Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Istri Simpanan Itu Akan Menyesal
Istri Simpanan Itu Akan Menyesal

Istri Simpanan Itu Akan Menyesal

5.0

Nayla Azzura, perempuan cerdas dan memesona, menikah dengan Rafka Dirgantara, lelaki mapan yang tampak sempurna di mata semua orang. Mereka dikenal sebagai pasangan ideal-rumah tangga harmonis, senyum manis di setiap foto, dan kehidupan yang nyaris tanpa cela. Namun di balik citra itu, tersimpan rahasia yang menghancurkan: Rafka diam-diam memiliki "istri simpanan." Alih-alih meledak dan menuntut cerai, Nayla memilih jalan yang lebih tak terduga-membalas dendam dengan strategi licik, humor gelap, dan rencana-rencana nyeleneh yang bahkan tak akan terpikirkan oleh siapa pun. Tapi ketika Nayla mulai mendekat pada pria lain demi "operasi pembalasan," cinta lama yang retak itu justru menemukan bara api baru. Siapa sebenarnya yang lebih licik-Nayla, Rafka, atau... si istri simpanan?

Konten

Bab 1 mencabut semuanya

Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut ke dalam kamar tidur utama rumah bergaya minimalis di kawasan elit Jakarta Selatan. Tirai tipis bergoyang pelan tertiup angin dari jendela yang terbuka sedikit. Aroma kopi baru diseduh samar-samar menyeruak dari dapur, bersatu dengan wangi bunga segar yang selalu diletakkan Nayla di vas kristal dekat ranjang.

membuka mata perlahan. Ia menatap langit-langit putih bersih sambil menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan semangat yang berserakan seperti serpihan kaca. Dari luar, hidupnya tampak sempurna-istri dari seorang pengusaha muda yang sukses, tinggal di rumah besar, dan punya reputasi sosial yang mengilap. Namun, hanya Nayla yang tahu bahwa kesempurnaan itu hanyalah dekorasi panggung; di baliknya, ada kebohongan yang membusuk perlahan.

"Selamat pagi, Sayang," suara terdengar dari ambang pintu. Pria itu melangkah masuk, rapi dengan setelan kerja berwarna abu muda, dasi biru laut, dan senyum yang nyaris terlalu sempurna untuk bisa dipercaya. Ia membawa nampan kecil berisi secangkir kopi hitam dan roti panggang.

Nayla memaksakan diri tersenyum. "Pagi juga."

"Bangun jam segini, tumben. Biasanya kamu sudah keliling rumah sebelum aku mandi," goda Rafka ringan sambil meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidur. "Aku pikir istri cantikku ini mulai malas."

Nayla terkekeh pelan, walau tawanya hambar. "Sesekali boleh, kan."

Rafka mencium keningnya singkat, lalu melirik jam tangan. "Aku harus berangkat sekarang. Ada meeting penting jam delapan." Ia berdiri, merapikan jasnya di depan cermin, lalu menoleh sekali lagi. "Malam ini aku mungkin pulang agak larut. Jangan tunggu, ya."

"Seperti biasa," Nayla menjawab datar.

Pria itu tidak menyadari nada dingin dalam suaranya-atau pura-pura tidak peduli. Ia hanya tersenyum, lalu berjalan keluar dengan langkah tegap penuh percaya diri. Beberapa detik kemudian, suara mesin mobil sport kesayangannya meraung di garasi, lalu melesat menjauh.

Nayla menatap cangkir kopi itu lama. Wangi kopi favoritnya-Arabica dari Ethiopia-menyengat indra penciuman, tapi tidak membangkitkan selera. Tangannya gemetar halus ketika ia meraih ponsel di meja. Layar ponselnya menyala, menampilkan pesan yang sudah ia simpan selama seminggu terakhir, pesan yang mematahkan hatinya dan sekaligus membakar semangatnya.

**"Terima kasih untuk weekend yang indah. Aku sudah merindukanmu lagi. -R."**

Bersama pesan itu ada foto: Rafka sedang duduk di balkon sebuah vila pinggir pantai, bersandar santai dengan kemeja putih setengah terbuka, dan di belakang kamera, sebuah tangan perempuan terlihat menyodorkan segelas wine merah. Tangan dengan kuku dicat merah menyala.

Nayla menutup mata erat-erat. Masih ada bagian dari dirinya yang berharap pesan itu hanyalah kesalahan, bahwa mungkin itu editan atau jebakan. Tapi ia tahu itu bukan. Ia tahu persis vila itu-Rafka pernah menyebutkannya sebagai tempat "retret kerja" milik kolega. Ia juga tahu jam tangan hitam yang dikenakan pria itu dalam foto, jam hadiah ulang tahun dari dirinya tahun lalu. Tidak ada keraguan.

Suaminya berselingkuh.

Dan anehnya, setelah semua air mata yang ia keluarkan diam-diam di kamar mandi malam-malam, setelah dadanya nyeri dan kepalanya berdenyut karena menahan amarah, yang tersisa sekarang justru... ketenangan. Dingin. Seperti es yang membungkus nadi.

---

Hari itu, Nayla memilih tidak pergi ke butik desain interiornya. Ia duduk di ruang kerja pribadinya di lantai dua, menatap papan moodboard yang biasanya penuh potongan kain dan foto furnitur, kini berganti dengan peta kecil, catatan, dan beberapa nama yang ia tulis dengan spidol merah.

Di tengah papan itu: nama "Rafka Dirgantara" dengan lingkaran hitam pekat, dan di sampingnya, sebuah tanda tanya besar: "Dia."

Perempuan itu. Si istri simpanan.

Nayla belum tahu namanya. Belum tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau bagaimana ia bisa menyusup ke hidup mereka. Tapi ia tahu satu hal: perempuan itu ada, dan ia harus ditemukan.

Pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang perempuan muda berkacamata muncul dari balik pintu. "Mbak Nayla, saya bawakan jusnya," ucapnya. Ini ****, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Nayla di butik.

"Taruh saja di meja, Sinta. Terima kasih."

Sinta menatap papan moodboard itu sekilas, alisnya terangkat. "Lagi bikin konsep baru ya, Mbak?"

"Semacam itu," jawab Nayla singkat, lalu menambahkan, "Oh ya, nanti tolong atur supaya aku tidak ada janji temu sampai minggu depan. Aku butuh waktu sendiri."

Sinta mengangguk tanpa bertanya lebih jauh, lalu keluar lagi. Pintu tertutup, dan Nayla kembali menatap nama suaminya di papan. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum, lebih seperti tarikan benang yang nyaris putus.

Kalau Rafka pikir ia bisa menghancurkannya diam-diam, ia keliru besar.

---

Malamnya, rumah mereka diterangi cahaya hangat lampu gantung kristal. Meja makan sudah tertata sempurna, dengan lilin-lilin ramping dan vas mawar putih. Rafka baru pulang, menanggalkan jasnya di sandaran kursi, lalu duduk santai. Ia tampak lelah, tapi matanya berbinar saat melihat steak wagyu di hadapannya.

"Kamu memang istri terbaik di dunia," katanya sambil mengangkat gelas anggur.

Nayla ikut mengangkat gelasnya, meneguk sedikit anggur merah, lalu menatap suaminya dalam diam.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Rafka dengan tawa kecil.

"Tidak apa-apa," jawab Nayla, suaranya lembut. "Aku cuma... bersyukur masih punya kamu."

Kalimat itu meluncur begitu saja, mulus, manis-dan sepenuhnya bohong. Dalam hati, Nayla membayangkan melempar gelas itu ke wajahnya. Tapi tidak, belum. Masih terlalu dini. Permainan ini butuh kesabaran. Ia harus membuat Rafka merasa aman, sangat aman... sampai akhirnya ia menarik karpet dari bawah kakinya.

Setelah makan malam, Rafka langsung masuk ke ruang kerja, seperti biasa. Nayla naik ke kamarnya sendiri. Ia duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin.

Seorang perempuan cantik, elegan, tampak sempurna. Tapi matanya-mata itu penuh luka. Ia mendekatkan wajahnya ke cermin, lalu tersenyum tipis. "Kamu tidak akan menang, Rafka," bisiknya pada bayangan dirinya sendiri. "Aku akan membuatmu menyesal."

---

Hari-hari berikutnya, Nayla menjalankan hidup seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Ia masih memimpin rapat di butik, masih menghadiri acara sosial, masih tersenyum dalam setiap foto yang diunggah media gaya hidup. Tapi diam-diam, ia mulai menyusun "Operasi Pembalasan".

Langkah pertamanya: memata-matai.

Nayla menyewa jasa penyelidik swasta, seorang pria paruh baya bernama ****, yang dulu pernah membantu salah satu klien butik menangani kasus penipuan properti. Damar bukan detektif bersertifikat, tapi ia punya jaringan luas dan kemampuan membongkar rahasia orang lebih cepat daripada algoritma mesin pencari.

"Target saya suami saya sendiri," kata Nayla saat bertemu Damar di sebuah kafe tersembunyi di Kemang. Ia mengenakan kacamata hitam besar dan topi lebar, menyamarkan wajahnya. "Saya ingin tahu dengan siapa dia berselingkuh. Semua detail. Nama, alamat, pekerjaan, kebiasaan. Semuanya."

Damar mengangkat alis, tapi tidak bertanya. "Berapa lama saya punya waktu?"

"Secepat mungkin."

"Dan kalau sudah ketahuan?"

Nayla tersenyum dingin. "Itu urusan saya."

---

Sementara Damar bekerja di balik bayangan, Nayla mulai menjalankan bagian kedua dari rencananya: membangun "persona baru." Ia tahu, untuk membuat Rafka lengah, ia harus berubah-bukan menjadi istri yang curiga atau marah, tapi justru menjadi versi Nayla yang lebih memikat, lebih percaya diri, lebih tak terduga. Seolah hidupnya terlalu menyenangkan untuk sempat curiga.

Ia memotong rambutnya menjadi bob elegan, mengganti lemari pakaiannya dengan gaun-gaun bernuansa merah dan hitam yang lebih berani. Ia mulai menghadiri kelas tinju dan yoga panas, sesuatu yang selalu ia tunda. Ia bahkan mendaftar kursus melukis malam hari-bukan karena ingin menjadi pelukis, tapi karena di sanalah ia berencana menanam "umpan."

Karena di antara murid-murid di studio itu, ada seorang pria muda dengan tatapan tajam dan senyum nakal-****. Seorang fotografer seni kontemporer yang baru pulang dari Berlin, terkenal karena pameran fotonya yang provokatif. Dan yang lebih penting: ia tipe pria yang Rafka benci-bebas, bohemian, dan sangat menggoda.

Nayla memperhatikan Radya dari jauh selama beberapa pertemuan pertama. Pria itu selalu datang terlambat lima menit, membawa tas kamera lusuh, dan duduk di pojok ruangan sambil mencoret-coret sketsa sembarangan. Tapi setiap kali ia tersenyum, ada sesuatu yang liar di balik matanya. Seperti api kecil yang menari di udara tenang.

Suatu malam, saat kelas hampir usai, Nayla sengaja mendekat ke meja cat Radya. Ia menjatuhkan kuasnya, pura-pura tidak sengaja, dan kuas itu terguling ke arahnya.

"Oh-maaf," katanya sambil membungkuk mengambilnya.

"Tidak masalah," jawab Radya, suaranya serak ringan. "Kamu Nayla, kan?"

Nayla mengangkat alis. "Kok tahu?"

"Kamu satu-satunya yang selalu datang dengan heels ke kelas melukis." Senyumnya miring, nakal.

Nayla tertawa pelan. "Mungkin aku suka membuat kanvasku merasa inferior."

Itu pertama kalinya dalam berbulan-bulan ia tertawa bukan karena pura-pura. Dan di balik tawanya, terselip ide berbahaya: mungkin Radya bisa menjadi bagian dari rencana ini-atau setidaknya, alat untuk memercikkan api cemburu di dada Rafka.

---

Beberapa hari kemudian, Damar menghubunginya lewat pesan terenkripsi.

**"Target teridentifikasi. Kirimkan lokasi aman untuk bertemu."**

Jantung Nayla berdebar saat membaca itu. Ia membalas cepat, lalu duduk di kursi kerja menunggu detik-detik terasa seperti jam.

Satu jam kemudian, di sebuah ruang privat di hotel kecil yang biasa dipakai Nayla untuk rapat rahasia, Damar membuka map coklat di atas meja.

"Namanya ," kata Damar, menyodorkan beberapa foto. Seorang perempuan muda, mungkin awal dua puluhan, rambut panjang bergelombang, senyum menawan, dan mata tajam. "Model freelance, kadang jadi influencer. Mereka sudah bertemu hampir setahun. Rafka sewa apartemen untuknya di kawasan SCBD, bayar semua kebutuhannya."

Nayla menatap foto itu tanpa ekspresi. Perutnya terasa seperti dicekik tangan dingin, tapi wajahnya tetap tenang. "Ada hal lain?"

"Dia juga ikut ke Bali dua minggu lalu. Ini fotonya di vila yang sama dengan Tuan Rafka." Damar menyodorkan foto lain-foto yang nyaris identik dengan yang ada di ponsel Nayla, hanya kali ini wajah perempuan itu tampak jelas.

Nayla menarik napas pelan. Matanya menelusuri setiap detail wajah Laras-garis rahang, bibir, mata-seolah ingin mengukirnya dalam ingatan. "Terima kasih, Damar. Ini sangat membantu."

"Kalau saya boleh tanya..." Damar menatapnya hati-hati. "Ibu mau melaporkannya?"

Nayla tersenyum samar, dingin. "Tidak. Saya mau menghancurkannya."

---

Malam itu, Nayla duduk di balkon rumahnya seorang diri. Kota Jakarta berkilauan di bawah langit gelap, lampu-lampu gedung menciptakan ilusi bintang. Angin malam menyibakkan rambut pendek barunya. Ia memegang segelas wine, menatap kosong ke kejauhan.

Di dalam rumah, Rafka tertawa kecil di telepon-suara yang hanya ia keluarkan saat bicara dengan orang yang membuatnya bahagia. Nayla tidak perlu mendengar kata-katanya untuk tahu kepada siapa tawa itu ditujukan.

Ia meneguk wine-nya perlahan, lalu meletakkannya. Matanya berkilat.

Ini baru permulaan.

Ia akan membuat Rafka mencintainya kembali, tergila-gila lagi seperti dulu-dan tepat saat pria itu merasa Nayla sepenuhnya miliknya, ia akan mencabut semuanya, menghancurkan egonya, membuatnya kehilangan segalanya. Dan mungkin... hanya mungkin... ia akan membuat Laras saling mencakar dengan Rafka, sampai keduanya saling menghancurkan.

Untuk sekarang, Nayla hanya tersenyum.

Permainan telah dimulai.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY