Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Bukan Menantu Idaman Mama
Bukan Menantu Idaman Mama

Bukan Menantu Idaman Mama

5.0
27 Bab
4 Penayangan
Baca Sekarang

"Mama, aku sudah bilang, aku yang akan menentukan hidupku sendiri." "Aku memilih Alya, bukan karena aku ingin melawan Mama, tapi karena aku mencintainya." Mirna menertawakan dengan getir. "Alya? Gadis yatim piatu itu? Cucu seorang nenek tua yang tidak punya apa-apa? Apa Mama tidak cukup jelas selama ini? Pernikahan ini harus, untuk masa depan perusahaan, bukan sekadar cinta bodoh!"

Konten

Bab 1 Nama yang Sering Disebut

Bab 1 – Nama yang Sering Disebut

"Reza, kamu harus dengar aku!" suara Mama Mirna meninggi di ruang tamu yang sunyi. Wajahnya memerah, mata menyala nyala, penuh amarah dan kecewa.

Reza berdiri kaku, menatap dingin ke arah Mamanya. "Mama, aku sudah bilang, aku yang akan menentukan hidupku sendiri."

Mirna melangkah maju, menepuk meja dengan keras. "Menentukan hidup sendiri? Apa kamu lupa siapa yang membesarkan dan membiayai kamu? Siapa yang menjaga nama baik keluarga ini selama ini?"

"Aku tidak lupa, Mama."

Reza melepas jasnya, suaranya mulai gemetar. "Aku memilih Alya, bukan karena aku ingin melawan Mama, tapi karena aku mencintainya."

Mirna menertawakan dengan getir. "Alya? Gadis yatim piatu itu? Cucu seorang nenek tua yang tidak punya apa-apa? Apa Mama tidak cukup jelas selama ini? Pernikahan ini harus, untuk masa depan perusahaan, bukan sekadar cinta bodoh!"

Reza menatap lurus, penuh tekad. "Tapi aku sudah dewasa, Mama. Aku mau bahagia, bukan cuma memikirkan perusahaan."

Di sudut ruangan, Sarah berdiri membeku. Wajahnya penuh kecemasan, tapi diam tak berani angkat bicara.

Reza menoleh padanya sekejap, lalu kembali menatap mamanya. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu kalau cinta antara aku dan Alya bukan sesuatu yang bisa Mama hapus begitu saja."

Mirna menyipitkan mata, napasnya memburu. "Kalau begitu, kamu yang memilih jalanmu sendiri. Tapi jangan salahkan aku, kalau semuanya hancur."

Reza melangkah keluar, menutup pintu dengan pelan tapi pasti. Di luar, udara malam dingin menyergap. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergejolak.

Di balik jendela, bayangan Mirna menatap lurus ke arah Reza yang kini hilang dari pandangannya. Senyumnya kaku, penuh rencana yang belum selesai.

..

..

POV : (awal mula Alya, Reza, Sarah saling kenal)

Langit pagi itu mendung, tapi suasana Universitas Aruna tetap ramai. Mahasiswa hilir mudik dengan langkah cepat, sebagian membawa map tebal, sebagian lainnya sMamak dengan laptop atau kopi di tangan. Di salah satu aula, acara lomba debat Bahasa Mandarin sedang berlangsung, dan nama Alya kembali menggema sebagai peserta unggulan.

"Alya Wicaksana dari Fakultas Ilmu Sosial, silakan maju."

Tepuk tangan terdengar, sebagian tulus, sebagian setengah hati. Gadis itu melangkah mantap, wajahnya tenang meski di dalam dada degup jantungnya menggila. Debat hari ini adalah final, dan semua orang tahu siapa yang akan menang. Alya bukan hanya pintar bicara, tapi juga berpikir cepat, dan yang lebih penting ia menguasai bahasa Mandarin lebih fasih daripada sebagian dosen tamu.

Di deretan tamu kehormatan, duduk seorang pria paruh baya dengan jas mahal dan senyum tipis. Pak Burhan, pemilik yayasan Aruna, sekaligus ayah dari Sarah mahasiswi komunikasi yang dikenal cerdas, cantik, dan anak kesayangan kampus.

Namun hari itu, Pak Burhan tidak menoleh pada putrinya. Pandangannya hanya terpaku pada sosok Alya di atas panggung.

"Anak itu... terlalu bersinar," gumamnya pelan. "Terlalu menonjol."

Sarah melirik ayahnya. "Siapa?"

"Alya Wicaksana. Anak beasiswa. Dia bisa jadi lulusan terbaik kalau kamu tidak hati-hati."

Sarah terdiam. Ia bukan tipe yang cemburu atau takut disaingi, tapi jelas nada suara ayahnya bukan sekadar komentar akademis. Ada kecemasan di sana, campuran antara persaingan, kontrol, dan ego.

"Dekati dia," kata Pak Burhan tajam. "Jangan sampai saat wisuda nanti, semua mata melihat dia... bukan kamu."

..

..

Alya sedang membereskan map debatnya ketika suara lembut memanggilnya dari belakang.

"Hebat banget kamu tadi."

Alya menoleh. Seorang gadis dengan rambut kecoklatan dan senyum anggun berdiri di hadapannya. Ia mengenakan blouse branded, riasan tipis, dan aura 'anak sultan' yang terlalu mencolok bagi Alya.

"Kamu Sarah, kan?" tanya Alya canggung.

Sarah mengangguk. "Dan kamu Alya yang namanya disebut-sebut semua dosen. Papa juga sering cerita soal kamu."

Alya mengerutkan dahi. "Pak Burhan?"

"Yup. Dia suka perhatiin mahasiswa berprestasi. Dan kamu..." Sarah menatapnya dari ujung kepala sampai kaki, "nggak kelihatan seperti ancaman, tapi kamu bahaya juga, ya."

Ucapan itu terdengar seperti candaan, tapi ada nada terselubung di dalamnya yang membuat Alya tak sepenuhnya nyaman.

Sejak hari itu, Sarah mulai 'mendekati' Alya. Ia mengajaknya makan siang, duduk bareng di perpustakaan, bahkan menawarkan Alya tumpangan pulang meski mereka tinggal di arah berlawanan. Alya awalnya bingung kenapa tiba-tiba anak paling populer di kampus bersikap seakrab itu?

Tapi Sarah pandai memainkan perannya. Ia tahu kapan bicara, kapan mendengarkan, kapan tertawa, dan kapan berpura-pura kagum.

Yang tidak ia duga Alya ternyata bukan hanya pintar, tapi juga tulus.

"Jadi kamu tinggal sama nenek?" tanya Sarah suatu malam saat mereka duduk di taman kampus.

Alya mengangguk. "Nenek satu-satunya keluarga yang aku punya. Ayah meninggal waktu aku SD, Bundaku menyusul dua tahun lalu."

Ada keheningan sejenak.

"Maaf," kata Sarah. "Aku nggak tahu."

"Gak apa-apa," Alya tersenyum. "Aku sudah terbiasa. Hidup nggak selalu adil, tapi aku selalu percaya, kerja keras gak akan sia-sia."

Sarah mengangguk pelan. Semakin lama ia bersama Alya, semakin sulit ia membedakan mana yang murni misi dari ayahnya, dan mana yang lahir dari ketertarikan pribadi.

..

..

Reza Gabriel

Ia adalah putra tunggal dari konglomerat pemilik grup properti raksasa yang punya hubungan bisnis dekat dengan keluarga Burhan. Reza kuliah di fakultas bisnis, dan hampir tak pernah terlihat di kegiatan sosial kampus. Tapi ia muncul di acara diskusi lintas jurusan dan duduk tepat di depan Alya.

Setelah diskusi selesai, Reza menghampiri Alya. "Tadi kamu yang nanya soal strategi merger budaya di China, ya?"

Alya mengangguk. "Kebetulan topik skripsiku dekat dengan itu."

"Menarik." Reza tersenyum tipis. "Boleh ngobrol lain waktu? Aku suka cara kamu mikir."

Sarah yang melihat dari kejauhan, membeku. Ia mengenal tatapan Reza. Tatapan itu... bukan tatapan biasa.

Dan benar saja. Dalam beberapa minggu, Reza semakin sering terlihat bersama Alya. Di taman, di kafe kampus, bahkan sesekali mengantar Alya pulang. Sarah tak berkata apa-apa ia bukan tipikal perempuan posesif. Lagi pula, ia tahu perjodohan antara dirinya dan Reza lebih seperti kontrak bisnis daripada kisah cinta.

Namun ia juga tahu satu hal: Mama Reza, Bu Arini, tidak akan pernah menyetujui seorang Alya.

..

..

Sore itu, saat Reza dan Alya terlihat bersama di parkiran, Sarah hanya tersenyum tipis. Ia menghampiri Alya malam harinya.

"Kamu tahu, kan, siapa Reza sebenarnya?"

Alya terdiam. "Aku tahu. Tapi... aku gak pernah minta dia dekat sama aku."

"Dan aku gak pernah menghalangi." Sarah menatapnya lurus. "Tapi kamu harus siap kalau nanti dunia gak sebaik kamu kira."

Alya menarik napas panjang. "Aku gak takut sama dunia, Sarah. Aku cuma takut suatu hari aku lupa jadi diri sendiri, demi masuk ke dunia yang bahkan tidak pernah menginginkanku."

Sarah tak bisa menjawab.

Di dadanya, perasaan aneh mulai tumbuh-antara kagum, iri, dan... khawatir.

Karena untuk pertama kalinya, ia merasa... mungkin Reza memang mencintai Alya. Bukan karena rencana, bukan karena warisan, tapi karena sesuatu yang bahkan tidak bisa ia tawarkan: ketulusan.

Dan itu jauh lebih berbahaya dari sekadar kecerdasan akademik.

Salam penulis,

darkcom

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY