"Apa kamu sudah dengar? Di pemakaman Caden Lambert kemarin, sepasang kekasih yang tidak tahu malu bermesraan di gazebo di belakang rumah duka."
Di ruang pribadi lantai dua Kafe Mellow, Gretchen Higgins, seorang sosialita kaya, menutup mulutnya dengan sapu tangan sutra sambil menatap Bryanna Stewart dengan ekspresi jijik.
"Seorang playboy pasti bercinta dengan seorang pelacur di sana. Sungguh tidak tahu malu, mereka bahkan tidak bisa mengendalikan diri di rumah duka," cibir Bryanna, sorot matanya dipenuhi rasa jijik.
Tidak ada yang lebih membuatnya jijik daripada orang-orang yang menjalani kehidupannya dengan kacau dan bejat.
"Keluarga Lambert sedang meninjau rekaman kamera pengawas. Sebentar lagi kita akan tahu siapa orang tidak tahu malu itu," tambah Gretchen.
Larut dalam lamunan, Iris tersentak kaget saat kopi tumpah ke atas meja.
Mata Bryanna mendelik ke atas. "Iris, stabilkan tanganmu saat menuangkan kopi."
Gretchen mendongak, matanya tertuju pada Iris dengan penuh perhatian. "Bryanna, kamu telah membesarkannya dengan baik-dia sopan, dan tenang. Dan yang terpenting, dia tidak pernah melanggar batasan."
Bryanna menyeruput kopinya perlahan, merasa sangat puas. "Kesucian seorang wanita adalah harta yang paling berharga. Bagi mereka yang berasal dari keluarga terhormat, hal ini bahkan lebih penting lagi."
Tak lama kemudian, pintu kamar berderit saat berayun terbuka. "Pak Stewart telah tiba," ucap salah seorang pramusaji.
Iris menunduk, dia melihat sepatu kulit yang bersinar sempurna, serta potongan celana yang rapi dan mahal-semuanya mencerminkan kemewahan.
Vincent menyapa Gretchen dan Bryanna, suaranya terdengar halus dan tenang.
Bryanna, yang merupakan saudara iparnya, menyambutnya dengan senyum hangat. "Kamu baru pulang kemarin dan langsung pergi ke pemakaman Caden. "Iris, apa kamu melihatnya di sana?"
Mendengar itu, wajah Iris memanas saat mengingat kejadian memalukan semalam. Dia masih tidak habis pikir kenapa Vincent tiba-tiba bisa kehilangan kendali.
Teko kopi di tangannya terasa menyengat, tetapi Iris hampir tiba merasakannya.
"Tidak, kami tidak bertemu," ucap Vincent.
Vincent mengambil teko dari tangan Iris dan menuangkan kopi ke cangkirnya sendiri dengan tenang.
Telapak tangan Iris memerah, panas seperti terbakar.
Seorang pria yang berwibawa dan penuh kendali-dia bisa menyangkal hubungan mereka, dan melanjutkan hidup seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Bryanna tertawa ringan. "Iris selalu bersikap waspada pada Vincent sejak dia masih kecil. Dan karena Vincent berada di luar negeri selama tujuh tahun terakhir, jarak di antara mereka semakin besar."
Gretchen tertawa ringan. "Itu sudah jelas. Dia terlihat seperti seekor tikus yang terpojok oleh kucing-benar-benar ketakutan."
Bryanna menggoda, "Iris, kamu tidak perlu takut padanya. Mungkin sudah saatnya aku mencarikannya seorang istri. Seseorang yang bisa membuatnya menghilangkan sifat dinginnya dan mengeluarkan senyumannya."
Gretchen meletakkan cangkirnya. "Kudengar Dolores Dawson ada di Kafe Mellow hari ini."
Bryanna menoleh ke arah Vincent. "Nyonya Gretchen sedang memikirkan untuk menjalin hubungan melalui pernikahan dengan keluarga kita. Bagaimana menurutmu?"
Vincent menyesap kopinya, jari-jarinya bersandar pada cangkir porselen yang halus. "Aku akan membiarkan Kakak ipar mengurusnya."
Iris menunduk lebih dalam lagi, kukunya menancap di telapak tangannya.
Mendengar itu, wajah Bryanna berseri-seri karena setuju. "Aku akan memberi tahu Nyonya Dawson kalau kamu tertarik."
"Kalau begitu, ucapan selamat patut diberikan," ucap Gretchen, sambil tersenyum lebar. "Vincent, sepertinya tidak lama lagi kita akan bersulang di pesta pernikahanmu."
Setelah kopi mereka habis, Bryanna dan Gretchen berlama-lama di dekat pintu masuk, sambil mengobrol santai.
Iris berjalan mendekati Vincent, dan berbisik, "Ada kamera pengawas di rumah duka. Keluarga Lambert sedang memeriksa rekaman itu."
Vincent mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya, memutarnya di antara jari-jarinya sebelum meletakkannya di antara bibirnya. Nada suaranya terdengar acuh tak acuh. "Dan?"
Napas Iris tercekat. "Mereka bisa tahu kalau itu kita!"
Gazebo seperti tempat perlindungan tersembunyi, diselimuti permadani yang rimbun dengan tanaman merambat yang saling bertautan dan dedaunan hijau yang indah. Di dalam, ruangnya terasa privat, hampir seperti tempat terpencil; siapa pun yang berada di luar hanya akan melihat sekilas siluet mereka, yang dikelilingi oleh pemandangan alam yang memesona.
Namun, rekaman kamera pengawas mungkin mengungkap wajah dan apa yang mereka lakukan dengan jelas.
"Memangnya kenapa kalau mereka tahu?" Vincent menggigit rokoknya, nadanya terdengar geli, seolah-olah Iris baru saja mengatakan sesuatu yang konyol.
Sejak kematian kakak laki-laki Vincent, Vincent mengambil alih kendali Grup Stewart.
Dengan perusahaan yang mendominasi lebih dari separuh industri di kota ini, dia berada di puncak kekuasaan-tak tersentuh.
Bagi Vincent, hubungan mereka tidak lebih dari sekadar kesenangan sesaat.
Sementara bagi Iris, itu adalah sebuah malapetaka.
Sebuah Porsche berwarna kuning berhenti di tepi jalan, dengan jendela diturunkan untuk memperlihatkan beberapa pria muda berkacamata hitam. "Stewart, ayo kita pergi ke klub."
Vincent meremas rokok di tangannya, sambil mengamati sekelilingnya. Karena tidak ada tempat sampah yang terlihat, dia melemparkannya ke arah Iris.
Kemudian, tanpa menoleh ke belakang, Vincent melangkah ke mobil dan masuk ke dalam.
Mobil Porsche itu melaju kencang, meninggalkan jejak debu di belakangnya.
Iris menatap puntung rokok di telapak tangannya, rasa hampa menyelimuti dirinya.
Iris merasa dirinya hanyalah mainan-yang digunakan, dibuang, dan ditinggalkan.
.... ....
Vincent tidak menginjakkan kaki di rumah keluarganya selama berhari-hari.
Bryanna lalu meneleponnya. "Aku sudah mengatur pertemuan dengan Elianna Dawson. Apa kamu ingin menemuinya?"
Malam itu juga, Vincent kembali.
Saat mereka duduk di ruang tamu, Bryanna menatap Iris dengan tatapan penuh arti. "Kamu lihat? Vincent mungkin sering bersenang-senang sesuka hatinya, tapi jika menyangkut hal-hal penting, dia tidak akan membuang-buang waktu. Saat mendengar nama Elianna, dia langsung pulang."
Vincent duduk bersandar di sofa, tatapannya tertuju pada Iris. "Apa tanganmu baik-baik saja?"
Bryanna mengerutkan alisnya bingung. "Tanganmu? Iris, apa yang terjadi?"
Iris mengepalkan tangannya. "Tidak apa-apa, hanya luka bakar ringan."
Seorang pelayan di di sampingnya tersenyum tipis. "Pak Stewart adalah seorang pria sejati. Beliau pasti akan menjadi suami yang setia suatu hari nanti."
Bryanna mengambil sebuah foto dan mengulurkannya ke hadapan Vincent. "Ini foto Elianna. Coba lihatlah. Apa kamu menyukainya?"
Vincent mengangkat sebelah alisnya, lalu mengalihkan perhatiannya ke Iris. "Bagaimana menurutmu?"
Sambil menyeringai, Bryanna menggeser foto itu lebih dekat ke Iris. "Ayo, lihatlah calon tantemu."
Dalam foto tersebut, seorang wanita muda mendekap buket bunga lili, wajahnya yang halus memancarkan kepolosan dan lekuk tubuh yang memukau.
Iris mengangguk pelan, nyaris tak kentara.
Vincent mengamati foto tersebut selama satu menit sebelum meletakkannya. "Tidak buruk. Iris, seleramu cukup bagus."
Bryanna mengerutkan alisnya. Itu jelas pilihannya. Jadi kenapa mengatakan bahwa Iris punya selera yang bagus?
Namun, Bryanna mengetahui satu hal. Vincent lebih menyukai wanita dengan lekuk tubuh yang memikat.
Bryanna bertepuk tangan. "Pasangan yang sempurna! Vincent, Dolores bilang Elianna sudah menyukaimu sejak lama. Sepertinya ini takdir-kamu akan menantang takdir jika menolaknya."
Sesaat kemudian, Iris naik ke lantai atas. Dia belum sampai di kamarnya ketika sosok tinggi menghalangi jalannya, menekannya ke sudut tangga.
"Minggir," gumam Vincent, napas hangatnya membelai lembut telinganya.
Iris meronta, tetapi Vincent memeluknya erat, menahannya agar tetap menempel pada tubuhnya yang ramping.
"Aku akan membelikanmu sebuah apartemen," bisiknya, bibirnya menyentuh kulitnya.
Air mata membasahi mata Iris.
Besok, Vincent akan bertemu dengan Elianna. Pasangan yang sempurna antara dua keluarga berkuasa-mereka berdua akan segera menikah.
Dan siapa Iris baginya?
"Apa kamu tidak takut Nona Dawson mengetahuinya?" ucap Iris sambil menangis.
Vincent mengecup lembut tenggorokannya, suaranya pelan dan penuh hasrat. "Dia tidak akan tahu."
Iris memejamkan mata saat air mata hangat mengalir di pipinya.
Baginya, dia adalah kekasih rahasia, mainan yang terkurung.
Bagi publik, dia adalah putri angkat Bryanna-anggota Keluarga Stewart.
Tetapi faktanya Iris adalah seorang wanita yatim piatu.
Dia sangat beruntung karena dapat tumbuh seperti anak perempuan lainnya, diberi kesempatan untuk belajar. Tetapi itu semua bergantung pada kemurahan hati Bryanna.
Tidak ada seorang pun yang bisa diandalkan, kecuali dirinya sendiri.
Setidaknya, dia mengenyam pendidikan. Terdaftar di kampus terbaik di kota ini, dia hanya tinggal menunggu satu tahun lagi untuk lulus.
Suatu hari nanti, dia berharap bisa mandiri, menabung untuk membeli apartemen sendiri, hidup seperti wanita normal lainnya, jatuh cinta, menikah, dan memiliki anak.
Dia tidak pernah membayangkan menjadi kekasih rahasia seseorang.
"Om Vin ...."
"Panggil saja aku Vincent," potong Vincent, cengkeramannya mengangkat dagu wanita itu.
Iris tersenyum tegang.
"Aku bisa bersikap seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi pada malam itu."
Dalam cahaya yang remang, sesuatu yang tak terbaca terlintas di mata Vincent.
Di lantai bawah, suara Bryanna terdengar tajam dan jelas saat dia berbicara di telepon. "Aku punya rekaman kamera pengawas. Ayo kita cari tahu siapa wanita jalang yang berani merayu seorang pria di pemakaman."