Pada hari mereka berencana membiusku agar bisa merayakan ulang tahun putra mereka, aku menandatangani surat pelepasan seluruh harta keluarga, mengajukan gugatan cerai, dan menghilang.
Bab 1
SUDUT PANDANG KIRANA:
Di tahun kelima pernikahanku, di sebuah lelang ternak, aku melihat selingkuhan suamiku-seorang wanita yang semua orang yakini sudah meninggal lima tahun lalu.
Dia berdiri tepat di seberang kandang lelang, seorang anak laki-laki berambut pirang di pelukannya, tangannya yang lain bertaut mesra dengan tangan suamiku, Bima.
Namanya Maya. Sepupuku. Lima tahun lalu, dia mencoba membunuhku dengan merancang sebuah amuk kerbau. Ketika rencananya gagal, dia dikabarkan bunuh diri karena rasa bersalah.
Setidaknya, itulah yang mereka katakan padaku.
Suara juru lelang yang monoton, lenguhan sapi, dan gumaman kerumunan-semuanya lenyap seolah ada sakelar yang dimatikan. Duniaku seakan menyusut menjadi satu gambaran yang membakar jiwa: mereka bertiga, tampak seperti keluarga normal yang bahagia, bermandikan terik matahari sore di padang sabana Sumba.
Aku menyusut di balik pilar kayu penyangga yang besar, rasa dingin yang mengerikan merayap di tulang punggungku.
Suara Maya yang manis terdengar, sarat dengan keangkuhan yang bahkan tidak coba ia sembunyikan. "Sayang, aku benar-benar tidak tahu harus berterima kasih seperti apa lagi. Kamu dan Eyang Dewi. Kalau bukan karena kalian berdua, aku mungkin sudah membusuk di penjara sekarang."
Eyang Dewi... nenekku. Pemimpin Peternakan Cendana Hitam.
Sebuah tangan sedingin es mencengkeram jantungku, meremasnya hingga aku tidak bisa bernapas.
Suara Bima yang rendah dan lembut menyusul-suara yang dulu sangat kucintai. "Jangan konyol. Dengan keadaan saat itu, Eyang terpaksa menghancurkan semua bukti. Hanya itu satu-satunya cara. Menurutmu kenapa Eyang membelikanmu peternakan di sebelah? Supaya kita bisa bertemu."
"Aku tetap merasa kasihan pada Kirana," kata Maya, nadanya penuh simpati palsu. "Membuatmu tetap menikahinya selama lima tahun. Kamu sudah sangat menderita."
"Bukan apa-apa, selama aku punya kamu dan Bagas," suara Bima sarat dengan pemujaan. "Anggap saja ini penebusan dosaku. Caraku untuk memperbaiki semuanya. Selama kalian berdua baik-baik saja, aku bisa menanggung apa pun."
Dia menunduk dan mengecup kening anak laki-laki kecil itu. Bagas terkikik, melingkarkan lengan mungilnya di leher Bima dan berucap, "Ayah."
Ayah...
Duniaku bukan hanya retak, tapi meledak berkeping-keping. Pernikahan lima tahunku, rumah yang kubangun dengan sepenuh jiwa, suami yang kucintai dengan begitu hati-hati dan begitu dalam-semuanya adalah kebohongan. Sebuah alat untuk menutupi kejahatan. Aku bukan istrinya. Aku adalah alibinya. Penebusan dosanya yang hidup dan bernapas.
Mereka mengobrol beberapa saat lagi, membuat rencana untuk beberapa hari ke depan-pada hari peringatan "kematian" Maya. Bima dan nenekku akan menggunakan alasan "mengunjungi makamnya" untuk menghadiri pesta ulang tahun Bagas di peternakan Maya.
Kakiku lemas. Aku merosot di sepanjang pilar kayu yang kasar, mendarat dengan bunyi gedebuk pelan. Getaran hebat mengguncang tubuhku, perutku mual. Kehidupan yang kukira milikku ternyata hanyalah lelucon, dan akulah bahan tertawaannya.
Tepat pada saat itu, ponselku bergetar. ID penelepon bertuliskan: "Eyang."
Aku menjawab, tanganku gemetar. Suara Eyang Dewi yang familier dan angkuh terdengar. "Kirana, kamu di mana? Di sini ramai sekali, jangan berkeliaran."
Suaranya terdengar khawatir, tapi sekarang aku tahu apa makna sebenarnya: ketakutan. Dia tidak khawatir aku tersesat. Dia sangat takut aku akan bertemu dengan Maya. Takut kebohongannya yang sempurna dan mengerikan akan terbongkar.
Aku menarik napas dengan susah payah, memaksakan suaraku agar terdengar normal. "Aku baik-baik saja, Eyang. Hanya di dekat kandang pejantan. Sapi-sapinya luar biasa tahun ini."
Telepon hening sejenak. Lalu, suara Eyang Dewi kembali, tajam karena panik. "Tetap di situ! Eyang akan menyuruh Bima menjemputmu sekarang juga!"
Panggilan itu berakhir tiba-tiba.
Kurang dari dua menit kemudian, sosok jangkung Bima muncul di hadapanku. Wajah tampannya menegang karena panik yang coba ia sembunyikan, suaranya campuran antara kepura-puraan khawatir dan teguran. "Apa yang kamu lakukan di sini? Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Apa kamu... apa kamu bertemu seseorang yang kamu kenal?"
Aku menatapnya, menatap mata yang dulu kupikir menyimpan seluruh duniaku. Aku menahan jeritan yang merobek tenggorokanku dan memaksakan senyum yang begitu rapuh seolah bisa menghancurkan wajahku.
"Tidak ada. Aku hanya... aku merindukanmu."
Dia tampak lega, ketegangan di bahunya mengendur saat dia menarikku ke dalam pelukannya.
Aku membiarkannya. Aku bersandar di dadanya, sebuah reruntuhan yang diam dan dingin, dan membiarkannya membawaku pulang.