Sejak usia dua tahun, Alya sudah yatim piatu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan di jalan raya ketika dalam perjalanan pulang dari pasar. Sejak saat itu, neneknyalah yang mengasuhnya. Sang nenek, yang kini sudah renta dan sering sakit-sakitan, hanya bisa menghidupi mereka berdua dari hasil menenun kain dan sedikit uang kiriman dari sanak saudara yang tidak seberapa.
Karena keterbatasan biaya, Alya hanya bisa sekolah sampai SMP. Setelah itu, ia membantu neneknya mengurus rumah, menenun, dan sesekali membantu tetangga. Namun Alya selalu punya keinginan besar: ingin keluar dari lingkaran kemiskinan, ingin mengubah nasib agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk neneknya.
Sore itu, Alya menggenggam selembar kertas lusuh-pengumuman lowongan pekerjaan di kota.
"Alya, kau masih menatap kertas itu lagi?" suara serak neneknya terdengar dari dalam rumah.
Alya menoleh. "Iya, Nek. Alya cuma... sedang berpikir. Apa sebaiknya Alya mencoba ke kota? Di sini pekerjaan tidak ada, sedangkan nenek semakin sering sakit. Kalau Alya hanya di desa, sampai kapan pun hidup kita akan begini-begini saja."
Nenek keluar dengan langkah pelan, tongkat kayu di tangannya terdengar mengetuk lantai papan. Wajahnya penuh keriput, tapi tatapan matanya lembut. Ia duduk di sebelah Alya, menatap cucunya yang selama ini menjadi alasan ia bertahan hidup.
"Nek tahu kau punya mimpi besar, Nak. Tapi kota itu tidak selalu seindah yang kau bayangkan. Banyak orang jahat di sana. Nenek takut kalau kau nanti malah disakiti," ucap nenek dengan suara lirih.
Alya menggenggam tangan neneknya. "Alya tahu, Nek. Tapi kalau Alya diam saja di sini, bagaimana kita bisa bertahan? Uang untuk beli obat nenek saja sering tidak cukup. Alya ingin coba, Nek. Mungkin dengan bekerja di kota, Alya bisa kirim uang lebih banyak. Bisa bawa nenek berobat ke rumah sakit yang lebih baik."
Nenek menghela napas panjang. Air mata hampir menetes di sudut matanya. Ia tahu cucunya benar, tapi hatinya tidak rela melepas Alya yang selama ini menjadi teman hidupnya.
"Kalau itu yang kau pilih, Nenek hanya bisa mendoakan. Pergilah dengan hati-hati, jangan mudah percaya pada orang. Dan jangan lupakan rumah ini, karena di sinilah tempatmu pulang."
Alya memeluk neneknya erat. "Alya janji, Nek. Alya akan baik-baik saja."
Keesokan harinya, Alya bangun lebih pagi dari biasanya. Ia sudah mengemasi beberapa helai pakaian, menyimpannya dalam tas usang peninggalan almarhum ibunya. Dengan bekal seadanya, ia berangkat menuju kota. Perjalanan ditempuh dengan naik bus tua yang berderit setiap kali melewati jalan rusak.
Alya duduk di dekat jendela, menatap sawah-sawah yang perlahan berganti dengan bangunan-bangunan tinggi. Hatinya berdebar, antara takut dan bersemangat.
"Semoga ini jalan terbaik," gumamnya dalam hati.
Setibanya di terminal kota, suasana ramai membuatnya sedikit panik. Orang-orang berlalu lalang, sebagian menawarkan jasa angkut barang, sebagian lagi menjajakan dagangan. Alya menggenggam erat tasnya, takut akan copet yang sering ia dengar dari cerita orang.
Ia melangkah pelan, mencari alamat yang tertera di brosur lowongan kerja yang ia dapat. Tulisan itu menyebutkan bahwa ada seorang ibu bernama Ratna yang mencari asisten rumah tangga. Alamatnya berada di kawasan perumahan mewah yang cukup jauh dari terminal.
Alya pun memberanikan diri bertanya kepada tukang ojek pangkalan.
"Permisi, Bang. Apa tahu jalan ke perumahan Permata Indah?" tanyanya sopan.
Si tukang ojek mengangguk. "Tahu. Mau ke sana, Dek?"
"Iya, Bang. Berapa ongkosnya?"
"Tergantung, kalau masuk sampai ke dalam komplek, ya agak mahal. Dua puluh ribu, gimana?"
Alya menghitung uangnya yang terbatas, tapi ia sadar tidak ada pilihan lain. "Baik, Bang."
Sesampainya di perumahan mewah itu, Alya terpana. Rumah-rumahnya besar, pagar tinggi, dan halaman luas. Jauh berbeda dengan rumah panggungnya di desa. Ia merasa canggung, seolah dirinya tidak pantas berada di lingkungan ini.
Namun langkahnya terhenti di depan sebuah rumah bercat putih dengan pagar besi hitam elegan. Ia melihat papan kecil di depan gerbang bertuliskan Keluarga Ratna. Hatinya berdegup lebih kencang.
Dengan sedikit ragu, ia menekan bel.
Tak lama, seorang perempuan paruh baya keluar. Wajahnya teduh, berkerudung sederhana, namun berwibawa. Ia menatap Alya dari ujung kepala hingga kaki.
"Ya, ada perlu apa, Nak?" tanyanya ramah.
Alya menunduk sopan. "Permisi, Bu. Saya Alya. Saya membaca pengumuman lowongan kerja Ibu, untuk asisten rumah tangga. Kalau masih ada kesempatan, saya ingin melamar."
Wanita itu tersenyum tipis. "Masuklah dulu, Nak. Kita bicara di dalam."
Ruang tamu rumah itu begitu megah. Sofa empuk, karpet tebal, hiasan dinding yang mahal. Alya duduk kaku, sementara Ibu Ratna menatapnya penuh penilaian.
"Berapa usiamu, Nak?"
"Sebentar lagi sembilan belas, Bu."
"Orang tua?"
Alya menunduk, suaranya melemah. "Saya yatim piatu, Bu. Sejak kecil tinggal dengan nenek. Beliau sudah tua dan sering sakit. Itulah alasan saya ingin bekerja."
Tatapan Ibu Ratna melembut. "Kau terlihat jujur. Baiklah, kalau begitu, mulai besok kau bisa bekerja di sini. Pekerjaannya tidak sulit. Kau akan membantu mengurus rumah, memasak, dan menyiapkan kebutuhan sehari-hari. Gajimu akan saya bayar setiap bulan. Kau juga bisa tinggal di sini."
Mata Alya berbinar. "Terima kasih banyak, Bu. Saya janji akan bekerja sebaik-baiknya."
Ibu Ratna tersenyum. "Aku percaya kau akan melakukannya dengan baik."
Hari-hari pertama bekerja di rumah itu berjalan lancar. Alya belajar banyak hal baru, mulai dari memasak hidangan modern, membersihkan rumah besar, hingga melayani tamu. Meski lelah, ia selalu ingat wajah neneknya yang menunggu di desa. Setiap kali menerima gaji, ia langsung mengirim sebagian besar uangnya untuk biaya obat dan kebutuhan nenek.
Ibu Ratna memperlakukan Alya dengan baik, layaknya anak sendiri. Alya merasa hidupnya perlahan berubah lebih baik.
Namun, kebahagiaan itu hanya sementara.
Suatu sore, ketika Alya sedang menyapu halaman, sebuah mobil hitam mewah memasuki pekarangan rumah. Dari dalam keluar seorang pria muda tinggi tegap dengan wajah tampan namun tatapannya dingin. Ia mengenakan kemeja rapi, jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya.
Ibu Ratna keluar menyambut dengan gembira. "Arka! Anakku, akhirnya kau pulang juga!"
Alya tertegun. Jadi inikah putra sulung Ibu Ratna? Namanya Arka.
Arka hanya tersenyum tipis lalu memeluk ibunya sebentar. Tatapannya kemudian jatuh pada Alya, yang berdiri kikuk sambil menunduk. Ada sorot aneh di matanya-seakan sedang menilai, sekaligus meremehkan.
"Siapa dia, Bu?" tanya Arka dengan nada datar.
"Oh, ini Alya. Dia yang membantu Ibu di rumah sejak beberapa bulan lalu. Anak baik, rajin, dan sopan."
Arka hanya mengangguk singkat, lalu masuk ke dalam rumah tanpa banyak bicara. Namun tatapan terakhirnya pada Alya membuat gadis itu merinding.
Hatinya tiba-tiba diliputi firasat buruk.
Malam itu, ketika semua orang sudah tidur, Alya duduk di ranjang kecil di kamar pelayan. Ia masih memikirkan tatapan Arka sore tadi. Ada sesuatu dalam sorot mata itu yang membuatnya tidak tenang.
"Apa mungkin cuma perasaanku saja?" gumamnya pelan.
Namun, jauh di lubuk hati, ia tahu kedatangan Arka akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Perubahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya-dan bukan perubahan yang ia harapkan.