Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Kembalinya Sang Mantan Istri yang Agung
Kembalinya Sang Mantan Istri yang Agung

Kembalinya Sang Mantan Istri yang Agung

5.0

Suamiku, Bram, seharusnya menjadi cinta dalam hidupku, pria yang berjanji akan melindungiku selamanya. Namun, dialah yang paling menyakitiku. Dia memaksaku menandatangani surat cerai, menuduhku melakukan spionase perusahaan dan menyabotase proyek-proyek penting. Semua itu terjadi saat cinta pertamanya, Hesti, yang seharusnya sudah mati, muncul kembali, hamil anaknya. Keluargaku telah tiada. Ibuku tidak mengakuiku lagi, dan ayahku meninggal saat aku sedang lembur kerja, sebuah pilihan yang akan kusesali selamanya. Aku sekarat, menderita kanker stadium akhir, dan dia bahkan tidak tahu, atau tidak peduli. Dia terlalu sibuk dengan Hesti, yang alergi terhadap bunga-bunga yang kurawat untuknya, bunga yang dia sukai karena Hesti menyukainya. Dia menuduhku berselingkuh dengan kakak angkatku, Kala, yang juga dokterku, satu-satunya orang yang benar-benar peduli padaku. Dia menyebutku menjijikkan, seperti tengkorak berjalan, dan mengatakan tidak ada seorang pun yang mencintaiku. Aku begitu takut jika aku melawan, aku bahkan akan kehilangan hak untuk mendengar suaranya di telepon. Aku begitu lemah, begitu menyedihkan. Tapi aku tidak akan membiarkannya menang. Aku menandatangani surat cerai itu, memberikannya Salim Group, perusahaan yang selalu ingin dia hancurkan. Aku memalsukan kematianku, berharap dia akhirnya akan bahagia. Tapi aku salah. Tiga tahun kemudian, aku kembali sebagai Aurora Morgan, seorang wanita kuat dengan identitas baru, siap membuatnya membayar semua yang telah dia lakukan.

Konten

Bab 1

Suamiku, Bram, seharusnya menjadi cinta dalam hidupku, pria yang berjanji akan melindungiku selamanya. Namun, dialah yang paling menyakitiku.

Dia memaksaku menandatangani surat cerai, menuduhku melakukan spionase perusahaan dan menyabotase proyek-proyek penting. Semua itu terjadi saat cinta pertamanya, Hesti, yang seharusnya sudah mati, muncul kembali, hamil anaknya.

Keluargaku telah tiada. Ibuku tidak mengakuiku lagi, dan ayahku meninggal saat aku sedang lembur kerja, sebuah pilihan yang akan kusesali selamanya. Aku sekarat, menderita kanker stadium akhir, dan dia bahkan tidak tahu, atau tidak peduli. Dia terlalu sibuk dengan Hesti, yang alergi terhadap bunga-bunga yang kurawat untuknya, bunga yang dia sukai karena Hesti menyukainya.

Dia menuduhku berselingkuh dengan kakak angkatku, Kala, yang juga dokterku, satu-satunya orang yang benar-benar peduli padaku. Dia menyebutku menjijikkan, seperti tengkorak berjalan, dan mengatakan tidak ada seorang pun yang mencintaiku.

Aku begitu takut jika aku melawan, aku bahkan akan kehilangan hak untuk mendengar suaranya di telepon. Aku begitu lemah, begitu menyedihkan.

Tapi aku tidak akan membiarkannya menang.

Aku menandatangani surat cerai itu, memberikannya Salim Group, perusahaan yang selalu ingin dia hancurkan.

Aku memalsukan kematianku, berharap dia akhirnya akan bahagia.

Tapi aku salah.

Tiga tahun kemudian, aku kembali sebagai Aurora Morgan, seorang wanita kuat dengan identitas baru, siap membuatnya membayar semua yang telah dia lakukan.

Bab 1

Kantor hukum Salim Group selalu terasa dingin, udaranya pekat dengan aroma kertas dan ambisi yang sunyi. Ini adalah tempat kekuasaan, dan Karina Salim seharusnya menjadi ratunya.

"Saya, Karina Salim, dalam keadaan sadar dan sehat, dengan ini menyatakan bahwa ini adalah surat wasiat terakhir saya." Suaranya lembut, tetapi menggema di ruangan yang hening itu.

Dara Adnan, kepala penasihat hukum sekaligus sahabat tertuanya, menatapnya dengan kening berkerut cemas. Karina sama sekali tidak sehat. Tubuhnya rapuh, seolah-olah kehidupan terkuras sedikit demi sedikit setiap harinya.

"Saya mewariskan seluruh harta saya, termasuk semua saham saya di Salim Group, properti pribadi saya, dan semua aset lainnya, kepada satu orang."

Pena di tangan Dara berhenti. Dia tahu apa yang akan terjadi.

"Kepada suamiku, Bram Kennedy."

Nama itu menggantung di udara, sebuah bukti cinta yang tidak pernah terbalas.

Dara akhirnya melanggar prosedur formal. "Karina, kamu yakin soal ini?"

"Aku yakin, Dara."

"Setidaknya biarkan aku mengambilkanmu air minum. Atau panggil dokter. Kamu terlihat pucat pasi."

Karina menggelengkan kepala, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Tidak, aku harus pulang."

"Kenapa?" Dara memohon, suaranya sedikit bergetar. "Dia bahkan tidak akan ada di sana."

"Aku harus memasak makan malam untuknya." Itu adalah tugas yang dia lakukan setiap hari selama empat tahun pernikahan mereka. Tugas yang tidak pernah sekalipun diakui Bram dengan memakan masakannya.

Dia teringat malam-malam yang tak terhitung jumlahnya, makanan yang disiapkan dengan sempurna menjadi dingin di atas meja, harapannya meredup bersama matahari terbenam.

Rasa kehilangan yang mendalam menghimpit dadanya, sebuah rasa sakit yang akrab.

"Sampai jumpa besok, Dara." Karina berdiri, gerakannya lambat dan hati-hati.

Dia berjalan keluar dari kantor, sosoknya terlihat kurus dan rapuh di balik pintu kaca besar.

Dara menatap kepergiannya, sebuah pikiran pahit melintas di benaknya. Karina Salim, pewaris ternama Jakarta, kini hanyalah bayangan yang menyedihkan, berpegang erat pada pria yang membencinya.

Perjalanan pulang terasa sunyi. Lampu-lampu kota kabur menjadi goresan warna yang panjang, mencerminkan air mata yang menggenang di mata Karina tetapi tidak pernah jatuh.

Dia mengeluarkan ponselnya, ibu jarinya melayang di atas nama Bram. Dia menekan tombol panggil.

Telepon berdering beberapa kali sebelum dijawab. "Mau apa?" Suaranya sedingin es, seperti biasa.

"Bram," katanya, nama itu bagaikan belaian lembut.

"Jangan panggil aku begitu," bentaknya. "Menjijikkan."

Rasa sakit yang akrab menusuk perutnya. Dia telah memanggilnya seperti itu sejak mereka masih anak-anak, saat Bram berjanji akan melindunginya selamanya.

Kemudian, dia mendengar suara lain di latar belakang, suara seorang wanita, lembut dan manis. "Bram, siapa itu?"

Nada suara Bram langsung melembut. "Bukan siapa-siapa."

Napas Karina tercekat.

"Jangan telepon aku lagi kecuali untuk menandatangani surat cerai," kata Bram, suaranya penuh penghinaan.

Dia mencoba menjaga suaranya tetap stabil, menyembunyikan getaran. "Aku akan siapkan makan malam untukmu."

Sambungan terputus.

Dia menatap ponselnya, keheningan mobil memperkuat dering di telinganya. Setetes air mata akhirnya lolos, menelusuri jejak dingin di pipinya.

Dia begitu lemah. Begitu menyedihkan.

Dia begitu takut jika dia melawan, dia bahkan akan kehilangan hak untuk mendengar suaranya di telepon.

Ketika dia tiba di vila mereka, tempat itu gelap dan kosong. Ini adalah rumah yang dirancang Bram untuk cinta pertamanya, dipenuhi dengan hal-hal yang membuat Karina alergi tetapi tidak pernah berani dia singkirkan.

Dia pergi ke dapur, sebuah ruang yang telah dia ubah dari wilayah asing menjadi satu-satunya tempat perlindungannya. Dia telah belajar memasak untuk Bram, dunia yang sangat berbeda dari ruang rapat dan neraca keuangan tempat dia dibesarkan.

Rumah itu dingin, bergema dengan kesepian yang mendalam. Dia menyalakan musik lembut, melodinya menjadi perisai lemah melawan keheningan.

Jam berdetak melewati tengah malam. Bram tidak akan pulang.

Dia membersihkan makanan yang tak tersentuh, hatinya terasa berat seperti timah. Saat dia hendak mematikan lampu dan pergi ke tempat tidurnya yang kosong, dia mendengar pintu depan terbuka.

Harapan, hal bodoh dan keras kepala itu, berkobar di dadanya.

Bram masuk, membawa embusan udara malam yang dingin bersamanya. Dia berbau parfum wanita lain.

"Bram, kamu kembali," katanya, suaranya penuh kelegaan yang tidak bisa dia sembunyikan. "Apa kamu lapar? Aku bisa memanaskan makanan."

Dia mengulurkan tangan untuk mengambil mantelnya.

Bram tiba-tiba mencengkeramnya, cengkeramannya seperti besi, dan mendorongnya ke dinding. Matanya gelap oleh campuran alkohol dan sesuatu yang lain, sesuatu yang posesif dan kejam.

Jantung Karina berdebar kencang. Dia ketakutan. "Bram, apa yang kamu lakukan?"

Bram mencondongkan tubuh, bibirnya hampir melumat bibir Karina, tetapi suara namanya di bibir Karina sepertinya sedikit menyadarkannya. Dia mundur seolah-olah terbakar.

"Jangan sentuh aku," geramnya, suaranya rendah. "Kamu membuatku muak."

Dia berbalik dan melangkah menaiki tangga, meninggalkan Karina yang gemetar bersandar di dinding.

Sentakan emosional itu membuat perutnya mual, dan gelombang mual menyapunya. Selalu seperti ini. Satu momen harapan, diikuti oleh pukulan kenyataan yang menghancurkan.

Kenapa Bram begitu membencinya? Dia tidak bisa mengerti.

Dia membersihkan dirinya, rasa malu melekat padanya seperti kulit kedua. Dia naik ke atas dan diam-diam menyiapkan piyama dan segelas susu hangat, meletakkannya di samping tempat tidur Bram seperti biasa.

Dia menunggu lama sekali.

Bram akhirnya keluar dari kamar mandi, handuk melingkar rendah di pinggulnya. Dia bahkan tidak melirik Karina.

Dia melihat surat cerai di meja nakasnya, yang belum Karina tandatangani. Kemudian dia menoleh padanya, wajahnya topeng kemarahan yang dingin.

"Aku mau cerai, Karina."

Karina menatapnya, dunianya seakan runtuh. "Kenapa? Kenapa sekarang?"

Bram menatapnya, dan kata-kata yang dia ucapkan selanjutnya menghancurkan sisa-sisa hatinya.

"Karena Hesti sudah kembali."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 24   Kemarin lusa10:47
img
img
Bab 1
30/07/2025
Bab 2
30/07/2025
Bab 3
30/07/2025
Bab 4
30/07/2025
Bab 5
30/07/2025
Bab 6
30/07/2025
Bab 7
30/07/2025
Bab 8
30/07/2025
Bab 9
30/07/2025
Bab 10
30/07/2025
Bab 11
30/07/2025
Bab 12
30/07/2025
Bab 13
30/07/2025
Bab 14
30/07/2025
Bab 15
30/07/2025
Bab 16
30/07/2025
Bab 17
30/07/2025
Bab 18
30/07/2025
Bab 19
30/07/2025
Bab 20
30/07/2025
Bab 21
30/07/2025
Bab 22
30/07/2025
Bab 23
30/07/2025
Bab 24
30/07/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY