Beberapa hari kemudian, dia menuntutku untuk menghadiri Gala tahunan demi menunjukkan "citra pasangan yang harmonis". Di perjalanan, dia menerima telepon dari perempuan itu. Suaranya penuh dengan kelembutan yang tidak pernah dia berikan padaku.
"Jangan khawatir, Sarah, aku sedang dalam perjalanan," katanya. "Siklus ovulasimu adalah yang terpenting. Aku mencintaimu."
Tiga kata yang tidak pernah dia ucapkan padaku. Dia membanting rem, berubah menjadi wujud serigalanya yang besar, dan meninggalkanku sendirian di jalan yang gelap dan diguyur hujan untuk berlari menemuinya.
Aku terhuyung-huyung keluar di tengah badai, hatiku akhirnya hancur berkeping-keping. Aku bukan pasangannya. Aku hanyalah pengganti, sebuah properti yang dibuang begitu saja saat cinta sejatinya memanggil.
Tepat saat aku berharap hujan akan menghanyutkanku, sorot lampu mobil menembus kegelapan. Sebuah mobil berhenti mendadak, hanya beberapa senti dariku. Keluarlah seorang Alpha yang kekuatan liarnya membuat suamiku tampak seperti anak kecil. Mata peraknya yang tajam mengunci mataku, sementara geraman posesif bergemuruh dari dalam dadanya.
Dia menatapku seolah telah menemukan pusat dunianya dan mengucapkan satu kata yang mengubah hidupku.
"Milikku."
Bab 1
Aroma rosemary dan bawang putih memenuhi rumah kami yang steril dan sunyi. Aku menghabiskan sepanjang sore dengan susah payah menyiapkan kambing guling, makanan favorit Marco. Aku menata kentang panggang dan asparagus di atas piring porselen terbaik kami, seperti seorang prajurit yang bersiap untuk pertempuran terakhir yang sia-sia. Tiga tahun. Ini adalah ulang tahun ikatan kami yang ketiga, dan gumpalan harapan yang menyedihkan dan keras kepala tersangkut di tenggorokanku, menolak untuk ditelan. Mungkin malam ini. Mungkin malam ini dia akhirnya akan menatapku, benar-benar *melihatku*.
Tanganku, yang selalu terasa terlalu kecil dan rapuh, sedikit gemetar saat aku merapikan taplak meja linen untuk kesepuluh kalinya. Kain itu terasa dingin dan kaku di bawah ujung jariku, kontras dengan rasa cemas yang membara di perutku. Di luar, senja di Jakarta mewarnai langit dengan nuansa ungu lebam dan abu-abu lembut, lampu-lampu kota mulai berkelip seperti bintang jatuh. Tapi di dalam, satu-satunya cahaya berasal dari dua lilin putih bersih yang kuletakkan di tengah meja. Apinya berkelip-kelip gugup, mencerminkan detak jantungku yang menggila.
*Dia akan pulang. Dia akan melihat usahaku. Dia akan ingat.* Mantra itu sudah sangat kukenal, doa usang yang kuulangi pada hari ulang tahun, hari libur, dan malam-malam sepi yang tak terhitung jumlahnya.
Suara kunci di pintu depan terdengar tajam, metalik, dan itu membuatku terlonjak. Aku segera menyalakan lilin, jantungku berdebar kencang di dada. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegugupan yang panik. *Tersenyumlah, Clara. Terlihatlah bahagia. Jangan terlihat putus asa.*
Marco melangkah masuk ke foyer, bahunya yang lebar memenuhi ambang pintu. Dia adalah gambaran Alpha kuat seperti reputasinya: tinggi, berpakaian rapi dalam setelan jas gelap yang mungkin lebih mahal dari mobilku, dengan aura perintah yang bisa membuat pria lain gemetar. Tapi hal pertama yang menghantamku bukanlah kekuatannya. Itu adalah aromanya.
Di bawah aroma pinus dan tanah basah yang khas miliknya, ada aroma lain. Parfum bunga yang tajam, bercampur dengan aroma khas serigala betina lain. Itu adalah aroma yang mulai kutakuti, aroma yang menandakan pertemuan yang berlangsung hingga larut malam dan kemitraan yang murni profesional, begitulah klaimnya.
Senyum yang kubangun dengan susah payah goyah. Suara batinku, yang susah payah kubungkam, menjerit padaku. *Dia bersama perempuan itu. Lagi. Di hari jadi kami.*
Matanya, yang berwarna abu-abu sedingin batu, menyapu ruang makan. Dia melihat lilin, meja yang tertata sempurna, aroma makanan yang kusiapkan dengan sepenuh hati. Tidak ada binar kehangatan, tidak ada tanda-tanda kesenangan. Hanya rahangnya yang sedikit mengeras, nyaris tak terlihat.
"Clara," katanya, suaranya bariton rendah tanpa kasih sayang. Dia melonggarkan dasinya, kain sutra itu berdesir di ruangan yang sunyi. "Ada apa ini semua?"
"Selamat hari jadi, Marco," aku berhasil berkata, suaraku terdengar tipis dan lemah di telingaku sendiri. Aku menunjuk ke arah meja, sebuah isyarat penuh harap yang bodoh. "Aku membuat makanan favoritmu."
Dia tidak mendekat. Dia berdiri di dekat pintu, penghalang yang tangguh antara harapanku yang menyedihkan dan kenyataan dinginnya. "Sudah kubilang jangan terlalu memaksakan diri. Konstitusimu... rapuh."
Kata-kata itu seperti pukulan fisik, alasan yang sama yang dia gunakan selama bertahun-tahun. *Rapuh.* Itu adalah sangkarnya, dan dia telah mengurungku di dalamnya sejak hari ikatan kami. Dia menggunakannya untuk membenarkan jaraknya, penolakannya untuk menyelesaikan ikatan kami, pengabaian emosionalnya yang terus-menerus. Dia telah meyakinkan semua orang, termasuk diriku sendiri untuk sementara waktu, bahwa aku adalah makhluk rapuh yang harus dilindungi, yang dalam bahasanya berarti untuk diabaikan.
Harapanku, hal yang keras kepala dan bodoh itu, akhirnya mati. Harapan itu layu di bawah tatapan dinginnya, berubah menjadi abu di dadaku. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang baik," bisikku, kata-kata itu terasa seperti kekalahan.
"Aku ada pertemuan pack yang mendesak," katanya, sudah berbalik, mengabaikanku dan usahaku seolah-olah itu hanyalah gangguan kecil. "Adhitama Group sedang bergerak di wilayah selatan. Aku harus menanganinya." Dia melirik ke belakang, matanya tak terbaca. "Jangan menungguku."
Dan kemudian dia pergi. Pintu depan tertutup dengan bunyi klik yang bergema di keheningan rumah yang luas. Aku ditinggalkan sendirian dengan dua lilin yang berkelip-kelip, makanan yang dimasak sempurna menjadi dingin, dan hantu parfum wanita lain.
Keheningan menekanku, tebal dan menyesakkan. Aku merosot ke salah satu kursi makan, kayu yang dipoles terasa dingin di kakiku. Pandanganku melayang ke sekeliling ruangan, pada kehidupan yang seharusnya kumiliki. Rumah besar yang kosong di bagian paling eksklusif di Jakarta, perabotan desainer, kehidupan sebagai pasangan Alpha yang dihormati. Semuanya palsu. Kebohongan yang indah dan hampa.
Pikiranku, seorang penyiksa yang kejam, memutar ulang kenangan upacara ikatan kami. Aku masih bisa merasakan beratnya jubah upacara, mencium bau dupa di udara. Aku ingat harapan yang membuncah di dadaku ketika dia berdiri di hadapanku, begitu tampan dan kuat, dan berjanji untuk menghargai dan melindungiku selamanya. Dia tidak pernah menyelesaikan langkah terakhir dari ikatan itu, yang akan benar-benar menghubungkan jiwa kami. Dia mengklaim itu demi kebaikanku sendiri, bahwa intensitas ikatan Alpha penuh mungkin terlalu berat untuk sifatku yang 'rapuh'. Aku telah memercayainya. Untuk sementara waktu.
Sekarang, aku tahu yang sebenarnya. Ini bukan tentang kerapuhanku. Ini tentang ketidakmampuanku.
Jemariku meraba-raba mencari tabletku di bufet. Aku butuh pengalih perhatian, apa pun untuk menarikku dari spiral pikiranku yang menurun. Aku menyalakannya, layarnya bersinar hidup. Dan di sanalah itu. Berita utama dari Warta Pack Jakarta.
Sebuah foto mendominasi layar. Itu Marco, tersenyum. Bukan senyum kaku dan terkendali yang dia berikan padaku, tapi senyum tulus dan lepas penuh kebanggaan dan kasih sayang. Berdiri di sampingnya, tangannya bertumpu posesif di lengannya, adalah Sarah Wijaya, Alpha betina yang kuat dari pack tetangga. Judulnya berbunyi: 'Aliansi Baru Terjalin: Alpha Marco dan Wijaya Mengamankan Kesepakatan Penting dengan Adhitama Group.'
Artikel itu memuji kemitraan mereka, sinergi mereka, kekuatan gabungan mereka. Itu adalah perayaan publik dari hal yang dia sangkal dariku secara pribadi. Dia tidak sedang dalam pertemuan pack. Dia bersama perempuan itu. Kebohongan itu begitu terang-terangan, begitu kejam, hingga mencuri udara dari paru-paruku.
Gelombang mual dan patah hati menyapuku. Aku terhuyung-huyung menjauh dari meja, menjauh dari bukti kegagalanku. Aku harus pergi, bersembunyi. Aku menemukan diriku di lorong, membuka pintu lemari penyimpanan berdebu di bawah tangga, sebuah ruang yang belum pernah kumasuki selama bertahun-tahun.
Udaranya pengap, penuh dengan bau kamper dan barang-barang yang terlupakan. Aku terbatuk, mataku menyesuaikan diri dengan cahaya redup. Terselip di belakang, di balik tumpukan selimut tua, ada sebuah kotak kayu kecil. Itu milik nenekku. Orang tuaku memberikannya padaku ketika aku pindah ke sini, dan dalam kesengsaraan hidup baruku, aku benar-benar melupakannya.
Jemariku, yang dilapisi lapisan debu halus, menelusuri tutupnya yang berukir. Dengan derit samar, aku membukanya. Di dalam, bersarang di atas hamparan beludru pudar, ada sebuah liontin halus. Sebuah batu bulan tunggal yang bercahaya, berbentuk seperti tetesan air mata, tergantung pada rantai perak. Batu itu seolah berdenyut dengan cahaya lembut dari dalam.
Di bawahnya ada selembar kertas perkamen yang terlipat, tintanya pudar tetapi masih bisa dibaca. Tulisan tangan nenekku yang elegan mengalir di halaman itu.
*'Saat rembulan ditolak, bintang sejati akan terbit. Darahmu bukanlah kelemahan, melainkan kunci.'*
Napas ku tercekat. Apa maksudnya? Aku mengangkat liontin itu dari kotaknya. Batu itu awalnya terasa dingin, tetapi saat kulitku menyentuhnya, kehangatan samar yang menenangkan menyebar melalui jari-jariku, naik ke lenganku, dan menetap di dadaku. Itu adalah kehangatan lembut yang menenangkan yang mendorong kembali keputusasaan sedingin es yang telah berakar di sana.
Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, benih keraguan ditanamkan. Bukan tentang Marco, atau perasaannya padaku-itu sudah sangat jelas. Ini adalah keraguan tentang diriku sendiri. Tentang identitas yang telah dia paksakan padaku.
Rapuh. Lemah.
Saat aku menggenggam batu bulan itu, kehangatannya menjadi janji bisu di telapak tanganku, aku bertanya-tanya apakah dia, dan aku, telah salah selama ini.