Pintu depan tiba-tiba terbuka. Suara langkah sepatu bergema. Seorang pria tinggi dengan jas yang masih melekat di tubuhnya masuk dengan wajah tanpa ekspresi.
"Sudah larut," ucap Arunika pelan, hampir tanpa suara.
Davin Albrecht tidak langsung menjawab. Ia melepas jasnya, menggantung di dekat pintu, lalu berjalan melewati Arunika tanpa menoleh. Bau parfum asing yang samar tercium saat ia lewat, menusuk indera Arunika dengan getir yang sulit dijelaskan.
"Papa!" suara riang terdengar dari tangga. Mireya, gadis kecil berusia lima tahun, berlari turun dengan piyama bergambar kelinci. Matanya berbinar, seakan baru saja mendapat hadiah besar hanya karena ayahnya pulang.
Davin berhenti. Senyum tipis, jarang sekali muncul, terbit di wajahnya. Ia berjongkok, meraih Mireya dalam pelukan. "Sayang, sudah tidur?" tanyanya.
"Aku tunggu Papa pulang. Mama bilang Papa sibuk, tapi aku ingin kasih lihat gambaranku." Mireya menunjukkan kertas berwarna yang digenggamnya erat.
Arunika hanya bisa memperhatikan dari jauh. Senyum Mireya, tawa kecilnya, dan pelukan erat itu bukan untuknya. Hatinya menghangat sekaligus perih.
Davin menatap gambar itu. "Indah sekali. Kamu memang pintar."
Mireya tertawa kecil. "Aku gambar Papa, Mama, dan aku. Lihat, di sini kita bertiga pegang tangan."
Arunika menelan ludah. Dadanya terasa sesak mendengar kalimat sederhana itu. Gambar keluarga kecil yang tampak sempurna, meski kenyataan begitu jauh dari itu.
"Cantik sekali." Davin mengacak lembut rambut putrinya. "Sekarang, waktunya tidur. Papa antar, ya?"
"Boleh, Papa!" Mireya melompat kegirangan.
Arunika ingin ikut bicara, ingin mengatakan bahwa ia yang seharusnya menemani anaknya tidur. Tapi tatapan dingin Davin saat ia hendak membuka mulut membuatnya mengurungkan niat. Ia hanya duduk diam, memeluk cangkir kosong yang sejak tadi tidak berguna.
Langkah kaki mereka berdua naik ke lantai atas, meninggalkan Arunika sendirian di ruang tamu. Hanya dentuman hujan yang kembali mengisi ruang.
Beberapa menit kemudian, Davin turun lagi. Wajahnya datar, dingin, seolah senyum tadi hanyalah topeng untuk putri mereka.
"Kamu belum tidur?" suaranya terdengar datar, nyaris seperti pertanyaan basa-basi.
Arunika menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela. "Tidak bisa tidur."
Davin duduk di sofa seberang, mengambil tablet dari tasnya, langsung menatap layar. Tidak ada kelanjutan obrolan. Tidak ada pertanyaan lebih jauh.
Arunika menghela napas. "Kamu makan?"
"Sudah." Jawaban singkat.
"Dengan siapa?" Pertanyaan itu lolos begitu saja, meski ia tahu risikonya.
Tatapan Davin terangkat dari layar. Mata abu-abunya menusuk, dingin, penuh peringatan. "Apa gunanya kamu tahu?"
Arunika terdiam. Lidahnya kelu. Ia ingin marah, ingin menuntut, ingin menjerit bahwa ia tahu ada wanita lain bernama Selina yang kini menjadi bagian hidup Davin. Tapi ia menahan diri. Sudah terlalu sering ia melawan, dan hasilnya hanya luka baru.
"Aku hanya... khawatir," jawabnya pelan.
Davin tidak menanggapi. Ia kembali menatap layar, seolah Arunika hanyalah bayangan tak berarti.
Arunika menunduk. Tangannya gemetar memegang cangkir. Ia ingin sekali menanyakan apa Selina lebih baik darinya, apa Selina yang mampu membuat Davin tersenyum dengan tulus. Tapi suara itu terjebak di tenggorokan.
Keesokan paginya, rumah kembali sunyi. Davin berangkat lebih awal, seperti biasa. Mireya masih tertidur pulas, memeluk boneka kelinci kesayangannya.
Arunika berdiri di dapur, menyiapkan sarapan yang ia tahu tidak akan disentuh suaminya. Ia melakukannya bukan karena berharap Davin akan berubah pikiran, tapi lebih sebagai rutinitas yang sudah mendarah daging.
Saat ia tengah menuangkan susu untuk Mireya, telepon rumah berdering. Arunika mengangkat.
"Halo?"
"Arunika? Ini Clara."
Hatinya langsung terhentak. Nama itu seperti pisau. Clara Selina-wanita yang selama ini hanya ia dengar lewat bisik-bisik dan kabar samar, kini menyebut namanya secara langsung.
"Kenapa meneleponku?" suara Arunika bergetar.
"Aku hanya ingin bicara baik-baik. Tentang Davin."
Arunika menggenggam gagang telepon lebih erat. "Aku tidak perlu mendengar apa pun darimu."
"Tapi kamu harus tahu," suara Selina terdengar tenang, terlalu tenang. "Dia mencintaiku."
Arunika memejamkan mata. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Kata-kata itu seperti racun yang meresap dalam darahnya.
"Jangan hubungi aku lagi," ucapnya, lalu menutup telepon dengan tangan gemetar.
Tubuhnya bersandar pada dinding dapur. Napasnya berat, seperti baru saja kehilangan udara. Ia ingin berteriak, tapi yang keluar hanyalah isakan tertahan.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti bayangan. Davin semakin jarang pulang tepat waktu. Saat pulang pun, perhatiannya hanya untuk Mireya. Arunika merasa posisinya di rumah ini semakin menghilang.
Malam itu, saat Davin baru saja tiba, Arunika memberanikan diri bicara.
"Kita bisa bicara sebentar?" suaranya pelan.
"Besok. Aku lelah." Davin menanggalkan jas, berjalan ke arah tangga.
"Davin!" suara Arunika meninggi, untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Pria itu berhenti, menoleh dengan sorot tajam. "Apa?"
"Apa kamu masih ingin pernikahan ini? Atau kamu hanya menunggu aku yang menyerah?"
Keheningan panjang menyusul. Davin menatapnya lama, lalu berkata, "Kalau kamu mau pergi, pintunya selalu terbuka."
Arunika terdiam. Dadanya seperti diremas. Bukan hanya dingin, tapi juga kejam.
"Kalau bukan karena Mireya..." Davin menggantung kalimatnya, lalu berbalik naik ke atas.
Arunika berdiri mematung. Air matanya jatuh begitu saja. Ternyata, ia benar-benar hanyalah bayangan yang dipertahankan demi anak.
Malam itu, Arunika duduk di kamar Mireya, memandang putrinya yang tertidur pulas. Gadis kecil itu tersenyum dalam tidurnya, seperti tidak ada dunia yang lebih indah dari mimpinya.
Arunika mengusap rambut Mireya, membisikkan, "Mama akan selalu ada di sini. Untukmu. Apa pun yang terjadi."
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya: sampai kapan ia bisa bertahan? Sampai kapan ia bisa pura-pura kuat, sementara hatinya hancur sedikit demi sedikit?
Dan justru di saat itu, di tengah keputusasaan, sebuah perasaan asing muncul. Ia sadar-di balik semua kebekuan ini, Davin belum benar-benar melepasnya. Ia masih bertahan, entah dengan alasan apa.
Dan itulah yang paling menyakitkan. Karena jika Davin benar-benar ingin pergi, mungkin rasa sakitnya tidak akan serumit ini.