Tapi pukulan yang sesungguhnya datang saat aku tak sengaja mendengar ibunya memuji selingkuhannya, Serafina. Dia hamil enam bulan dengan apa yang mereka sebut "pewaris sejati Batu Hitam."
Sementara aku, pasangan takdirnya, hanyalah "cangkang kosong."
Lima belas tahun cinta dan kesetiaan, semuanya sia-sia. Kerajaan bisnis yang kubangun untuk kawanan kami hanyalah sebuah alat. Anak kami, keajaiban yang kusayangi, tak berharga bagi mereka. Aku hanyalah sebuah kebutuhan politik dengan garis keturunan yang lemah, menunggu untuk digantikan.
Malam itu, di Perayaan Bulan Purnama, aku seharusnya mengumumkan kehamilanku dan memohon penerimaan mereka.
Sebaliknya, aku berjalan ke atas panggung, menatap mata Damian, dan mengucapkan kata-kata kuno pemutusan ikatan.
Lalu, aku membuka saluran pribadi ke satu-satunya pria yang bisa membantuku membakar semuanya hingga menjadi abu.
"Kaelan," kukirim pesan itu. "Aku setuju dengan rencanamu."
Bab 1
Sudut Pandang Elara:
Ruang Tabib beraroma rempah kering dan antiseptik, aroma yang biasanya menenangkan sarafku. Hari ini, aroma itu sama sekali tak mampu memperlambat detak jantungku yang menggila.
"Dewi Bulan telah memberkatimu, Elara," kata Bunda Lira, suaranya berdesir lembut seperti daun kering. Dia menggulung gulungan lontar kuno itu, jari-jarinya yang keriput ternyata sangat mantap. "Tapi ini... ini tidak biasa. Garis keturunanmu... kuno, kuat. Tertidur. Anak ini telah membangkitkan sesuatu yang dalam di dirimu." Dia berhenti, matanya menjadi keruh. "Hati-hati. Kekuatan besar menarik masalah besar."
Lalu, wajahnya melembut. "Kau sedang mengandung."
Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan fisik, gelombang kebahagiaan murni yang membuat lututku lemas. Seorang anak. Anak kami. Anak Damian dan aku. Setelah dua tahun bisik-bisik cemas dari para tetua kawanan dan ketakutanku sendiri dalam diam, akhirnya ini terjadi.
Kehangatan menyebar di perutku, sebuah koneksi purba dengan kehidupan baru yang bergerak di dalam diriku. Ini akan memperbaiki segalanya. Ini akan memperkuat ikatan kami, membungkam para peragu, dan mengamankan masa depan kami sebagai Alpha dan Luna dari Kawanan Batu Hitam.
Aku memeluk gulungan diagnosis itu ke dadaku, pikiranku sudah melesat jauh ke Perayaan Bulan Purnama yang akan datang. Aku akan mengumumkannya saat itu, di depan seluruh kawanan. Takkan ada yang bisa mempertanyakan persatuan kami setelah itu.
Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menusuk pelipisku, bukan milikku. Itu adalah Ikatan Batin, panik dan tak diinginkan.
Ikatan Batin adalah koneksi yang dimiliki semua anggota kawanan, cara diam-diam untuk berkomunikasi pikiran dan perasaan. Seharusnya itu menjadi sumber persatuan, jaring yang menyatukan kita semua. Tapi terkadang, itu adalah kutukan.
"Elara, kau baik-baik saja?" Itu sahabatku, Chika. Suara mentalnya dipenuhi kepanikan.
Sebelum aku bisa menjawab, sebuah gambaran membanjiri pikiranku, tak diundang dan brutal. Itu adalah kilasan sebuah bar remang-remang, jenis yang sering dikunjungi kawanan kami untuk urusan bisnis. Dan di sana ada Damian, pasangan yang dijanjikan untukku, Beta dari kawanan kami. Dia menekan seorang wanita ke dinding, tangannya menjambak rambut gelap wanita itu, mulutnya melahap bibirnya. Wanita itu terlihat... dia terlihat seperti versi diriku yang lebih murahan dan lebih norak.
Napas ku tercekat. Kebahagiaan beberapa saat yang lalu membeku menjadi batu dingin yang berat di perutku.
"Chika, di mana kau melihat ini?" balasku, pikiranku sendiri menjadi pendek dan tajam.
"Aku di sini. Di The Howling Hound. Elara, kau harus melihat ini. Dia..."
"Itu aku," aku berbohong, kata-kata itu terasa seperti abu di benakku. Kebohongan itu otomatis, sebuah refleks yang diasah selama bertahun-tahun melindungi reputasi Damian, menempatkan stabilitas kawanan di atas perasaanku sendiri. "Kami hanya sedang bermain-main, Chika. Jangan khawatir."
Aku memutus ikatan sebelum dia bisa menjawab, keheningan di kepalaku tiba-tiba memekakkan telinga.
Bermain-main. Alasan yang menyedihkan.
Pikiranku melayang kembali, kolase kenangan yang menyakitkan. Damian dan aku saat remaja, berlatih bersama sampai otot kami menjerit, cakar kami berlumuran lumpur. Kami di ruang rapat perusahaan, mengenakan pakaian manusia, berjuang mati-matian untuk memperluas kerajaan bisnis Kawanan Batu Hitam. Lima belas tahun sejarah bersama, keringat dan darah serta mimpi yang dibisikkan di bawah bulan. Semuanya untuk ini?
Aku pulang, gulungan di kursi penumpang terasa seperti sebuah ejekan.
Dia sudah ada di sana saat aku masuk, mondar-mandir di ruang tamu kami. Aroma rumah kami-kayu cendana dan lavender milikku-tercemar oleh parfum murahan dan memuakkan yang tidak kukenali.
"Dari mana saja kau?" tanyanya, suaranya tegang.
"Dari mana saja *kau*, Damian?"
Dia mengusap rambutnya. "Aku di bar. Beberapa saingan dari Kawanan Sungai Perak mencoba merebut klien kita. Suasananya memanas."
"Memanas?" tanyaku, suaraku berbahaya pelan.
Dia punya cukup kesopanan untuk membuang muka. "Dengar, para tetua sudah menekanku selama berbulan-bulan. Tentang kita. Tentang tidak punya pewaris. Tekanannya... naluri seorang Alpha terkadang bisa lepas kendali. Itu hanya cara untuk melepas penat."
Naluri seorang Alpha. Dia bahkan belum menjadi Alpha, hanya Beta. Dia menggunakan gelar masa depannya sebagai alasan untuk perselingkuhannya saat ini.
Rasa sakit itu adalah hal yang fisik, beban yang menghancurkan di dadaku. Tapi kemudian aku merasakan kehangatan samar yang berdenyut di rahimku. Demi anak ini. Aku harus kuat demi anak ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, menyingkirkan bayangan dirinya dan wanita itu dari pikiranku. "Aku mengerti tekanannya, Damian."
Kelegaan terpancar di wajahnya. Dia pikir dia sudah lolos.
"Perayaan Bulan Purnama minggu depan," kataku, suaraku mantap. "Aku punya sesuatu untuk diumumkan. Sesuatu yang akan menyelesaikan semua masalah kita."
Dia tersenyum, senyum cemerlang dan menawan yang dulu pernah membuat jantungku berdebar kencang. Sekarang, itu hanya membuatku merasa dingin.
Saat aku berdiri di dekat jendela malam itu, memandangi bulan terbit, seekor gagak hitam hinggap di ambang jendela. Ada keheningan yang tidak wajar padanya, matanya seperti serpihan obsidian. Terikat di kakinya ada sepotong kecil gulungan perkamen.
Tanganku gemetar saat aku melepaskannya. Kertas itu diembos dengan lambang Kawanan Bulan Merah, saingan terbesar kami.
Di bawahnya, satu baris tertulis dengan tulisan tangan yang elegan dan mengejek: "Pasangan masa depanmu sedang tidur dengan wanitaku. Keluarlah. Kita perlu bicara."
---