-lampu taman menyala lembut, memantulkan cahaya ke permukaan kolam kecil di samping teras. Di balik dinding k
us lapisan-lapisan tembok tak terlihat. "Aku tahu akhir-akhir ini aku...
garpu perlahan, lalu menegu
" lanjut Rafka, seolah menawar. "Dan akhir pekan nanti... ba
inya, yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini justru hanya menghadirkan gema kepalsuan. Senyum ya
diri, merapikan serbetnya. "Aku harus me
enahan diri. Ia hanya mengangguk, menatap punggung Nayl
-
parkir di pinggir jalan, hanya diterangi lampu-lampu jal
utuh alasan buat keluar d
t bibir, lalu
im ala
Jika ia mulai berpikir, ia mungkin akan mu
-
t minyak dan musik jazz lembut dari speaker kecil. Radya membuka pintu dengan senyum separ
atanya seolah ma
udara," b
nding, beberapa setengah jadi, penuh guratan liar warna merah dan biru. Di sudut ada sofa usang
i?" tanya Nayla sambil men
rja," jawab Radya. "Aku cuma b
merah tanpa bertanya. Nayla menerimanya, menyesap pelan. Keheningan di antara m
amu suka seni," u
bur dari rumah," sahut Radya, menatapn
an. "Anggap saja.
l?" Radya men
ntuk dirik
nggurnya. "Kamu terlihat... bebas malam ini. Sep
m gelas. Ia tahu ia sedang bermain api. Tapi api inilah yang membak
-
kutnya menjadi
, bahkan sesekali memasak makan malam. Pria itu seolah berubah menjadi versi dirinya yang dulu: penuh perhatian, romantis, seolah mereka seda
t celah kecil terbuka-Nay
elukis dengan tubuh setengah telanjang, peluh membasahi garis punggungnya. Kadang mereka minum,
iku?" tanya Nayla suatu malam, suara nyar
lanjutkan goresannya di kanvas. "K
pelan. "Jawab
Radya, menoleh, mat
setelah ia pulang. **Jujur.** Sesuatu yang
-
tu, Rafka s
enandung kecil saat berdandan, melihatnya menatap kosong dengan mata yang ber
at mereka sarapan di teras. "Kamu
melengkung kecil. "Baran
oti panggangnya dengan susah payah, mencoba ikut tersenyum. Ia tida
ka, Rafka merasa takut. Takut kehilangan s
-
ar tidur mereka dipenuhi kelopak mawar. Lilin menyala lembut, dan di tengah ranjan
g ranjang, wajahnya t
nya pelan. "Karena
natap liontin itu. Cantik
katanya akhirnya
meletakkan liontin itu pelan, l
ebelum akhirnya ikut berbaring. Mereka tidur dalam diam
ersembunyi di bawah bantal,
in kamu lihat lukisan yang ak
ata, bibirnya m
asih jauh d
nya dalam bertahun-tah
ati yang sedang tak menentu. Ia duduk di ruang kerjanya, jas masih tergantung di sandaran kursi, dasinya longgar. Sejak tadi malam ia nyaris
gin dan acuh belakangan ini. Tatapannya kosong, suaranya datar, seolah Nayla telah
a sesuatu
nci tidak
rumah mereka-kebiasaan lama yang Nayla tampaknya lupa. Ia menemukan banyak acara sosial yang tidak te
i sebuah peluncuran buku, Nayla di rooftop lounge. Dalam satu foto yang nyaris tak terlihat jelas, Rafka melihat siluet pria berdiri agak dekat di belakan
erti disiram bens
Tentu
anan pribadinya, seorang pria paru
Nona Nayla," ucap Rafka pelan, tapi nadanya tajam. "Tempat y
ak ragu. "
ya," potong Rafka. "Kamu han
utup mata. Ia tidak percaya ia sampai di titik ini-memata-matai istrinya
akkan amplop coklat di atas meja kerja Rafka tanpa sepatah
i Kemang. Malam hari. Sendiri. Dan dua jam kemudian, keluar dari studio itu... masih sendiri, tapi rambutnya sudah diu
n Radya berdiri di balkon studio itu, merokok, m
berdesi
ncari sesuatu-apa saja-yang bisa menghubungkan Nayla ke Radya. Setelah beberapa menit membongkar tumpukan majalah d
si malam-malam
Inisial itu membuat p
i meja, sebotol anggur favorit mereka, dan playlist lagu-lagu lama mereka yang dulu sering mereka dengarkan
a sebentar," ucapn
gan alis sedikit terangkat, l
tkan... bahwa kita ma
cari jejak rasa bersalah, atau keraguan... tapi yang ia temukan justru kehampaa
yum yang ia paks
tama dari sesuatu yang bisa
an suara lembut radio klasik mengisi ruang makan yang terang tapi dingin. duduk bersandar di kursi, mengenakan kimono satin abu
urna meski ini hari Minggu. Ia menatap Nayla beberapa detik-menatap seperti
n... segar," k
um ketemu manusia," jawab Na
benar-benar membaca. Ia hanya duduk diam beberapa menit, membi
mudian, nada suaranya santai, seperti sekadar pengama
mata perlahan, me
jut Rafka, masih tersenyum
bertanya," balas Nay
etakkan korannya, bersandar ke
iasanya kamu
a di air bening. Nayla merasakan detak jantungnya melambun
-orang yang sebenarnya kamu akan
k ?" tan
dara seperti pecahan kaca. Mata Nayla nyaris membelalak, tap
bertemu," katany
orang." Rafka menyuap roti panggang, matanya tidak
pura geli. "Kamu mulai ked
atanya dingin. "Mungkin aku mema
terlihat. Rafka menjadi penonton yang terlalu fokus, terlalu diam. Setiap kali ia pulang dari luar, Rafk
i ma
ran s
an si
. Sepert
elucon ringan, kadang hanya tatapan yang menelusuri wajah Nayla terla
kata, setiap jeda napas. Satu kesalahan kecil bisa m
pat favorit mereka-restoran di lantai atas hotel, dengan pemandangan kota yang berkilau sepe
ota di bawah mereka lalu kembali ke mata Nayla. "Mungkin aku te
ya perlahan. "Dan s
ut kehil
ngulurkan tangan, memaafkan, melupakan. Tapi sekarang... ada Radya. Ada Operasi Pembalasan. Ada luka
la akhirnya, senyumnya tipis. "Selama ka
ega. Itu rasa menang karena ia pikir Nayla masih menggengga
alu lama. Seperti seseorang yang sedang menghafal rasa sebelum kehilangan
han napas, lalu mengambil ponsel dar
u punya lukisan baru. T
meng
api hanya
ngnya terasa seperti tali tipis di atas jurang-dan ia berjalan di atasnya dengan sepatu
tidak bol
lu

GOOGLE PLAY