Tapi saat dia menyabotase pelanaku dalam sebuah lompatan berbahaya, membuat kudaku melempar dan mematahkan kakiku, dia menyebutnya "peringatan" agar aku tidak menyentuh Laras. Perhatiannya padaku setelah itu hanyalah upaya menutupi jejak agar ayahku tidak curiga.
Di sebuah lelang publik, dia menggunakan uang keluargaku untuk membelikan Laras berlian tak ternilai, membuatku dipermalukan dan tak bisa membayar.
Aku akhirnya mengerti apa yang kudengar dari ikatan batin kawanan beberapa hari sebelumnya. Baginya dan saudara-saudara angkatnya, aku hanyalah "putri manja," sebuah piala yang harus dimenangkan demi kekuasaan. Laras-lah yang benar-benar mereka dambakan.
Dia pikir dia bisa menghancurkanku, memaksaku menerima posisi nomor dua. Dia salah besar. Di malam ulang tahunku yang ke-20, malam di mana seharusnya aku terikat dengannya, aku berdiri di hadapan dua kawanan dan membuat pilihan yang berbeda. Aku menolaknya dan mengumumkan persatuanku dengan Alpha saingan, seorang pria yang melihatku sebagai ratu, bukan hadiah hiburan.
Bab 1
Sudut Pandang Aria:
Udara malam di wilayah Rembulan Perak terasa sejuk dan bersih, membawa aroma pinus dan tanah basah. Ini adalah wilayahku, rumahku, dan suatu hari nanti, akan menjadi tanggung jawabku sebagai Luna. Tapi malam ini, yang kupedulikan hanyalah pria yang berjalan di sampingku.
Kenan.
Kehadirannya adalah sebuah kekuatan fisik, tarikan magnet yang telah menguasai duniaku sejak kami masih anak-anak. Dia adalah calon Alpha, dipilih oleh ayahku karena kekuatannya yang tak tertandingi dan pikiran strategisnya. Dan, seperti yang dibisikkan semua orang di kawanan, dia adalah takdirku.
Jantungku berdebar seperti biasa saat lengannya menyentuh lenganku. Aku menarik napas, mengharapkan aroma khasnya, aroma yang selalu menenangkan serigala dalam diriku-aroma tajam badai salju yang menerpa hutan cedar. Itu adalah aroma yang kuimpikan, aroma dari pasangan takdirku.
Tapi malam ini, ada yang salah.
Di balik aroma cedar dan udara musim dingin yang familier, ada aroma lain yang melekat padanya. Manis memuakkan, seperti permen murahan dan melati yang menyengat. Aroma seorang Omega. Aroma yang sangat kukenal.
Laras.
Perutku melilit dingin. Laras, Omega rapuh yang dibawa bersamanya dan para prajurit lainnya, yang selalu dia perlakukan seperti adik sendiri.
"Kau bersama Laras," kataku, suaraku datar, tidak menunjukkan gejolak di dalam diriku.
Langkah Kenan tidak goyah. "Dia merasa tidak enak badan. Aku membawakannya beberapa ramuan herbal."
Suaranya lembut, tapi kebohongan itu terdengar seperti jeritan di indraku. Aroma itu bukan dari kunjungan biasa; itu meresap dalam serat jaket kulitnya, tanda kontak yang lama dan dekat.
Kami melanjutkan patroli dalam diam, keakraban yang biasanya kami bagi kini digantikan oleh ketegangan yang pekat dan menyesakkan. Saat kami mencapai tepi hutan kuno yang berbatasan dengan perkebunan utama, dia berhenti. "Aku akan menyelesaikan perimeter selatan. Kau kembalilah."
Aku hanya mengangguk, tak sanggup menatapnya.
Tapi aku tidak kembali. Firasat buruk melingkar di perutku. Aku berputar, menggunakan perlindungan hutan lebat untuk membayangi jalannya. Indra serigalaku, yang sudah dipertajam oleh kecurigaan, membuatku senyap, seperti hantu di antara pepohonan.
Dan kemudian aku melihat mereka.
Di bawah cabang-cabang pohon beringin agung yang bengkok, tempat anggota kawanan sering mengikrarkan cinta mereka, Kenan berdiri bersama Laras. Lengan Laras melingkari lehernya, tubuhnya menempel erat. Cahaya bulan menerangi pemandangan itu dengan kejelasan yang brutal. Dia menunduk, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang ganas dan posesif yang membuatku mual.
Itu bukan ciuman seorang kakak. Itu adalah ciuman sepasang kekasih.
Duniaku, yang dulu cerah dan penuh harapan berpusat padanya, hancur menjadi jutaan kepingan es. Aku tidak bersuara. Aku hanya berbalik dan berjalan pergi, gambaran itu terpatri di benakku.
Kembali di rumah utama, aula-aula mewah markas besar Korporasi Rembulan Perak terasa seperti sangkar. Aku langsung berjalan ke ruang kerja ayahku.
Alpha Adipati mendongak dari mejanya, wajahnya yang tegas melembut saat melihatku. "Aria. Kau kembali lebih awal."
"Ayah," kataku, suaraku anehnya tenang. "Aku ingin membatalkan perayaan ulang tahunku."
Dia mengerutkan kening. "Ulang tahunmu yang ke-20 lebih dari sekadar pesta, Aria. Saat itulah kau akan secara resmi diakui bersama pasanganmu."
"Aku tahu," kataku. "Itulah sebabnya aku di sini. Aku ingin membentuk persatuan dengan Kawanan Taring Onyx. Aku akan menikahi Alpha Damar."
Keterkejutan di wajah ayahku mutlak. Dia berdiri, kehadiran Alpha-nya yang kuat memenuhi ruangan. "Damar? Dia sekutu yang kuat, tapi Kenan... kau dan Kenan tak terpisahkan sejak kecil. Dia adalah masa depan kawanan ini. Dia adalah... jangkar emosionalmu."
Tawa pahit keluar dari bibirku. "Jangkar seharusnya membuatmu stabil, Ayah. Bukan menenggelamkanmu."
Ini bukan keputusan mendadak. Retakan itu sudah terlihat selama berminggu-minggu, tapi aku terlalu buta, terlalu cinta, untuk melihatnya. Sampai kemarin.
Aku sedang berada di ruang latihanku ketika Ikatan Batin, koneksi psikis yang dimiliki semua anggota kawanan, menyala. Biasanya, aku bisa mengabaikan obrolan latar belakang, tapi percakapan ini terjadi antara pimpinan inti kawanan. Mustahil untuk diabaikan.
*Satria, calon Luna kita semakin lengket saja setiap hari. Kenan pasti muak padanya,* gerutu Rama, Beta kami.
Aku membeku, tanganku melayang di atas barbel yang akan kuangkat.
*Tutup mulutmu, Rama,* terdengar suara Satria yang halus dan penuh perhitungan, Gamma kami. *Bagaimanapun juga, dia adalah putri Alpha. Tapi kuakui, gadis seperti Laras... dia membuat seorang pria merasa dibutuhkan. Seorang pelindung sejati.*
*Tepat,* sahut prajurit lain. *Kita semua bersaing untuk posisi Kenan, tapi itu demi Laras. Siapa yang benar-benar ingin terikat dengan putri manja itu? Lagipula, Laras bahkan bukan adik kandungnya. Hanya kita yang tahu rahasia itu.*
Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan fisik, membuatku sesak napas dan kedinginan. Mereka bukan saudara seperjuangannya. Mereka adalah saingannya. Dan aku... aku hanyalah hadiah yang harus mereka menangkan untuk mengamankan posisi mereka, alat untuk digunakan. Laras-lah yang benar-benar mereka dambakan.
Aku teringat hari ayahku membawa mereka ke sini, tujuh anak laki-laki yatim piatu yang berbakat, Kenan yang paling kuat. Dia hanya membuat satu permintaan: agar Laras, seorang gadis Omega lemah dari panti asuhan yang sama, ikut bersamanya. Ayahku, yang melihat kesetiaannya yang kuat sebagai suatu kebajikan, telah setuju.
Selama bertahun-tahun, setiap kali Laras dan aku berselisih paham sekecil apa pun, Kenan dan yang lainnya akan bergegas ke sisinya. Aku selalu yang terlalu keras, terlalu menuntut. Dia adalah Omega yang rapuh; aku adalah putri Alpha yang seharusnya lebih tahu.
Sekarang, melihat ciuman itu, mendengar bisikan mental itu bergema di ingatanku, semuanya menjadi jelas. Perasaan Kenan pada Laras bukanlah persaudaraan. Itu posesif. Dia akan menjadi pasanganku, Alpha-ku, untuk membalas kebaikan ayahku. Dia akan memberiku kesetiaannya, perlindungannya, namanya.
Tapi dia tidak akan pernah memberiku hatinya. Itu, sudah dia berikan pada orang lain. Dan aku tidak akan puas menjadi yang nomor dua.