"Apa kamu yakin ingin melanjutkan ini, Nja?" bisik Pak Wiryo, ayah Anjani, pelan di telinganya.
Anjani menelan ludah. "Ini demi Kirana... dan demi nama baik keluarga kita, Pak."
Pak Wiryo mengangguk lirih, lalu mundur pelan memberi ruang bagi putrinya untuk duduk di sebelah Arjuna, yang juga tampak gelisah. Jas abu-abunya rapi, tetapi sorot matanya dingin, menusuk.
"Aku tidak meminta ini," bisik Arjuna tanpa menoleh.
"Aku juga tidak," balas Anjani lembut.
Suara penghulu memecah keheningan.
"Dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas dua gram, tunai-saya nikahkan..."
Kalimat itu menggantung sejenak di telinga Anjani. Tubuhnya terasa ringan, seperti bukan miliknya. Ia sempat melirik tangan Arjuna yang mengepal erat, rahangnya mengeras, tetapi ia tetap menjawab dengan tegas,
"Saya terima nikahnya Anjani binti Wiryo dengan maskawin tersebut, tunai."
Dan seketika, takdir baru dimulai.
Beberapa jam kemudian, suasana rumah mulai sepi. Para tamu telah pulang, dan Anjani duduk sendirian di kamar pengantin. Ruangan itu wangi melati, tapi terasa dingin dan asing. Ia melepas anting satu per satu, menatap bayangan dirinya di cermin.
Pintu terbuka dengan kasar.
"Kau bisa tidur di sofa. Jangan harap aku akan menyentuhmu," suara Arjuna terdengar tajam.
Anjani menoleh, namun tak menjawab.
"Kenapa diam?" ejek Arjuna. "Atau kamu berharap aku cepat jatuh cinta padamu seperti dalam sinetron murahan itu?"
Anjani bangkit perlahan. "Aku tidak butuh cintamu. Aku hanya ingin kamu menjaga nama baik adikku."
"Adikmu kabur seperti pengecut. Dan kamu-" Arjuna mendekat satu langkah, "-datang sebagai pahlawan, ya?"
"Kalau aku tidak datang, seluruh keluarga akan dipermalukan. Kamu tahu sendiri betapa orang-orang akan memperbincangkan ini."
Arjuna mendengus. "Jangan terlalu percaya diri. Kamu mungkin berhasil menipuku hari ini, tapi jangan pernah berharap aku akan menganggapmu istri."
"Bagiku, pernikahan ini bukan permainan."
"Dan bagiku, ini hukuman."
Arjuna meninggalkan ruangan dengan pintu terbanting.
Anjani berdiri membeku. Matanya panas, tapi tak setetes pun air mata jatuh. Ia sudah cukup lama menangis untuk hidupnya yang tak pasti-tentang Prakasa, tentang Kirana, dan sekarang, tentang Arjuna.
Tapi malam ini, ia membuat satu janji baru dalam hati:
Jika takdir sudah memilihnya menjadi istri yang tak diinginkan, maka ia akan menjadi istri yang tak bisa dilupakan.