan perjalanan tanpa batas. Pekerjaannya sebagai fotografer alam bebas memberinya kebebasan itu, setidaknya dulu. Kini, kamera kesayangannya terasa berat di genggamannya, seolah menyimpan semua beban yang tak mampu ia pikul sendiri.

Ponselnya bergetar di saku jaket kulitnya yang usang. Nama "Bu Rita" muncul di layar. Jantung Risa berdesir. Bu Rita bukan sekadar tetangga atau kenalan biasa; ia adalah mak comblang, perantara dari sebuah tawaran yang terasa seperti jalan keluar sekaligus jurang penderitaan. Tawaran yang datang dengan nama Dhimas.

"Bagaimana, Nduk? Sudah dipikirkan baik-baik?" suara Bu Rita terdengar lembut, namun ada nada mendesak di dalamnya.

Risa menghela napas panjang, kabut tipis keluar dari bibirnya yang pucat. "Apa... apa tidak ada jalan lain, Bu?" suaranya nyaris berbisik, kalah bersaing dengan deru lalu lintas.

Bu Rita terdiam sejenak. "Utang Bapakmu sudah terlalu besar, Risa. Pihak rumah sakit sudah mulai menagih. Dan ini satu-satunya jalan tercepat. Dhimas itu orang kaya, anak tunggal. Dia tidak keberatan dengan kondisi Bapakmu, asalkan kamu... bersedia."

Bersedia. Kata itu terasa begitu berat. Bersedia menukarkan kebebasannya, mimpinya, bahkan mungkin hatinya, demi menyelamatkan ayahnya. Risa tak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir seperti ini. Ia selalu berpikir akan menikahi seseorang yang ia cintai, yang berbagi gairah petualangannya, bukan seseorang yang sama sekali tak dikenalnya, yang akan ia nikahi semata-mata karena sebuah transaksi.

Malam itu, Dhimas datang. Ia tak datang sendiri. Seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal dan tatapan tajam, yang Risa duga adalah ibunya, Nyonya Pramudya, mendampinginya. Risa memperhatikan Dhimas. Lelaki itu tampak... biasa saja. Mengenakan kemeja rapi berwarna pastel dan celana kain yang disetrika licin, rambutnya tersisir rapi ke samping, dan kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya. Wajahnya cenderung datar, nyaris tanpa ekspresi. Ia berbicara pelan, sesekali melirik ibunya seolah mencari persetujuan.

"Saya setuju dengan pernikahan ini, Nak Risa," kata Nyonya Pramudya dengan suara tegas, "tapi ada syaratnya. Setelah menikah, kamu harus tinggal di rumah kami. Dan... jangan pernah berpikir untuk menolak. Kami akan menanggung semua biaya pengobatan ayahmu, melunasi semua utangmu. Tapi kamu harus patuh."

Patuh. Kata itu bergema di telinga Risa, menusuk relung jiwanya. Ia adalah Risa, yang tak pernah patuh pada siapapun kecuali pada kehendak hatinya sendiri. Kini, ia harus patuh pada orang asing, pada sebuah janji yang terasa seperti rantai yang tak terlihat. Ia melirik Dhimas, mencari secercah emosi, seutas keraguan. Tapi Dhimas hanya menunduk, seolah percakapan itu tak ada hubungannya dengan dirinya.

"Bagaimana, Dhimas?" Nyonya Pramudya menoleh pada putranya.

Dhimas mengangkat kepalanya, menatap Risa sekilas dengan pandangan kosong. "Terserah Mama," jawabnya singkat, suaranya nyaris tak terdengar.

Kata-kata itu membuat Risa mengerutkan kening. Apakah ia benar-benar sepasrah itu? Atau adakah sesuatu yang lain di balik tatapan kosong itu? Risa merasa ada sesuatu yang janggal, namun ia terlalu putus asa untuk mencari tahu lebih jauh. Ayahnya adalah prioritas.

Pernikahan itu berlangsung sederhana, nyaris tanpa perayaan. Hanya ada beberapa kerabat dekat dari pihak Risa, dan keluarga inti Dhimas yang didominasi oleh kehadiran Nyonya Pramudya. Risa mengenakan kebaya sederhana yang dipinjamkan tetangga, rambutnya disanggul seadanya. Ia tidak merasa seperti pengantin. Ia merasa seperti seseorang yang sedang menandatangani kontrak, menjual sebagian dari dirinya demi orang yang ia cintai.

Saat ijab kabul diucapkan, suara Dhimas terdengar tegas dan jelas. Untuk sesaat, Risa merasakan denyutan aneh di hatinya. Apakah ini harapan? Atau hanya ketegangan?

Setelah upacara, Risa segera dibawa ke rumah Dhimas. Rumah itu adalah sebuah mansion mewah di kawasan elit Jakarta, dengan gerbang tinggi dan taman yang luas. Berbeda jauh dengan rumah sederhana Risa yang selalu terbuka untuk siapapun.

Nyonya Pramudya langsung menyeret Risa ke sebuah kamar di lantai dua. "Ini kamarmu. Dhimas akan tinggal di kamar sebelah. Kalian bisa berinteraksi di area umum, tapi tidak boleh masuk kamar satu sama lain tanpa izin saya. Paham?"

Risa mengangguk kaku. Kehidupannya yang baru terasa seperti diatur dalam sebuah drama panggung yang aneh.

Malam pertama sebagai sepasang suami istri terasa sangat canggung. Dhimas masuk ke kamar Risa setelah Nyonya Pramudya memastikan mereka berdua ada di sana. Risa duduk di tepi ranjang, jantungnya berdebar tak karuan. Ia tak tahu apa yang harus ia harapkan.

Dhimas berdiri di depannya, masih dengan kemeja rapi yang sama. "Ehm... maaf," katanya pelan, "Mama memintaku untuk... memastikan kamu tidak apa-apa."

Risa menatapnya, ada keraguan di matanya. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat.

Hening. Dhimas tampak gelisah, sesekali melirik pintu. "Kalau begitu... aku kembali ke kamarku."

Ia berbalik, melangkah menuju pintu. Risa menahannya. "Dhimas, kenapa kamu setuju dengan pernikahan ini?"

Dhimas berhenti, membelakangi Risa. Bahunya sedikit merosot. "Seperti yang Mama bilang, Risa. Ini yang terbaik."

"Terbaik untuk siapa? Untukmu? Untukku? Atau untuk Ibumu?" Risa tak bisa menahan diri. Nada suaranya sedikit meninggi.

Dhimas berbalik perlahan. Kali ini, ia menatap Risa langsung di mata. Ada sesuatu di tatapan itu, sesuatu yang tidak Risa lihat saat Nyonya Pramudya ada di dekat mereka. Semacam kelelahan yang dalam, atau mungkin... kesedihan?

"Risa," katanya, suaranya sedikit lebih berat dari sebelumnya, "hidupku tidak sesederhana yang kamu kira. Banyak hal yang tidak bisa aku jelaskan."

Sebelum Risa bisa bertanya lebih lanjut, Dhimas sudah melangkah keluar kamar dan menutup pintu. Risa terdiam. Rasa penasaran itu kian membesar. Ada apa dengan pria ini?

Beberapa hari pertama di rumah itu adalah neraka bagi Risa. Nyonya Pramudya mengawasi setiap geraknya, setiap kata yang keluar dari bibirnya. Ia diatur harus bangun jam berapa, sarapan apa, bahkan pakaian apa yang boleh ia kenakan. Kebebasan Risa seolah direnggut paksa, diganti dengan sangkar emas yang terasa menyesakkan.

Dhimas sendiri jarang terlihat. Jika pun ada, ia selalu bersama ibunya, kembali menjadi sosok pria kalem dan patuh. Mereka makan bersama di meja makan besar yang terasa dingin, percakapan mereka terbatas pada basa-basi yang diatur oleh Nyonya Pramudya.

Suatu siang, Risa memutuskan untuk mencari udara segar. Ia berjalan-jalan di sekitar taman belakang, menemukan sebuah bangku di bawah pohon rindang. Ia mengeluarkan buku sketsanya, mencoba mencari inspirasi, namun pikirannya terus kembali pada Dhimas. Siapa sebenarnya pria ini? Apa yang ia sembunyikan?

Tiba-tiba, ia mendengar suara mesin motor menderu dari arah garasi. Risa mengintip. Seorang pria keluar dari garasi dengan motor sport besar berwarna hitam. Rambutnya sedikit gondrong, jaket kulit hitam membalut tubuhnya yang tegap, dan sepatu boots kulit kasar tampak di kakinya. Ia memakai kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya. Aura yang dipancarkannya sangat berbeda dari Dhimas yang ia kenal. Pria itu tampak... berani, bebas, dan sedikit liar.

Pria itu melepas helmnya, dan Risa terkesiap. Wajahnya... wajah itu adalah wajah Dhimas. Tapi ini Dhimas yang berbeda. Tanpa kacamata berbingkai tipis, rambutnya tampak sedikit acak-acakan namun tetap menarik, dan ada senyum tipis di bibirnya yang tidak pernah Risa lihat sebelumnya. Senyum yang penuh rahasia.

Dhimas ini adalah Dhimas yang sama sekali berbeda dari Dhimas yang selalu bersama Nyonya Pramudya. Ia tampak lebih muda, lebih hidup, dan... jauh lebih menarik.

"Hei!" suara Dhimas mengejutkan Risa. Ia ternyata menyadari keberadaan Risa. "Apa yang kamu lakukan di sana?"

Risa tergagap. "Aku... aku hanya jalan-jalan."

Dhimas tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Hati-hati. Mama tidak suka kalau ada yang keluyuran di jam segini."

Risa bingung. "Tapi... kamu juga keluar."

Senyum Dhimas menghilang. Ia mendekati Risa, tatapannya kini lebih serius. "Aku berbeda, Risa. Dan ada banyak hal yang tidak bisa kamu tanyakan."

"Kenapa kamu berubah drastis sekali?" Risa tak bisa menahan rasa penasarannya. "Yang mana Dhimas yang sebenarnya? Yang tadi di meja makan, atau yang ini?"

Dhimas menghela napas. Ia melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada orang. "Yang ini," bisiknya, menunjuk dirinya dengan jempol, "adalah aku saat aku bisa bernapas. Yang itu," ia menunjuk ke arah rumah, "adalah aku saat aku tercekik."

Risa terdiam. Kata-kata itu, meski samar, memberikan sedikit gambaran tentang apa yang mungkin terjadi pada Dhimas. Ia terjebak. Terjebak dalam belenggu yang sama dengan Risa, namun mungkin dengan cara yang berbeda.

"Aku harus pergi," kata Dhimas, memasang helmnya kembali. "Jangan bilang Mama kalau kamu melihatku."

Sebelum Risa bisa menjawab, Dhimas sudah melesat pergi dengan motornya, meninggalkan Risa dengan segudang pertanyaan dan sebuah perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya: rasa iba.

Hari-hari berikutnya, Risa mulai memperhatikan Dhimas dengan lebih saksama. Ia mencari celah, momen di mana Dhimas yang "lain" akan muncul. Kadang, ia melihat Dhimas menyelinap keluar rumah di malam hari, penampilannya selalu berbeda dari siang hari. Jaket kulit, celana jeans, dan aura yang lebih bebas.

Suatu malam, Risa tidak bisa tidur. Ia haus dan memutuskan untuk turun ke dapur. Saat melewati ruang tamu, ia mendengar suara piano yang lembut dari arah ruang musik. Nada-nada itu begitu indah, begitu menyentuh, dan penuh emosi. Risa mendekat, mengintip dari celah pintu.

Dhimas duduk di depan grand piano, jari-jarinya menari di atas tuts. Ia mengenakan kaus oblong dan celana pendek, rambutnya sedikit berantakan. Mata Dhimas terpejam, wajahnya menunjukkan ekspresi damai yang belum pernah Risa lihat sebelumnya. Aura yang dipancarkannya sangat berbeda dari Dhimas yang ia kenal di siang hari, bahkan dari Dhimas yang mengendarai motor sport. Ini adalah Dhimas yang rapuh, yang jujur pada dirinya sendiri.

Risa tertegun. Ia tak pernah tahu Dhimas bisa bermain piano, apalagi seindah itu. Suara piano berhenti. Dhimas membuka matanya, dan pandangannya langsung bertemu dengan Risa. Wajahnya langsung berubah, dari damai menjadi terkejut, lalu... marah?

"Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya keras, nyaris membentak.

Risa tersentak. "Aku... aku hanya... mendengar suara piano."

Dhimas bangkit berdiri, ia mendekati Risa dengan langkah cepat. "Sudah kubilang, jangan pernah menguntitku! Apalagi di malam hari!"

"Aku tidak menguntit! Aku hanya lewat!" Risa merasa kesal. "Kenapa kamu selalu marah kalau aku melihat sisi lainmu?"

Dhimas berhenti di depannya, menatap tajam. "Karena sisi itu... bukan untukmu. Ini bukan urusanmu."

"Aku istrimu!" Risa balik membentak. "Tentu saja ini urusanku! Apa yang kamu sembunyikan? Kenapa kamu selalu punya dua wajah?"

Napas Dhimas terengah-engah. Ia memalingkan wajah, menyugar rambutnya dengan frustrasi. "Kamu tidak akan mengerti, Risa."

"Kalau begitu, jelaskan padaku!" Risa mendesak. "Bagaimana aku bisa hidup dengan seseorang yang tidak jujur padaku, bahkan pada dirinya sendiri?"

Dhimas menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut, namun masih penuh kesedihan. "Ada hal-hal yang tidak bisa aku ceritakan. Tidak sekarang."

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Dhimas langsung berubah. Ia memundurkan langkahnya, mengambil posisi seolah ia baru saja hendak masuk ke ruang musik. Wajahnya kembali ke ekspresi datar yang biasa Risa lihat.

Nyonya Pramudya muncul, dengan wajah mengantuk namun tetap waspada. "Ada apa ini? Kenapa kalian belum tidur?"

"Aku hanya ingin minum, Mama," Dhimas menjawab dengan suara pelan dan patuh. "Risa... Risa bilang ia tidak bisa tidur."

Nyonya Pramudya menatap Risa dengan curiga. "Risa, kamu kenapa? Jangan membuat masalah di rumah ini. Pergi tidur sekarang!"

Risa mengangguk, hatinya campur aduk. Ia melirik Dhimas, yang kini berdiri tegak di samping ibunya, seolah tak ada apapun yang terjadi beberapa detik sebelumnya. Perubahan itu begitu cepat, begitu mulus, seolah Dhimas memang memiliki saklar untuk mengubah kepribadiannya.

Risa kembali ke kamarnya, namun ia tak bisa tidur. Apa yang Dhimas sembunyikan? Mengapa ia harus bersembunyi dari ibunya sendiri? Rasa penasaran Risa kini berubah menjadi tekad. Ia harus mencari tahu. Ia harus memahami dunia rumit yang kini ia tinggali ini.

Keesokan harinya, Risa bangun pagi-pagi sekali. Ia mencoba mencari jejak Dhimas yang lain, namun nihil. Dhimas yang ia temui di meja makan adalah Dhimas yang patuh, yang tak banyak bicara. Risa merasa frustrasi.

Siang itu, Nyonya Pramudya memanggil Risa ke ruang kerja pribadinya. Ruangan itu didominasi oleh buku-buku tebal dan tumpukan dokumen. Aroma kertas dan tinta memenuhi ruangan.

"Risa," Nyonya Pramudya memulai, suaranya tenang namun dingin, "sudah dua bulan kamu di sini. Dan belum ada kabar baik."

Risa mengerutkan kening. "Kabar baik apa, Bu?"

Nyonya Pramudya menatapnya lurus. "Kabar kehamilan. Kamu tahu kan, tujuan pernikahan ini bukan hanya untuk melunasi utang-utangmu."

Jantung Risa berdegup kencang. Ia tahu. Ia tahu ini akan datang. Tuntutan untuk memiliki keturunan.

"Mama Dhimas membutuhkan cucu," lanjut Nyonya Pramudya. "Keturunan. Untuk melanjutkan nama keluarga. Dan kamu, Risa, adalah harapan terakhir kami."

Risa merasa tercekik. "Tapi... ini tidak semudah itu, Bu."

"Tidak semudah itu?" Nyonya Pramudya tertawa kecil, tawa yang tidak sampai ke matanya. "Kamu tidak tahu seberapa besar harga yang sudah kami bayar untuk ayahmu. Kamu berutang pada kami, Risa. Berutang keturunan."

Ancaman itu, meski terselubung, terasa begitu nyata. Risa merasa ditekan dari segala arah. Ayahnya masih dirawat, utang-utangnya sudah ditanggung, dan kini ia diwajibkan untuk memenuhi tuntutan lain. Tuntutan yang melibatkan sesuatu yang sangat pribadi, sesuatu yang seharusnya datang dari cinta, bukan dari kewajiban.

"Kami memberi waktu enam bulan," Nyonya Pramudya mengakhiri. "Jika tidak ada kabar baik dalam enam bulan, maka... kamu tahu apa yang akan terjadi."

Risa tahu. Ia tahu betul. Ayahnya akan kehilangan perawatan, utang-utangnya akan kembali membelit, dan ia akan terbuang begitu saja, seperti barang tak berguna.

Ia keluar dari ruangan Nyonya Pramudya dengan langkah gontai. Kepalanya berdenyut. Enam bulan. Bagaimana ia bisa hamil jika suaminya sendiri seperti orang asing, dengan dua sisi yang saling bertolak belakang, dan ia bahkan tidak yakin apakah ada cinta di antara mereka?

Risa kembali ke kamarnya, matanya terpaku pada cermin. Ia melihat pantulan dirinya yang berbeda. Bukan lagi Risa si petualang yang berani, melainkan Risa yang terperangkap, yang hidup dalam ketakutan.

Ia meraih ponselnya, mencari nama Maya, sahabatnya yang paling mengerti dirinya. Tapi ia mengurungkan niatnya. Bagaimana ia bisa menceritakan semua ini pada Maya? Tentang pernikahan kontraknya, tentang Dhimas yang misterius, dan kini tentang ultimatum keturunan. Maya pasti akan berpikir ia gila.

Risa merasa sendirian, benar-benar sendirian di mansion mewah ini. Ia berjalan ke jendela, menatap ke arah taman yang luas. Di sana, di sudut paling jauh, ia melihat Dhimas. Bukan Dhimas yang rapi dan patuh, melainkan Dhimas dengan kaus oblong dan celana training, sedang berlatih bela diri dengan seorang instruktur. Gerakannya cepat, gesit, penuh kekuatan. Ada ekspresi konsentrasi dan ketegasan di wajahnya yang bersih tanpa kacamata.

Risa merasakan sesuatu yang aneh. Kekaguman? Keheranan? Atau mungkin... sedikit ketertarikan yang tak terduga? Dhimas ini, sang ahli bela diri, adalah Dhimas yang paling berbeda dari semuanya. Ia adalah sisi Dhimas yang penuh kekuatan, yang mungkin ia sembunyikan untuk melindungi dirinya sendiri.

Sebuah pikiran muncul di benak Risa. Jika Dhimas memiliki banyak sisi tersembunyi, mungkin ia juga menyimpan rahasia lain. Rahasia yang jauh lebih besar dari sekadar hobi tersembunyi.

Risa kembali mengingat ucapan Dhimas: "Ada hal-hal yang tidak bisa aku jelaskan. Tidak sekarang." Dan ucapan Nyonya Pramudya: "Keturunan. Untuk melanjutkan nama keluarga. Dan kamu, Risa, adalah harapan terakhir kami."

Harapan terakhir? Kenapa harapan terakhir? Bukankah Dhimas adalah anak tunggal?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Risa. Ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang lebih besar dari sekadar pernikahan kontrak biasa. Ia merasa seperti masuk ke dalam sebuah labirin, dan setiap belokan hanya memperlihatkan teka-teki baru.

Bagaimana ia akan menemukan jalan keluar dari labirin ini? Mampukah ia mengungkap semua rahasia yang tersembunyi di balik dinding-dinding mansion megah ini? Dan yang terpenting, mampukah ia menemukan kebahagiaannya sendiri di tengah badai yang tak berkesudahan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, menunggu untuk dijawab di bab-bab selanjutnya dalam kisah hidup Risa.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY