Lima tahun itu telah berakhir. Janjiku telah terpenuhi. Aku menyerahkan surat pengunduran diriku, siap untuk akhirnya berduka dengan tenang. Tapi malam itu juga, Cheryl, pacar Brama yang kejam, menantangnya dalam balapan jalanan mematikan yang tidak mungkin dia menangkan.
Untuk menyelamatkan nyawanya, aku mengambil alih kemudi untuknya. Aku memenangkan balapan itu tetapi menabrakkan mobil, dan terbangun di ranjang rumah sakit. Brama menuduhku melakukannya untuk mencari perhatian, lalu pergi untuk menenangkan Cheryl yang pergelangan kakinya terkilir.
Dia memercayai kebohongan Cheryl saat wanita itu berkata aku mendorongnya, lalu membenturkan tubuhku ke dinding begitu keras hingga luka di kepalaku robek dan berdarah lagi.
Dia hanya diam menonton saat Cheryl memaksaku menenggak gelas demi gelas wiski yang sangat membuatnya alergi, menyebutnya sebagai ujian kesetiaan.
Penghinaan terakhir datang di sebuah lelang amal. Untuk membuktikan cintanya pada Cheryl, dia menempatkanku di atas panggung dan menjualku untuk satu malam kepada pria lain.
Aku telah menanggung lima tahun neraka untuk menghormati permintaan terakhir seorang pria yang telah tiada, dan inilah upahku.
Setelah melarikan diri dari pria yang membeliku, aku pergi ke jembatan tempat Yudha meninggal. Aku mengirimkan satu pesan terakhir untuk Brama: "Aku akan pergi bersama pria yang kucintai."
Kemudian, tanpa ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan, aku melompat.
Bab 1
Di dunia keuangan kelas atas Jakarta, semua orang tahu satu hal yang pasti: Kayla Adisti adalah bayangan Brama Wijaya. Selama lima tahun, dia lebih dari sekadar asisten pribadi; dia adalah pemecah masalahnya, perisainya, alibinya.
Dia membereskan skandal-skandal tabloidnya, menyelesaikan masalah hukumnya, dan bahkan pernah menanggung kesalahan atas kecelakaan mobil yang disebabkan oleh Brama. Dia adalah hantu dalam hidup Brama, selalu ada, selalu diam, pengabdiannya mutlak.
Semua orang menganggap ini adalah kisah cinta tak berbalas, jenis hubungan tragis sepihak yang menjadi bahan gosip kantor selama bertahun-tahun. Mereka percaya Kayla akan selamanya berada di sisinya, menjadi bagian permanen dalam badai kehidupan Brama. Kayla tidak melakukan apa pun untuk meluruskan asumsi ini. Dia hanya ada untuknya.
Sampai hari ini.
"Saya mengundurkan diri."
Kata-kata itu, diucapkan dengan tenang di kantor Brama yang minimalis, bagaikan bom yang meledak dalam keheningan. Tepat lima tahun sejak hari pertama dia mulai bekerja.
Bagas Kurniawan, sahabat Brama sekaligus penasihat hukum perusahaan, tersedak kopinya. Dia menatap Kayla, matanya terbelalak tak percaya.
"Kau... apa? Kayla, kau serius?"
Kayla mengangguk, ekspresinya datar. Dia meletakkan sepucuk surat sederhana satu halaman di atas meja yang mengilap. "Kontrak saya sudah selesai. Semua pekerjaan saya sudah diserahterimakan. Saya juga sudah membereskan meja saya."
Dia tidak menunggu jawaban. Dia berbalik dan berjalan keluar dari kantor, langkah kakinya mantap dan tidak tergesa-gesa. Seluruh lantai seolah menahan napas saat dia lewat, gelombang keterkejutan menjalari semua orang.
Tapi Kayla tidak pulang. Dia tidak mengemasi tas atau memesan tiket pesawat. Dia naik taksi ke pemakaman termewah dan paling terawat di kota itu.
Dia berhenti di depan sebuah nisan marmer hitam.
YUDHA PRATAMA.
Dia menelusuri huruf-huruf nama itu, jari-jarinya terasa lembut. Sebuah foto terukir di batu nisan, seorang pemuda dengan senyum yang bisa menerangi sebuah ruangan. Dia memiliki garis rahang yang tajam dan mata yang tajam seperti Brama, tetapi jika tatapan Brama liar dan sembrono, tatapan Yudha dipenuhi dengan kehangatan yang dalam dan menenangkan.
Ketenangannya akhirnya pecah. Setetes air mata mengalir di pipinya.
"Yudha," bisiknya, suaranya serak oleh kesedihan yang tak kunjung pudar selama lima tahun.
"Aku berhasil. Aku menepati janjiku."
Ingatan itu setajam hari kejadiannya. Lima tahun yang lalu, decitan ban, benturan logam. Yudha, melindunginya dengan tubuhnya.
Dunia menjadi lautan cahaya yang berkedip-kedip dan bau bensin. Dia terjepit, napasnya dangkal.
"Kayla," desahnya, tangannya menemukan tangan Kayla. "Berjanjilah padaku."
"Apa pun," isaknya.
"Brama... dia berantakan. Dia adikku. Jaga dia. Cukup... beri dia lima tahun. Lima tahun untuk menjadi dewasa."
Kayla mengerti makna sebenarnya. Yudha tidak hanya memintanya untuk melindungi Brama. Dia memberinya jalan keluar. Dia mencegahnya tenggelam dalam duka, mengikutinya ke dalam kegelapan. Dia memberinya hukuman lima tahun agar pada akhirnya dia bisa bebas.
Jadi dia setuju. Dia menjadi asisten Brama Wijaya, wanita yang melayani setiap keinginannya, yang menerima setiap pukulan yang ditujukan untuknya. Dia melakukan semuanya untuk pria yang terbaring di bawah batu nisan yang dingin itu.
Lima tahun telah berlalu. Janjinya telah terpenuhi. Keinginannya sendiri, yang telah lama terpendam, tidak berubah.
"Aku datang, Yudha," gumamnya, nada suaranya terdengar final. "Aku sangat lelah. Aku hanya ingin beristirahat bersamamu."
Dia siap untuk melepaskan segalanya.
Ponselnya bergetar, sebuah gangguan yang kasar dan tidak diinginkan. Itu Bagas.
"Kayla! Syukurlah kau menjawab. Ini Brama." Suaranya panik. "Cheryl berulah lagi."
Seluruh tubuh Kayla menegang.
Cheryl Larasati. Pacar Brama. Seorang wanita yang memperlakukan cinta seperti serangkaian permainan berbahaya dengan taruhan tinggi.
"Dia menantang Brama balapan dengan Geng Viper," kata Bagas, kata-katanya keluar begitu saja. "Pemenangnya mendapatkan hak jalan di jalur pesisir selama setahun. Brama benar-benar akan melakukannya. Dia gila."
Kayla memejamkan matanya. Geng Viper bukan hanya pembalap jalanan; mereka adalah penjahat, terkenal dengan kekerasan mereka. Balapan itu bukan tentang kecepatan; itu tentang bertahan hidup.
Dia mendapati dirinya berlari bahkan sebelum membuat keputusan sadar, memanggil taksi dengan tangan gemetar.
Balapan itu diadakan di jalan tebing yang berbahaya, licin karena percikan air laut. Kerumunan orang telah berkumpul, wajah mereka diterangi oleh sorotan lampu mobil. Di garis start, terparkir mobil sport kustom milik Brama, dan di sebelahnya, mobil Geng Viper yang dimodifikasi dengan sangar.
Brama bersandar di mobilnya, sebatang rokok menjuntai di bibirnya. Cheryl bergelayut di lengannya, ekspresinya campuran antara kegembiraan dan keprihatinan yang dibuat-buat.
Bagas bergegas menghampiri Kayla. "Kau datang." Dia tampak lega.
"Kenapa dia melakukan ini?" tanya Kayla, suaranya tegang.
"Untuk wanita itu," desis Bagas, menunjuk ke arah Cheryl dengan dagunya. "Dia bilang kalau Brama menang, dia akan tahu Brama benar-benar mencintainya. Wanita itu racun."
Jeremy Santoso, teman Brama yang lain, menepuk bahu Brama. "Jangan dengarkan Bagas, Bung. Cheryl hanya mengujimu. Tunjukkan padanya kemampuanmu."
Tapi Bagas tidak mau menyerah. Dia menoleh ke Brama. "Apa kau gila? Kayla sudah menghabiskan lima tahun menjauhkanmu dari penjara, dan kau akan membuang semuanya hanya untuk sebuah sensasi?"
Mata Brama beralih ke Kayla. Sesaat, sesuatu yang tak terbaca melintas di wajahnya. Kemudian itu hilang, digantikan oleh kesombongannya yang biasa.
"Apa urusanmu, Adisti?" katanya dengan nada tajam dan dingin. "Kau datang untuk melihatku hancur? Atau berharap bisa memungut kepingan-kepingannya lagi?"
Kata-kata itu menghantam Kayla dengan keras. Rasa sakit yang tajam menusuk dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tapi dia mengabaikannya. Dia telah mengabaikannya selama lima tahun.
Dia berjalan maju, tepat ke hadapannya. Dia mengambil kunci mobil dari tangannya.
"Apa yang kau lakukan?" tuntut Brama.
"Aku akan balapan untukmu," kata Kayla, suaranya mantap. "Aku pengemudi yang lebih baik. Kau hanya akan membuat dirimu terbunuh."
Bagas mengangguk setuju. "Dia benar, Brama. Biarkan dia melakukannya. Yang Cheryl inginkan hanyalah kemenangan, dia tidak peduli siapa yang ada di belakang kemudi."
Kayla tidak menunggu izinnya. Dia masuk ke kursi pengemudi, kulit jok yang dingin terasa di kulitnya. Dia menyalakan mesin, derunya menjadi penghiburan yang akrab.
Brama tertegun, hanya bisa menatapnya. Dia mencoba memprotes, menariknya keluar, tetapi Kayla sudah mengunci pintu.
"Kayla, keluar dari mobil!" teriaknya, menggedor jendela. "Itu perintah!"
Dia hanya menatapnya, matanya tenang dan kosong. Dia menggelengkan kepalanya sedikit.
Bendera start diayunkan.
Dunia larut dalam kabut kecepatan dan kebisingan. Mesin meraung saat dia mendorongnya hingga batas maksimal, ban berjuang untuk mencengkeram jalan yang berkelok-kelok.
Brama berdiri membeku, matanya terpaku pada lampu belakang mobilnya saat menghilang di tikungan pertama. Dia merasakan sesak yang aneh dan tidak biasa di dadanya. Dia melihat wajah Kayla dalam benaknya, begitu tenang, begitu rela melemparkan dirinya ke dalam bahaya untuknya. Lagi.
Balapan itu brutal. Mobil Geng Viper berulang kali menabrak mobilnya, mencoba memaksanya keluar dari jalan dan jatuh ke jurang. Penonton menahan napas setiap kali nyaris celaka, setiap decitan logam beradu logam.
Tapi Kayla tidak gentar. Dia mengemudi dengan amarah yang dingin dan presisi.
Putaran terakhir. Mobil-mobil itu bersaing ketat. Dengan satu dorongan terakhir yang keras, mobil Geng Viper membuatnya berputar. Untuk sesaat yang membuat jantung berhenti berdetak, sepertinya dia akan jatuh dari tebing.
Kemudian, sebuah benturan yang memekakkan telinga.
Mobilnya menabrak dinding batu di sisi jalan tepat setelah garis finis. Menang.
Keheningan menyelimuti kerumunan.
Pintu sisi pengemudi ringsek. Kayla muncul, berjalan tertatih-tatih. Darah menetes dari luka di dahinya, membasahi rambutnya.
Dia berjalan lurus ke arah Brama, tubuhnya bergoyang. Dia menekan token kemenangan-sebuah pin berbentuk ular viper yang norak-ke tangannya.
"Kau menang," katanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Kemudian matanya memutar ke atas, dan dia pingsan.
Brama bereaksi tanpa berpikir. Dia melompat ke depan, menangkapnya tepat sebelum dia jatuh ke tanah.
Dia terasa sangat ringan di lengannya, serapuh seekor burung. Perasaan yang tidak bisa dia sebutkan namanya, sesuatu yang tajam dan menyakitkan, melonjak dalam dirinya.
"Kayla?" panggilnya, suaranya diwarnai kepanikan yang tidak dia kenali. "Kayla!"
Saat dia kehilangan kesadaran, dia merasa seperti tangan Yudha ada di tangannya. Rasa damai yang samar menyelimutinya sebelum semuanya menjadi gelap.