Namun, di balik semua kemewahan itu, Adikara menyimpan luka yang tak seorang pun tahu. Satu kebenaran pahit baru saja diungkapkan kepadanya. Setelah serangkaian tes medis, dokter menatapnya dengan wajah serius. "Pak Adikara... saya tidak bisa berbohong. Anda mengalami kondisi yang membuat Anda tidak bisa memiliki anak."
Dunia Adikara seolah runtuh dalam hitungan detik. Kata-kata itu berulang di kepalanya, menghantui setiap denyut nadinya. "Tidak bisa... memiliki anak..." Ia menatap tangannya sendiri, seolah ingin memastikan bahwa dirinya masih nyata, bahwa kenyataan itu hanyalah mimpi buruk yang bisa ia bangunkan. Tapi kenyataan tidak bisa dimungkiri.
Adikara menutup matanya, mencoba menenangkan dirinya. Ia merasa seluruh dunia berputar terlalu cepat, menelannya dalam pusaran kekalutan yang tak berujung. Semua rencana masa depan, semua mimpi tentang memiliki keluarga kecil yang bahagia, kini sirna. Hatinya membeku oleh rasa frustrasi dan kemarahan yang ia sendiri tidak bisa kendalikan.
Hari-hari berikutnya, Adikara mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan hampa itu semakin dalam. Dalam keputusasaan, ia mengambil jalan yang salah: menyalurkan amarah dan rasa sakitnya melalui hubungan singkat dengan wanita-wanita cantik dari lingkaran sosialnya. Ia tidak mencari cinta, hanya pelampiasan sementara untuk menutupi kehampaan yang menyesakkan dada.
Suatu malam, di sebuah acara glamor yang dihadiri oleh para elite sosial, ia bertemu dengan Alara. Gadis itu baru berusia sembilan belas tahun, wajahnya masih polos, namun aura percaya dirinya membuat siapa pun yang melihatnya sulit berpaling. Alara tengah meniti karier sebagai model, dan malam itu ia hadir untuk pemotretan promosi sebuah merek ternama.
Adikara melihatnya dari kejauhan, tertarik oleh kecantikan alami yang tak dibuat-buat. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu; tidak seperti wanita lain yang sudah terbiasa dengan sorotan kamera dan perhatian pria kaya. Alara tampak tulus, sederhana, dan justru itu yang membuat Adikara penasaran.
Ia mendekatinya dengan langkah pasti, senyum tipis terukir di wajahnya. "Kau baru di sini?" tanyanya, suaranya dalam dan menenangkan.
Alara menatapnya sejenak, merasa ada sesuatu yang menekan di dadanya saat bertemu pria itu. Ada aura yang kuat, sulit dijelaskan, namun ia tidak mundur. "Ya... baru kali ini. Aku datang untuk sesi pemotretan."
Adikara tersenyum, mendekat sedikit lagi, merasa tergoda oleh keberanian gadis itu. "Aku Adikara. Mungkin kau bisa menganggapku teman di acara ini."
Alara mengangguk, tersenyum malu. Tapi di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk antara kagum dan waspada. Ia tahu pria di depannya ini bukan orang biasa. Semua orang di lingkaran bisnis dan politik sudah mengenal nama Adikara; ia bahkan bos dari ayahnya sendiri, yang selama ini mendukung karier Alara.
Malam itu, percakapan mereka berlangsung hangat. Adikara menemukan kesenangan yang aneh dalam interaksi sederhana itu, dan Alara, tanpa disadari, mulai merasa nyaman dengan kehadiran pria dewasa yang memancarkan aura dominan itu.
Beberapa minggu kemudian, situasi mulai berkembang. Dalam satu kesempatan yang tak terduga, mereka berdua terjebak dalam malam yang salah. Minuman yang terlalu banyak, suasana yang terlalu dekat, dan keinginan Adikara untuk melupakan kenyataan pahitnya membuat batas-batas moralnya runtuh. Tanpa disadari, Alara menyerahkan diri pada Adikara.
Keesokan harinya, dunia mereka berubah. Adikara terbangun dengan kepala berat dan hati yang hancur. Ia menatap Alara yang tertidur di sampingnya, merasa campuran antara penyesalan dan ketertarikan yang tak bisa ia kendalikan. Selisih usia mereka-lima belas tahun-menjadi kenyataan yang sulit diabaikan. Dan lebih dari itu, Alara adalah anak dari bawahannya sendiri.
Sementara itu, Alara pun terbangun dengan perasaan kacau. Apa yang terjadi semalam tidak bisa ia hapus dari ingatan. Ia merasa bersalah, bingung, tapi juga tidak bisa menolak perasaan aneh yang muncul saat berada dekat Adikara. Namun satu hal yang jelas di benaknya: malam itu akan mengubah hidupnya selamanya.
Waktu berjalan, dan kehidupan Adikara yang biasanya penuh kendali mulai terasa rapuh. Suatu pagi, selembar hasil tes kehamilan jatuh di meja Alara. Hatinya berdebar, tangan gemetar saat membaca angka yang membuktikan kenyataan tak terduga: ia hamil. Dunia Alara runtuh dalam sekejap, tapi di saat bersamaan, ada satu hal yang menguatkan hatinya-keputusan untuk menuntut tanggung jawab Adikara.
Dengan keberanian yang muncul dari ketidakpastian, Alara menemui Adikara. Tatapan mereka bertemu, dan ada ketegangan yang membakar udara di antara mereka. Adikara, yang biasanya menguasai segalanya, kini terdiam. Dunia yang ia kendalikan selama ini tidak mampu menahan gelombang realitas yang menimpa dirinya.
"Alara... ini... aku..." Adikara mulai, suaranya serak, tapi ia tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Alara menatapnya lurus. "Aku hamil, Adikara. Dan ini adalah tanggung jawabmu." Suaranya tegas, namun ada gemetar tipis yang memperlihatkan ketakutan dan kekhawatiran yang ia pendam selama ini.
Hening. Kedua dunia mereka bertabrakan dalam satu ruang yang sempit. Kekuasaan, ego, dan rahasia Adikara bertabrakan dengan keberanian, kepolosan, dan masa depan Alara.
Apakah Adikara akan menelan ego dan menerima tanggung jawab? Atau akankah ia menolak mentah-mentah, menambah luka dan skandal yang bisa menghancurkan hidup gadis itu?
Pertanyaan itu menggantung di udara, menunggu jawaban yang tak seorang pun bisa pastikan.
Dan begitulah, babak pertama dari kisah mereka dimulai-kisah tentang kesalahan, penyesalan, kekuasaan, dan sebuah takdir yang tak bisa dihindari.