Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Mantan Pacar
Mantan Pacar

Mantan Pacar

5.0
31 Bab
3 Penayangan
Baca Sekarang

Clara tiba di kebun anggur tunangannya dengan sebuah rencana: menyesuaikan diri dengan kemewahan yang segera akan menjadi miliknya. Tetapi, dua hari sebelum pernikahan, dia menghilang tanpa jejak. Sementara semua orang mencari jawaban, Clara terpaksa berkomitmen dengan saudara laki-laki dari yang hilang itu: seorang pria keras, tertutup... dan berbahaya menarik. Di antara kebohongan, godaan, dan rahasia keluarga, Clara akan menemukan bahwa kebenaran memiliki harga yang bisa menghancurkan segalanya... atau memberinya kekuatan yang selalu dia inginkan.

Konten

Bab 1 Kami sampai di perkebunan anggur

Mobil berjalan pelan di jalan tanah yang membelah kebun-kebun anggur. Di kedua sisi, tanaman anggur tampak membentang sejauh mata memandang, lautan teratur warna hijau dan coklat yang beraroma janji dan rahasia terkubur.

Martina, adik perempuanku, menggenggam tanganku dengan campuran harapan dan gugup. Dia, dengan mimpinya yang masih utuh; aku, dengan mimpiku yang sudah terkemas rapi dalam kotak sinisme dan ambisi.

"Kamu tahu?" bisiknya, dengan suara yang masih percaya bahwa yang baik selalu datang. "Tempat ini luar biasa. Semua terlihat seperti di film."

Aku tersenyum, merasa menang, meski bibirku tak ingin mengungkapkan apa yang kurasakan. Mewah, iya. Tapi juga seperti sangkar. Perkebunan ini bukanlah kastil dongeng, melainkan jebakan yang berkamuflase dengan kemewahan, dan sebentar lagi aku akan memimpin.

"Penjara yang indah," kataku dengan sarkasme. "Dua bulan di sini, Martina. Dua bulan untuk mengenal keluarga sebelum pernikahan."

Dia menatapku bingung.

"Kenapa?"

"Karena bagiku ini bukan soal mengenal keluarga. Aku di sini untuk memperluas wilayah dan menikmati semua yang suatu hari nanti akan menjadi milikku. Cincin, kekayaan, nama keluarga. Aku tak peduli apakah aku suka Marco atau tidak."

Martina menelan ludah dan mengalihkan pandangan ke pemandangan yang tampak abadi.

Perkebunan Leone adalah monumen pengendalian. Setiap batu, setiap ranting tanaman anggur yang dipangkas, setiap tirai beludru di jendela, ada di sana untuk mengingatkan siapa yang memerintah dan siapa yang patuh. Aku hampir menjadi bagian dari roda gigi itu.

Saat tiba di pintu besar besi tempa, seorang wanita dengan ekspresi datar menyambut kami. Seragamnya rapi dan matanya dingin, tidak menyembunyikan penilaian yang tak disembunyikan oleh siapa pun selain dirinya.

"Selamat datang di rumah, Nona," katanya dengan suara yang berusaha ramah tapi hanya setengah sopan.

Saat aku menata diri di kamar yang diberikan, kulihat Martina tak bisa berhenti memperhatikan setiap detail: furnitur antik, karpet yang meredam suara langkah kami, lilin gantung dengan cahaya redup yang menerangi dengan aura hampir seperti hantu.

Begitu kami keluar ke ruang makan, keluarga sudah berkumpul. Tidak banyak orang, tapi cukup untuk membuat kami merasa diawasi.

Marco ada di sana, berpakaian rapi, dengan senyum yang terkekang tapi tak sampai ke matanya. Saat melihatku, dia mengangguk sedikit tanpa mendekat terlalu jauh.

Ketegangan di antara kami hampir bisa dirasakan, meskipun kebanyakan orang seolah tidak menyadarinya atau memilih pura-pura semuanya normal.

Di antara bisikan dan tatapan yang tertukar, percakapan berputar pada persiapan pernikahan, menu, gaun, dan waktu yang tersisa sebelum latihan terakhir.

Tapi aku tak bisa berhenti mengamati. Bukan mereka, tapi diriku sendiri dalam cermin retak tentang siapa yang ingin aku jadi. Clara, wanita yang menerima menikah dengan pria yang hampir tidak dikenal, bukan karena cinta, tapi karena janji stabilitas dan kekuasaan.

Tiba-tiba, seorang pria tinggi dan pendiam masuk ke ruangan. Langkahnya mantap, sikapnya mengesankan. Dia Nicolo, kakak Marco. Tatapannya melintasi ruangan dan berhenti padaku seolah menimbang setiap kata yang belum terucap.

Dia tak bicara, tak tersenyum, hanya mengangguk dengan keseriusan yang membuat darahku membeku.

"Jadi ini tunangannya," bisik seseorang di sampingku. "Clara, kan? Selamat datang di Leone."

Aku merasakan keringat dingin mulai mengalir di punggung. Bukan karena panas musim panas Italia, tapi tekanan tak terlihat dari permainan yang baru saja dimulai.

Malam itu, saat perkebunan tertidur di bawah sinar bulan, pikiranku terus berputar memikirkan semua yang kulihat: tatapan, keheningan, tawa paksa, dan udara tebal rahasia yang siap meledak.

Aku tahu cerita ini tak akan berakhir dengan "dan mereka hidup bahagia selamanya." Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik tembok itu.

Dan aku siap untuk mengetahuinya. Meski itu berarti menjadi versi terburuk dari diriku sendiri.

Pagi berikutnya muncul dengan matahari yang begitu terik seolah mencoba membersihkan sudut gelap perkebunan. Tapi udara segar pun tak mampu menghilangkan perasaan bahwa kami diawasi, dinilai.

Martina dan aku bangun pagi. Dia senang menjelajahi taman, aku bertekad menyusun rencana dalam pikiranku.

Saat turun ke dapur, rumah sudah sibuk dengan pegawai yang menyiapkan semuanya untuk resepsi hari itu. Aroma roti baru dan kopi kuat membuatku berpikir tentang sesuatu selain sangkar yang menungguku, tapi itu hanya sesaat.

Saat memperhatikan para pelayan, kulihat beberapa mengalihkan pandangan saat aku melewati, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin mereka bagi. Lalu kudengar bisikan, potongan kata: "Marco," "latihan terakhir," "semua harus sempurna."

Gemetar menyusuri punggungku. Meski belum kutahu, potongan-potongan mulai menyatu.

Tiba-tiba, Nicolo muncul di ambang dapur, sosoknya terpotong oleh cahaya halaman. Dia berpakaian sederhana tapi rapi, dan tatapannya langsung menangkapku.

"Clara," katanya pelan hampir berbisik. "Aku harap kau menyukai perkebunan ini."

Aku menjawab "ya" dengan sederhana, menyembunyikan getaran yang kurasakan. Ada sesuatu dalam dirinya, cara matanya terus mencari jawaban dari diriku, yang membuatku gelisah.

Saat dia pergi, udara menjadi lebih berat. Indraku semakin tajam: keringat di tangan, napas cepat, dan perut yang berdenyut-aku tahu itu takut yang bersembunyi sebagai antisipasi.

Sepanjang hari, Martina dan aku berkeliling properti, tapi aku tak bisa berhenti mencuri pandang ke jendela, berharap melihat Marco muncul kapan saja.

Malam itu, di kamarku, keheningan hanya terputus oleh detak jantungku yang cepat. Pikiran membawaku pada kenangan samar, potongan percakapan dengan ibuku tentang sesuatu yang tak kuerti saat itu: "Dia bukan seperti yang terlihat..."

Memori yang retak meninggalkanku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Aku tahu "dia" itu adalah Marco, tunangan yang hampir menjadi pusat badai yang tak bisa kubayangkan.

Dan saat bulan menerangi perkebunan, aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar ingin menjadi bagian dari cerita itu... atau hanya pion dalam permainan kebohongan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY