Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Dari Pengkhianatan Tebing ke Cinta yang Tak Terpatahkan
Dari Pengkhianatan Tebing ke Cinta yang Tak Terpatahkan

Dari Pengkhianatan Tebing ke Cinta yang Tak Terpatahkan

5.0

Suamiku selama lima tahun, Marco, bilang dia akan membawaku piknik romantis di puncak tebing. Dia menuangkan segelas sampanye untukku, senyumnya sehangat mentari. Katanya, ini untuk merayakan hidup kami bersama. Tapi saat aku sedang mengagumi pemandangan, tangannya menghantam punggungku. Dunia buyar, hanya ada langit dan bebatuan saat aku terhempas ke jurang di bawah. Aku terbangun dengan tubuh remuk dan berdarah, tepat pada waktunya untuk mendengar suaranya dari atas. Dia tidak sendirian. Ada Chika, selingkuhannya. "Apa dia... sudah mati?" tanya Chika. "Jatuhnya sangat dalam," suara Marco terdengar datar, tanpa emosi. "Tidak ada yang bisa selamat dari situ. Saat mayatnya ditemukan, semua akan terlihat seperti kecelakaan tragis. Clara yang malang, jiwanya tidak stabil, berjalan terlalu dekat ke tepi tebing." Kata-katanya yang diucapkan dengan santai terasa lebih kejam dari benturan apa pun. Dia sudah menulis obituariku, merangkai narasi kematianku sambil membiarkanku mati di tengah badai. Gelombang keputusasaan menyapuku, tapi kemudian sesuatu yang lain menyala: amarah yang membara dan dahsyat. Tepat saat pandanganku mulai memudar, sorot lampu mobil menembus hujan. Seorang pria keluar dari sebuah mobil mewah. Itu bukan Marco. Itu Julian Suryo, saingan paling dibenci suamiku, dan satu-satunya pria yang mungkin sama inginnya menghancurkan Marco seperti diriku.

Konten

Bab 1

Suamiku selama lima tahun, Marco, bilang dia akan membawaku piknik romantis di puncak tebing. Dia menuangkan segelas sampanye untukku, senyumnya sehangat mentari. Katanya, ini untuk merayakan hidup kami bersama.

Tapi saat aku sedang mengagumi pemandangan, tangannya menghantam punggungku. Dunia buyar, hanya ada langit dan bebatuan saat aku terhempas ke jurang di bawah.

Aku terbangun dengan tubuh remuk dan berdarah, tepat pada waktunya untuk mendengar suaranya dari atas. Dia tidak sendirian. Ada Chika, selingkuhannya.

"Apa dia... sudah mati?" tanya Chika.

"Jatuhnya sangat dalam," suara Marco terdengar datar, tanpa emosi. "Tidak ada yang bisa selamat dari situ. Saat mayatnya ditemukan, semua akan terlihat seperti kecelakaan tragis. Clara yang malang, jiwanya tidak stabil, berjalan terlalu dekat ke tepi tebing."

Kata-katanya yang diucapkan dengan santai terasa lebih kejam dari benturan apa pun. Dia sudah menulis obituariku, merangkai narasi kematianku sambil membiarkanku mati di tengah badai.

Gelombang keputusasaan menyapuku, tapi kemudian sesuatu yang lain menyala: amarah yang membara dan dahsyat.

Tepat saat pandanganku mulai memudar, sorot lampu mobil menembus hujan. Seorang pria keluar dari sebuah mobil mewah. Itu bukan Marco. Itu Julian Suryo, saingan paling dibenci suamiku, dan satu-satunya pria yang mungkin sama inginnya menghancurkan Marco seperti diriku.

Bab 1

Hal pertama yang kusadari adalah rasa sakit, penderitaan yang menyilaukan dan tajam menusuk kakiku hingga meledak di belakang mataku. Hal kedua adalah bau tanah basah dan daun pinus yang hancur, aroma yang begitu pekat hingga terasa seperti aku menghirup lumpur. Pipiku menempel pada sesuatu yang dingin dan licin karena hujan.

Aku mengerjap, mencoba membersihkan kabut dari pandanganku. Hujan membuat rambutku lengket di wajah, setiap tetesnya terasa seperti sengatan es kecil di kulitku. Di atasku, melalui jalinan dahan-dahan gelap, langit berwarna ungu lebam, bergolak dengan awan badai. Dunia adalah simfoni penderitaan: genderang hujan yang tanpa henti, gemuruh guntur di kejauhan, dan suara napasku sendiri yang tersengal-sengal putus asa.

Lalu, aku mendengar suara. Suaranya.

"Apa dia... sudah mati?" Suara yang lain adalah suara perempuan, dengan nada manis yang memuakkan hingga membuat perutku mual. Chika.

"Jatuhnya sangat dalam. Tidak ada yang bisa selamat dari situ." Suara Marco datar, tanpa kehangatan yang telah ia palsukan selama lima tahun. Itu adalah suara seorang pria yang sedang membahas transaksi bisnis, bukan istri yang baru saja coba ia bunuh.

Pikiranku berputar, berjuang untuk menghubungkan titik-titik. Piknik di puncak tebing. Termos berisi teh "spesial" yang membuat kepalaku pusing. Dorongan tiba-tiba dan brutal dari belakang. Sensasi jatuh yang memuakkan, dunia berputar menjauh dariku saat bebatuan melesat menyambutku. Ini bukan kecelakaan.

*Dia melakukan ini. Dia mendorongku.*

Aku mencoba berteriak, memanggil, tapi hanya desahan tertahan yang keluar dari bibirku. Tenggorokanku terasa perih, dan rasa seperti logam memenuhi mulutku. Darah.

"Kita harus pergi," rengek Chika. "Nanti ada yang lihat mobil kita."

"Tidak ada yang datang ke sini saat cuaca seperti ini," kata Marco, nadanya meremehkan. "Dia sudah pasti mati. Saat mayatnya ditemukan, semua akan terlihat seperti kecelakaan tragis. Kasihan, si Clara yang jiwanya nggak stabil itu, berjalan terlalu dekat ke tepi tebing."

Kekejaman dalam kata-katanya yang santai adalah pukulan fisik, lebih buruk dari benturan dengan tanah. Dia sudah menulis obituariku, merangkai narasi kematianku. Suami yang penuh kasih, berduka atas istrinya yang bermasalah. Rasa mual naik ke tenggorokanku.

Langkah kaki mereka berderak di atas kerikil, lalu memudar. Suara mesin mobil menyala, dan kemudian derak ban yang menjauh, ditelan oleh badai. Mereka pergi. Mereka telah meninggalkanku untuk mati.

Gelombang keputusasaan yang dingin dan hitam menyapuku, begitu dalam hingga hampir menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh jatuhnya aku. Aku terbaring di sana, membiarkan hujan membasahiku, sebuah boneka rusak yang dibuang di hutan. Tapi kemudian, percikan sesuatu yang lain menyala di kegelapan dingin jiwaku. Amarah. Amarah yang membara dan dahsyat yang membakar habis keputusasaan. Dia tidak akan menang. Aku tidak akan membiarkannya menghapusku.

Dengan menggunakan sikuku, aku mulai menyeret diriku ke depan, menjauh dari dasar tebing. Setiap gerakan mengirimkan gelombang penderitaan baru ke seluruh tubuhku, tetapi amarah adalah bahan bakar yang lebih kuat. Aku merangkak melalui semak belukar yang lebat, ranting-ranting tajam dan bebatuan merobek gaunku yang sudah hancur. Kainnya, sutra lembut yang ia belikan untuk ulang tahun pernikahan kami, kini hanyalah kain compang-camping yang basah kuyup oleh lumpur.

Tanganku menggenggam sesuatu yang kecil dan keras di tanah. Aku menariknya, jari-jariku mati rasa karena kedinginan. Itu adalah seekor burung kayu kecil, diukir dengan rumit, permukaannya halus dan anehnya masih bersih meskipun berlumpur. Benda itu terasa padat dan nyata di telapak tanganku, sebuah misteri kecil yang nyata di tengah mimpi buruk ini. Tanpa pikir panjang, aku memasukkannya ke dalam saku mantel tipisku.

Badai pecah dengan sungguh-sungguh. Langit terbuka, dan hujan turun dalam curahan yang membutakan. Suhu turun, dan getaran hebat mengguncang tubuhku. Hipotermia mulai menyerang. Aku kalah dalam pertempuran ini. Pandanganku mulai menyempit, tepiannya berubah menjadi abu-abu. Tepat saat aku akan menyerah pada kegelapan yang mendekat, sepasang lampu depan menembus pepohonan yang basah oleh hujan.

Cahayanya menyilaukan, tanpa ampun. Sebuah sedan mewah hitam yang ramping melambat hingga berhenti di jalan berkelok-kelok tepat di luar batas pepohonan. Jantungku berdebar kencang di dada. *Apa mereka kembali? Apa Marco kembali untuk memastikan aku mati?*

Pintu sisi pengemudi terbuka, dan sesosok tubuh tinggi muncul, siluetnya menantang sorot lampu yang kuat. Dia bergerak dengan keanggunan yang meresahkan, seekor predator puncak yang terganggu oleh rintangan di jalannya. Dia bukan Marco. Pria ini lebih tinggi, lebih tegap, kehadirannya memancarkan otoritas yang dingin dan berbahaya.

Saat dia melangkah lebih dekat, lampu depan menerangi wajahnya. Fitur wajah yang tajam dan aristokrat, rambut gelap yang licin karena hujan, dan mata berwarna awan badai. Aku kenal wajah itu. Aku pernah melihatnya di majalah, di saluran berita keuangan, dalam tatapan marah yang Marco arahkan ke televisi. Julian Suryo. CEO kejam dari Suryo Corporation, saingan terbesar dan paling dibenci suamiku.

Dia menatapku, ekspresinya topeng dingin yang merendahkan. Tidak ada belas kasihan di matanya, hanya kejengkelan.

Bibirnya melengkung membentuk seringai pengakuan. "Wah, wah. Clara Adijaya. Sepertinya permainan suamimu akhirnya menimpamu juga."

Dia melihat keadaanku yang hancur, darah, lumpur, ketakutan di mataku, dan ekspresinya tidak melunak. Dia tampak seolah-olah menikmati pemandangan itu. Dia berbalik, tangannya meraih pintu mobilnya, siap meninggalkanku pada takdirku.

Panik, mentah dan primal, melonjak dalam diriku. Dengan sisa kekuatan terakhir yang kumiliki, aku menerjang, jari-jariku mencengkeram kulit halus sepatunya yang mahal, meraih pergelangan kakinya. Sentuhanku adalah noda lumpur yang putus asa pada kesempurnaannya.

Dia membeku, menatap tanganku seolah-olah itu adalah ular.

"Tolong," desahku, kata itu keluar dari tenggorokanku. Mataku, yang melebar karena teror, terkunci pada matanya. "Dia mencoba membunuhku."

Ketakutan yang mentah dan tak terbantahkan dalam suaraku sepertinya menembus ketenangannya yang sedingin es. Tangannya membeku di pintu mobil. Dia berdiri di sana, terperangkap antara kebenciannya yang mendalam terhadap suamiku dan bukti kejahatan yang mengerikan dan berdarah tepat di kakinya. Badai mengamuk di sekitar kami, latar belakang yang pas untuk saat hidupku diletakkan di tangan musuhku.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 10   Kemarin lusa17:06
img
img
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY