"Radit..." Tasya menaruh sendok dengan hati-hati ke piring.
"Hm?"
"Aku hamil."
Suara sendok Radit berhenti berdenting. Dia menoleh pelan, menatap mata istrinya untuk pertama kali malam itu. Wajahnya tidak menyimpan kegembiraan, juga tidak marah. Hanya bingung. Atau takut?
"Hamil?" ulangnya, seolah tak percaya telinganya.
Tasya mengangguk pelan. "Dua bulan."
Keheningan menyelimuti ruang makan itu. Bunyi jam dinding terdengar seperti detak bom waktu. Radit menatap istrinya lebih lama dari biasanya.
"Anak siapa?" tanyanya akhirnya.
Pertanyaan itu seperti cambuk. Namun Tasya tidak terkejut. Dia bahkan sudah menyiapkan jawabannya, tapi justru bungkam. Bibirnya tak bergerak, dan matanya mulai berkaca.
Dia tidak tahu.
Karena dua bulan lalu, malam hari sebelum ulang tahun pernikahan mereka yang keempat, dia mabuk. Dan malam itu, dia bersama Galvin. Tapi dua hari sebelumnya, secara tak sengaja, dia dan Radit tidur Bersama, satu-satunya malam dalam setahun di mana mereka tidak bertengkar dan benar-benar berbagi ranjang seperti suami istri sesungguhnya.
Tasya mencoba mengingat detail-detailnya. Tapi kepalanya hanya penuh kabut. Apakah ini karma karena mengkhianati pernikahan yang sejak awal pun tak pernah benar-benar utuh?
Radit berdiri perlahan. Tangannya meraih gelas air putih yang tersisa di atas meja. Dia meneguknya cepat, lalu menarik napas panjang.
"Jadi kamu nggak tahu siapa ayahnya," ucapnya, lebih sebagai kesimpulan daripada pertanyaan.
Tasya menunduk. Dadanya sesak, tapi dia tahu dia pantas disalahkan. Sama seperti Radit pantas dipertanyakan.
"Kalau kamu minta aku pergi, aku bisa keluar dari rumah ini malam ini juga," katanya, berusaha terdengar tenang.
Radit tertawa sinis. "Keluar ke mana? Ke rumah Galvin?"
"Dan kamu? Mau bawa Sheila masuk ke sini besok pagi?"
Satu detik, dua detik. Wajah Radit berubah tegang. Suara Tasya terlalu tenang untuk tuduhan sekeras itu.
"Aku nggak akan debat soal siapa lebih salah, Radit. Kita sama-sama salah dari awal," lanjut Tasya. "Kita ini dua orang asing yang dipaksa hidup serumah demi perusahaan orang tua kita. Dan sekarang... kita menuai hasilnya."
Radit berjalan menuju balkon, membuka pintu geser dan berdiri di ambang, membiarkan angin malam masuk. Jakarta di luar sana ramai, tapi di dalam sini hanya sunyi.
"Aku benci hidup seperti ini," gumam Radit.
Tasya menatap punggung suaminya. Dulu, dia pikir dia bisa menjalani pernikahan ini. Pura-pura bahagia, pura-pura mencintai. Tapi bertahun-tahun berpura-pura justru menghancurkannya perlahan.
"Aku juga," bisiknya. "Tapi sekarang ada nyawa di dalam tubuhku. Dan dia nggak minta dilahirkan dari hubungan seberantakan ini."
Radit menutup mata. Di satu sisi, dia ingin marah. Tapi kepada siapa? Kepada Tasya? Dirinya sendiri? Atau orang tua mereka yang menulis takdir mereka di atas selembar kontrak perjanjian merger perusahaan?
"Kalau memang harus diuji, kita tunggu sampai bayi lahir," ucapnya akhirnya, suara berat.
"Tes DNA. Setelah itu, kita tentukan semuanya."
Tasya mengangguk pelan. Entah lega, entah justru lebih takut dari sebelumnya.
"Tapi Radit..." katanya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kalau ternyata ini anakmu... kamu mau tetap jadi ayahnya? Maksudku... benar-benar jadi ayahnya?"
Radit terdiam lama.
"Entahlah," jawabnya lirih. "Aku bahkan nggak tahu gimana caranya jadi suami. Apalagi jadi ayah."
Kata-kata itu lebih menusuk daripada teriakan. Tasya mengusap perutnya. Masih datar. Tapi di sana ada kehidupan. Nyawa kecil yang tumbuh di tengah kekacauan, dan entah akan tumbuh dalam cinta... atau luka yang diwariskan.
Tasya berdiri, meninggalkan meja makan. Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama tapi saling membelakangi, seperti biasa.
Di luar jendela, lampu kota menyala. Dan di dalam kamar itu, satu rahasia baru saja membuka bab baru dalam hidup mereka.
Salam Penulis
darkcom