Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cinta Terlarang dengan Partner Bisnis
Cinta Terlarang dengan Partner Bisnis

Cinta Terlarang dengan Partner Bisnis

5.0
6 Bab
110 Penayangan
Baca Sekarang

BLURB Tiga tahun lalu, mimpi besar Rachel Estelle hancur saat Erik Jang, pewaris dingin dari Jang Group, menolak proyeknya di depan para investor papan atas. Sejak hari itu, semuanya berubah. Keluarganya terlilit utang, dan Rachel belajar satu hal: mimpi tak berarti tanpa uang. Sekarang, Rachel bekerja keras sebagai agen properti demi menyelamatkan finansial keluarganya. Ketika dia diminta menjual penthouse mewah milik Erik sendiri, takdir mempertemukan mereka kembali. Erik tidak mengingatnya, tapi Rachel langsung meninggalkan kesan yang kuat. Saat mereka mulai bekerja sama, perlahan perasaan mulai tumbuh di antara keduanya. Tapi keluarga Erik punya rencana lain. Sang kakek yang sedang sakit, Ellias Jang, ingin Erik menikah dengan Shasya Hwang, cucu dari rekan bisnis lamanya. Shasya, bersama ibunya Meghan, menganggap Rachel sebagai ancaman dan siap melakukan apa pun untuk menyingkirkannya. Bahkan kalau harus menyebar fitnah atau menyakiti secara nyata. Bisakah cinta bertahan di tengah tekanan, pengkhianatan, dan perebutan warisan? Cinta Terlarang dengan Partner Bisnis adalah kisah romantis menyentuh tentang kesempatan kedua, cinta sejati, dan keberanian untuk memperjuangkan yang paling berarti.

Konten

Bab 1 Tiga Tahun Lalu

"Mbak, Namamu belum dipanggil, kan?"

Rachel mendongak, sedikit terkejut. Seorang perempuan dengan potongan rambut bob rapi dan name tag panitia berdiri di depannya sambil memeriksa clipboard.

"Belum, Bu," jawab Rachel cepat. "Saya... Estelle. Rachel Estelle."

"Ah, iya. Kamu peserta kelima. Setelah yang dari Eastwood Property."

Rachel mengangguk pelan, lalu kembali menunduk, memeluk map proposal yang sejak tadi dia genggam erat. Tangannya dingin. Blazer abu-abu muda yang dia pakai adalah pinjaman dari dosennya. Sedikit kebesaran di bahu, tapi dia nggak punya pilihan lain.

Perempuan itu tersenyum. "Tenang aja... Kamu peserta termuda, kan? Keren banget bisa sampai ke ajang pitching kayak gini..."

Rachel membalas dengan senyum kecil yang lemah. "Hehe, makasih, Bu... Semoga aja saya nggak salah masuk ruangan, hahaha."

Dia bersandar pelan ke dinding di luar ballroom. Di balik pintu besar itu, para investor dan perwakilan perusahaan properti besar sedang duduk menonton satu presentasi demi presentasi. Termasuk... YellowLand Holdings, milik Jang Group.

"Ya Tuhan, jangan sampai yang datang Erik Jang langsung, deh..."

Rachel kembali melihat ke bawah. Ujung map-nya udah mulai kusut. Dia mengintip halaman depan:

'Green Living for Urban Family'

Sebuah konsep hunian untuk keluarga muda. Fokus pada ruang hijau dan komunitas aktif. Bukan cuma tempat tinggal, tapi tempat untuk tumbuh bersama.

Tiga minggu terakhir, dia begadang ngerjain proposal itu. Dia dan Pak Franky, dosen sekaligus pemilik agensi kecil tempat Rachel magang. Mereka menggabungkan riset, desain, kalkulasi bisnis, dan alur presentasi.

Soalnya, ini bukan sekadar kompetisi. Ini semacam kesempatan terakhir bagi keluarganya.

Isi kepalanya terus berputar:

"Kalau proposal ini lolos... agensinya bisa dapet investor, proyeknya jalan, dan aku bisa bantu bayar utang toko Papa. Tapi kalau gagal......"

"Nervous, ya?"

Rachel sedikit kaget lagi. Kali ini suara cowok. Seorang pria muda berdasi rapi berdiri di depannya, membawa sebotol air mineral. Sepertinya peserta juga.

"Eh, kelihatan banget, ya?" Rachel mencoba tersenyum.

"Banget. Tapi tenang aja, semua juga deg-degan. Katanya sih, juri-jurinya serem banget. Sampai dijulukin 'pembunuh ide anak muda'," katanya sambil ketawa kecil.

Rachel ikut tertawa pelan. "Pembunuh ide... Duh, serem amat ya julukannya, hahaha."

"Hahaha yaa gitulah. Ohiya, Aku Henry, dari Arcadia Property."

"Rachel. Dari... yaa, agensi kecil gitulah. Masih belajar."

"Semangat ya, Rachel." Henry melirik ke arah pintu ballroom. "Eh, kayaknya sebentar lagi giliran kamu deh."

"Makasih Henry," ucap Rachel.

Setelah Henry masuk, Rachel menutup matanya sebentar.

"Ini bukan cuma soal properti. Ini soal nyelametin keluargaku."

Dia menarik napas panjang. Lalu melangkah pelan ke arah pintu ballroom, dengan kepala tegak.

Di dalam, investor dan eksekutif duduk mengelilingi meja bundar. Beberapa ngobrol sambil sesekali melirik ke panggung. Perut Rachel terasa mual.

"Rachel Estelle?" tanya seorang staf dengan headset.

Dia mengangguk. "Iya... Saya."

"Kamu urutan ketiga. Setelah presentasi ini ya. Siap?"

Rachel kembali mengangguk, kali ini lebih pelan. Pandangannya menyapu meja juri. Ada empat orang duduk di sana. Salah satunya pria muda dengan setelan jas hitam dan wajah serius. Rambutnya hitam, disisir rapi ke belakang. Tatapannya tajam, bahkan kalua dilihat dari jauh.

Rachel belum tahu siapa dia saat itu.

**

"Selamat siang semuanya," suara Rachel sedikit gemetar saat berdiri di podium. Mic-nya sudah menyala. Sorotan lampu panggung terasa menyilaukan. Dia menatap ruangan sejenak, lalu menunduk melihat catatannya.

"Saya Rachel Estelle, dan hari ini saya akan mempresentasikan konsep hunian berkelanjutan untuk keluarga urban..."

Slide pertama muncul di layar besar. Sebuah ilustrasi kawasan hunian dengan pepohonan, taman bermain, dan pusat komunitas. Rachel mulai bicara. Pelan, tapi mantap.

"Kita hidup di kota yang padat, cepat, dan penuh tekanan. Tapi rumah seharusnya bukan cuma tempat buat makan dan tidur.... Rumah harus jadi tempat untuk membangun harapan, masa depan, dan ketenangan."

Beberapa orang mulai mengangguk. Rachel mulai menemukan ritmenya. Dia menjelaskan ROI, nilai per meter persegi, dan potensi lokasi proyek.

"Konsep kami fokus pada kawasan yang nggak cuma kasih keuntungan, tapi juga dampak sosial. Kami ingin menciptakan ruang hidup yang menghidupkan kembali rasa kebersamaan di tengah kota."

Dia menutup presentasi dengan kutipan: "Investasikan pada rumah, bukan sekadar bangunan."

Tepuk tangan sopan terdengar.

Lalu, pria di ujung kanan meja juri mengangkat tangan.

Rachel tersenyum sopan. "Ya, silakan Pak..."

Pria itu berdiri, kedua tangan dimasukkan santai ke saku celana.

"Nama saya Erik... Erik Jang. Perwakilan dari YellowLand by Jang Group."

Beberapa orang mulai berbisik pelan.

Rachel membeku.

"Saya cuma mau tanya satu hal," lanjut Erik. "Kamu beneran yakin proyek ini bisa kasih return nyata? Angka-angkanya... terlalu optimis. Dan maaf, kenapa kamu buang waktu kami buat ide yang terlalu emosional kayak gini?"

Rachel nggak bisa jawab.

Ruangan mendadak sunyi....

"Pengembangan properti butuh logika, bukan harapan," lanjut Erik, dingin. "Jangan buang waktu kami dengan mimpi yang nggak realistis, mbak."

Beberapa orang di ruangan tertawa kecil. Seseorang berdeham. Seorang juri lainnya hanya menunduk.

Rachel menunduk. Suaranya nyaris tak terdengar. "Baik pak, saya mohon maaf.... Terima kasih atas masukannya, Pak Erik."

Dia turun dari panggung. Kakinya berat.

Senyumnya hilang.

Map proposal di tangannya terasa.... dingin.

**

Di luar gedung, hujan rintik-rintik turun.

Rachel berdiri di trotoar, memeluk map itu erat-erat. Make-up-nya mulai luntur, tapi dia nggak peduli.

Mobil-mobil lewat, air dari jalan terciprat ke sepatu murahnya.

Pikirannya melayang ke pagi tadi.

Wajah ayahnya yang sekarang terlihat lebih kurus karena sakit. Ia sempat berkata, "Mungkin ini kesempatan terakhir kita, Hel. Kalau mereka suka ide kamu, kita bisa bangkit lagi. Kita bisa lunasi utang. Bisa hidup tenang."

Rachel menutup matanya.

"Pa.... Maaf ya, Pa..." bisiknya.

**

Di rumah sederhana mereka di pinggiran kota, sang ayah duduk sambil memegang secangkir teh.

Ibunya pura-pura sibuk di dapur.

Rachel masuk pelan. Bajunya sedikit basah karena hujan.

Ayahnya berdiri. "Putri Papa akhirnya pulang... Gimana tadi?"

Rachel memberinya senyum tipis.

"Pa... Maaf ya... Mereka nolak, Pa."

Dia masuk ke kamar, menutup pintu dengan lembut, lalu duduk di pinggir tempat tidur.

Di luar, sang ayah tak berkata apa-apa. Ia hanya kembali duduk pelan.

Isi hati Rachel:

Sejak hari itu, semuanya berubah.

Utang numpuk.

Rumah kami hampir disita bank lebih dari sekali.

Aku kerja apa aja yang bisa, siang dan malam.

Dan aku belajar satu hal:

Keajaiban cuma datang buat orang kaya.

**

Tiga Tahun Kemudian...

Di dalam mobil, ponsel Rachel bergetar.

Satu notifikasi dari aplikasi kantor.

Pesan baru dari bosnya:

"Datang ke kantor jam 1 siang. Ada listing properti besar buat kamu. Penthouse. Komisinya gila. Tapi ada syaratnya."

Rachel mengernyit. Klien macam apa yang kayak gini? Besar banget sampai bisa listing penthouse, tapi nggak mau lewat jalur biasa?

Dia cepat-cepat balas:

"Siap Pak. Saya akan atur jadwal meeting-nya."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY