Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Cintanya, Penjaranya, Putra Mereka
Cintanya, Penjaranya, Putra Mereka

Cintanya, Penjaranya, Putra Mereka

5.0
21 Bab
277 Penayangan
Baca Sekarang

Selama lima tahun, suamiku, Brama Wijaya, mengurungku di sebuah panti rehabilitasi. Dia mengatakan pada dunia bahwa aku adalah seorang pembunuh yang telah menghabisi nyawa adik tiriku sendiri. Di hari kebebasanku, dia sudah menunggu. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanting setir mobilnya ke arahku, mencoba menabrakku bahkan sebelum aku melangkah dari trotoar. Ternyata, hukumanku baru saja dimulai. Kembali ke rumah mewah yang dulu kusebut rumah, dia mengurungku di kandang anjing. Dia memaksaku bersujud di depan potret adikku yang "sudah mati" sampai kepalaku berdarah di lantai marmer. Dia membuatku meminum ramuan untuk memastikan "garis keturunanku yang tercemar" akan berakhir bersamaku. Dia bahkan mencoba menyerahkanku pada rekan bisnisnya yang bejat untuk satu malam, sebagai "pelajaran" atas pembangkanganku. Tapi kebenaran yang paling kejam belum terungkap. Adik tiriku, Kania, ternyata masih hidup. Lima tahun penderitaanku di neraka hanyalah bagian dari permainan kejinya. Dan ketika adik laki-lakiku, Arga, satu-satunya alasanku untuk hidup, menyaksikan penghinaanku, Kania menyuruh orang untuk melemparkannya dari atas tangga batu. Suamiku melihat adikku mati dan tidak melakukan apa-apa. Sambil sekarat karena luka-luka dan hati yang hancur, aku menjatuhkan diri dari jendela rumah sakit, dengan pikiran terakhir sebuah sumpah untuk balas dendam. Aku membuka mataku lagi. Aku kembali ke hari pembebasanku. Suara sipir terdengar datar. "Suamimu yang mengaturnya. Dia sudah menunggu." Kali ini, akulah yang akan menunggu. Untuk menyeretnya, dan semua orang yang telah menyakitiku, langsung ke neraka.

Konten

Bab 1

Selama lima tahun, suamiku, Brama Wijaya, mengurungku di sebuah panti rehabilitasi. Dia mengatakan pada dunia bahwa aku adalah seorang pembunuh yang telah menghabisi nyawa adik tiriku sendiri.

Di hari kebebasanku, dia sudah menunggu. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanting setir mobilnya ke arahku, mencoba menabrakku bahkan sebelum aku melangkah dari trotoar.

Ternyata, hukumanku baru saja dimulai. Kembali ke rumah mewah yang dulu kusebut rumah, dia mengurungku di kandang anjing. Dia memaksaku bersujud di depan potret adikku yang "sudah mati" sampai kepalaku berdarah di lantai marmer. Dia membuatku meminum ramuan untuk memastikan "garis keturunanku yang tercemar" akan berakhir bersamaku.

Dia bahkan mencoba menyerahkanku pada rekan bisnisnya yang bejat untuk satu malam, sebagai "pelajaran" atas pembangkanganku.

Tapi kebenaran yang paling kejam belum terungkap. Adik tiriku, Kania, ternyata masih hidup. Lima tahun penderitaanku di neraka hanyalah bagian dari permainan kejinya. Dan ketika adik laki-lakiku, Arga, satu-satunya alasanku untuk hidup, menyaksikan penghinaanku, Kania menyuruh orang untuk melemparkannya dari atas tangga batu.

Suamiku melihat adikku mati dan tidak melakukan apa-apa.

Sambil sekarat karena luka-luka dan hati yang hancur, aku menjatuhkan diri dari jendela rumah sakit, dengan pikiran terakhir sebuah sumpah untuk balas dendam.

Aku membuka mataku lagi. Aku kembali ke hari pembebasanku. Suara sipir terdengar datar. "Suamimu yang mengaturnya. Dia sudah menunggu."

Kali ini, akulah yang akan menunggu. Untuk menyeretnya, dan semua orang yang telah menyakitiku, langsung ke neraka.

Bab 1

Panti rehabilitasi itu adalah sebuah kotak putih steril di pinggiran Jakarta, sebuah tempat yang dirancang untuk menghapus keberadaan seseorang. Selama lima tahun, tempat itu telah menjadi duniaku. Dindingnya kosong, udaranya berbau disinfektan dan keputusasaan, dan satu-satunya pemandanganku adalah sepotong langit kelabu.

Aku menatap bayanganku di lantai yang mengilap. Wajah kurus kering balas menatapku, dengan mata cekung dan kulit pucat. Pakaian yang kukenakan, seragam longgar, menggantung di tubuhku yang tinggal tulang. Pakaian itu adalah pengingat terus-menerus bahwa aku bukan lagi Anjani Putri, primadona kesayangan kalangan elite Jakarta. Aku hanyalah sebuah nomor, seorang pasien, seorang pembunuh.

Lima tahun yang lalu, suamiku, Brama Wijaya, memasukkanku ke sini. Dia melakukannya setelah aku dituduh membunuh adik tiriku, Kania Anindita. Dia mengatakan pada dunia bahwa itu adalah tindakan belas kasihan, sebuah kesempatan bagi istrinya yang hancur untuk menebus kejahatannya yang mengerikan.

Aku berlutut, lutut telanjangku menekan lantai yang dingin dan keras. Rasa sakit yang sudah biasa. Di depanku ada sebuah foto berbingkai Kania, yang sedang tersenyum. Ini adalah ritual harianku, penebusan dosaku yang dipaksakan. Aku harus berlutut di hadapannya selama dua jam setiap pagi dan dua jam setiap malam.

Seribu delapan ratus dua puluh lima hari. Aku telah menghitung setiap harinya.

Sebuah gedoran keras di pintu memecah kesunyian. Sipir masuk, wajahnya tanpa ekspresi.

"Bangun, Anjani. Kau dibebaskan."

Kepalaku terangkat. Bebas? Kata itu terasa asing, mustahil.

"Suamimu yang mengaturnya. Dia sudah menunggu."

Lima tahun. Lima tahun di neraka dunia ini, yang diatur oleh pria yang seharusnya mencintaiku. Pria yang dilihat semua orang sebagai malaikat yang saleh dan penuh kasih karena tidak menceraikan wanita yang membunuh adik ipar kesayangannya. Mereka tidak melihat kebenarannya. Mereka tidak mengenal Brama.

Dia bukan malaikat. Dia adalah iblis yang telah dengan cermat menciptakan purgatorium untukku.

Aku berjalan keluar dari panti, mataku mengerjap menahan silaunya matahari yang terasa asing. Aku berharap melihat wajah yang ramah, seorang anggota keluarga, siapa pun. Tapi trotoar itu kosong. Teman-temanku telah meninggalkanku. Keluargaku telah mencampakkanku. Aku benar-benar sendirian.

Sipir itu memberiku sebuah kotak kecil. "Perintah Tuan Brama. Dia bilang kau harus melanjutkan penebusan dosamu di rumah. Benda ini harus selalu bersamamu."

Di dalamnya ada foto Kania berbingkai yang sama. Rasa dingin yang mencekam menjalari tubuhku. Penjaranya mungkin berubah, tetapi hukumannya tetap sama.

Sebuah mobil hitam berhenti. Sopir keluarga Wijaya, seorang pria yang dulu menyapaku dengan senyum hangat, sekarang menatapku dengan tatapan hina saat dia membukakan pintu. Perjalanan kembali ke rumah mewah yang dulu kusebut rumah terasa sunyi. Rumah itu sama seperti yang kuingat, megah dan dingin. Tapi sekarang, aku bukan lagi nyonyanya. Aku adalah tawanannya.

Para pelayan dan kepala pelayan berbaris, bisikan mereka seperti desisan ular. Mereka menatapku bukan dengan kasihan, tetapi dengan cemoohan.

"Dia akhirnya keluar."

"Lihat dia. Seperti hantu."

"Tuan terlalu baik. Wanita seperti itu seharusnya membusuk di penjara."

Aku mengabaikan mereka, pikiranku berpegang pada satu-satunya harapan. Sebuah janji yang kubuat pada nenekku yang sedang sekarat bertahun-tahun yang lalu.

"Anjani," bisiknya, tangannya yang rapuh berada di genggamanku, "apa pun yang terjadi, kau harus melindungi adikmu. Arga adalah satu-satunya yang kau miliki."

Arga. Adik laki-lakiku. Dialah satu-satunya alasan aku bertahan selama lima tahun terakhir. Dialah satu-satunya alasanku untuk terus hidup sekarang.

Aku memeluk foto itu ke dadaku dan berjalan menuju tangga besar, langkahku goyah. Aku harus menemuinya.

Tiba-tiba, decitan ban mobil menggema dari jalan masuk di belakangku. Aku berbalik tepat pada waktunya untuk melihat sebuah mobil sport perak melaju lurus ke arahku, mesinnya menderu. Aku membeku, tubuhku menolak untuk bergerak. Mobil itu akan menabrakku.

Pada detik terakhir, aku melemparkan diriku ke samping, terguling ke halaman rumput yang terawat rapi. Mobil itu berhenti mendadak beberapa senti dari tempatku berdiri. Lututku lecet, dan jantungku berdebar kencang di dada. Secara naluriah aku memeriksa foto di tanganku. Kacanya tidak retak. Pikiran itu membuatku merinding-naluri pertamaku adalah melindungi simbol siksaanku.

Pintu mobil terbuka.

Brama Wijaya melangkah keluar, postur tubuhnya yang tinggi terbalut setelan jas yang dijahit sempurna. Dia terlihat sama seperti lima tahun yang lalu: sangat tampan, dengan aura kesalehan dingin yang memikat semua orang yang ditemuinya. Matanya, yang sewarna langit musim dingin, menatap mataku. Tidak ada kekhawatiran di sana, tidak ada keterkejutan. Hanya ketidakpedulian yang datar dan mengerikan.

Itu dia. Dia telah mencoba menabrakku.

Napas ku tercekat. Rasa takut yang telah kuhadapi selama lima tahun melilit perutku, mencekikku. Pria ini bukan hanya penyiksaku; dia adalah cinta sejatiku.

Aku teringat pada diriku yang dulu-ceria, sedikit liar, mengejar Brama Wijaya yang sulit dipahami dan dingin. Aku telah mengubah segalanya tentang diriku untuknya. Aku melunakkan sifatku, mempelajari hobi-hobinya yang tenang, membentuk diriku menjadi istri yang sempurna dan sopan seperti yang dia inginkan.

Untuk waktu yang singkat, aku pikir aku telah berhasil. Hari pernikahan kami adalah hari terindah dalam hidupku. Aku akhirnya memenangkan hati pria yang kupuja.

Lalu Kania meninggal, dan duniaku hancur.

Sekarang, berdiri di hadapannya, memar dan gemetar, aku bukan lagi gadis itu.

Aku bergegas berdiri, suaraku serak berbisik. "Brama... aku perlu bertemu Arga."

Dia berjalan ke arahku, tatapannya menyapu penampilanku yang acak-acakan dengan jijik. Dia berhenti tepat di depanku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan hawa dingin yang memancar darinya.

"Kau tidak dalam posisi untuk membuat permintaan, Anjani." Suaranya rendah dan halus, suara yang sama yang pernah membisikkan kata-kata cinta.

"Tolong," aku memohon, satu kata itu keluar dari tenggorokanku. "Hanya sebentar."

Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia membuat gerakan kecil dan tajam kepada dua pengawal besar yang telah keluar dari rumah.

"Sepertinya lima tahun perenungan tidak mengajarimu kerendahan hati," katanya, suaranya tanpa emosi. "Hukumanmu belum berakhir. Ini baru saja dimulai."

Para pengawal mencengkeram lenganku. Cengkeraman mereka seperti besi.

"Bawa dia ke kandang anjing," perintah Brama, membelakangiku seolah-olah aku hanyalah sampah yang harus dibuang.

Kandang anjing. Dia akan mengurungku di kandang anjing.

Kepanikan mencakar-cakar tenggorokanku. "Tidak! Brama, tidak! Tolong!"

Mereka menyeretku pergi, permohonanku bergema tanpa jawaban di halaman yang luas dan kosong.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 21   07-30 10:47
img
img
Bab 1
30/07/2025
Bab 2
30/07/2025
Bab 3
30/07/2025
Bab 4
30/07/2025
Bab 5
30/07/2025
Bab 6
30/07/2025
Bab 7
30/07/2025
Bab 8
30/07/2025
Bab 9
30/07/2025
Bab 10
30/07/2025
Bab 11
30/07/2025
Bab 12
30/07/2025
Bab 13
30/07/2025
Bab 14
30/07/2025
Bab 15
30/07/2025
Bab 16
30/07/2025
Bab 17
30/07/2025
Bab 18
30/07/2025
Bab 19
30/07/2025
Bab 20
30/07/2025
Bab 21
30/07/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY