Hari itu, udara di kota terasa panas, bahkan untuk musim semi. Aku berjalan di trotoar kampus, menenteng tas yang beratnya lebih karena buku daripada harapanku sendiri. Matahari menyorot di kaca mata hitamku, membuatku merasa lebih terisolasi dari dunia luar. Menjadi introvert bukan sekadar pilihan, tapi perlindungan. Aku ingin berada di balik layar, diam, tidak terlihat, tidak terdengar. Namun, diamku selalu diganggu oleh sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri-takdir, rupanya, dan keluargaku.
Ibu memutuskan menikah. Sekali lagi. Tapi kali ini bukan pria biasa. Aku melihat undangan pernikahan itu di meja makan, dengan huruf emas yang mewah, hampir seperti pengumuman publik tentang sebuah kerajaan. Nama pria itu, Kaelion Verez Montefalco, tidak asing bagi mereka yang mengikuti berita gelap dunia bawah tanah Italia Selatan. Dia bukan sekadar mantan mafia; dia adalah legenda yang hidup, pewaris dan kepala keluarga Montefalco. Dan kini dia menjadi saudara tiriku.
Rasanya seperti hidupku dilempar ke pusaran badai tanpa peringatan.
Pertama kali aku bertemu Kaelion, dia sudah menunggu di ruang tamu rumah baru ibu dengan senyum dingin yang membuat kulitku merinding. Tubuhnya tinggi, tegap, dengan mata yang mampu menembus kedalaman pikiranku. Rambutnya hitam seperti malam tanpa bulan, dan setiap gerakannya penuh kekuasaan. Aku sudah membaca banyak tentangnya-kisah-kisah kekejamannya, pengaruhnya, bahkan rumor bahwa dia bisa menghancurkan hidup seseorang hanya dengan bisikan. Dan kini, dia menatapku seolah menimbang apakah aku layak hidup di dunia yang sama dengannya.
"Jadi, ini kamu," ucapnya, suaranya rendah, bergetar tapi mengandung ancaman yang tak perlu dijelaskan. "Aku mendengar banyak hal tentangmu. Seseorang yang memilih diam di dunia yang berisik... menarik."
Aku menelan ludah. "Aku... hanya ingin fokus pada kuliah, Pak Kaelion."
Dia tersenyum, tapi senyum itu bukan senyum ramah. Itu senyum penguasa yang tahu kekuatan dan kelemahannya sendiri. "Fokus pada kuliah... atau fokus pada hidupmu? Kadang kedua hal itu bertentangan."
Sejak saat itu, hidupku tidak pernah sama. Kaelion selalu ada, entah di kampus ketika aku pulang, atau di rumah saat aku berharap bisa menikmati kesunyian. Dia hadir dalam mimpi-mimpiku, dan aku mulai menyadari bahwa setiap langkahku selalu diperhitungkan olehnya.
Ibu, tentu saja, tidak melihat apa yang kulihat. Bagi ibu, Kaelion adalah kebahagiaan terakhirnya, pria yang bisa membuatnya merasa aman dan diperhatikan. Aku mencoba tersenyum setiap kali mereka berbicara tentang masa depan mereka, tetapi hatiku seperti ditekan oleh sesuatu yang berat. Aku tidak bisa menjelaskan rasa takut itu kepada siapa pun, karena itu lebih dari sekadar rasa takut-itu adalah insting bertahan hidup.
Malam itu, aku duduk di kamar baru yang harus kutempati sejak ibu menikah. Pintu kamar berderit ketika aku menutupnya, dan aku menatap dinding kosong. Semua barangku masih terserak, tapi rasanya tidak ada yang benar-benar milikku lagi. Dunia ini terasa asing, bahkan rumah yang seharusnya memberiku kenyamanan kini terasa seperti labirin yang penuh pengawasan.
Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan. Kaelion berdiri di ambang pintu, tangannya di saku celana hitamnya. "Tidakkah kamu ingin keluar dan berbicara? Dunia di luar kamar ini lebih menarik daripada yang kamu bayangkan."
Aku menatapnya, mencoba menyembunyikan rasa takutku. "Aku... capek, Pak Kaelion. Hari ini panjang."
Dia melangkah masuk, menutup pintu dengan lembut tapi tegas. Aroma parfum mahalnya memenuhi ruangan, campuran aroma kayu dan logam dingin. "Capek, ya? Kamu harus terbiasa. Dunia ini tidak memberi ruang untuk kelelahan. Setiap langkahmu akan diperhitungkan. Setiap keputusanmu bisa menjadi kelemahan atau kekuatan."
Aku menarik napas panjang. "Aku bukan bagian dari dunia ini. Aku hanya ingin... diam, belajar, hidup biasa."
Dia tertawa, tapi bukan tawa biasa. Itu tawa yang menusuk, seperti peringatan. "Biasa? Dunia ini tidak mengenal yang biasa. Kamu pikir karena kamu mahasiswa dan tinggal di rumah ibumu, kamu bisa bebas dari pengaruhku? Aku adalah bayangan yang selalu ada, apakah kamu suka atau tidak."
Kata-katanya seperti belenggu. Aku merasa kaki dan tanganku terikat oleh rantai yang tidak kasat mata. Dia bisa mengendalikan hidupku, bahkan tanpa menyentuhku. Dan aku tahu satu hal: menentangnya bukan pilihan.
Hari-hari berikutnya menjadi latihan bertahan hidup. Aku belajar kapan harus diam, kapan harus berbicara, kapan harus bergerak. Kaelion selalu tahu tempatku, selalu tahu siapa yang kuhubungi, selalu memiliki rencana cadangan untuk setiap langkahku. Bahkan teman-temanku yang sebelumnya aku anggap aman, kini mulai bertingkah aneh karena dia... hadir di mana-mana, entah bagaimana.
Sekali waktu, aku mencoba memberontak. Aku menolak ajakannya untuk makan malam bersama keluarga, memilih tetap di kamar membaca buku. Tapi dia muncul di balkon kamarku, berdiri di sana tanpa sepatah kata pun. Aku merasa matanya menembus dinding, menembus kaca, menembus pikiranku.
"Berdiam diri terlalu lama bisa berbahaya," ucapnya, akhirnya. "Dunia ini keras. Dan kamu... kamu harus lebih keras."
Aku menunduk, merasa seolah dunia ini menyempit. Aku membenci kehadirannya. Aku membenci cara dia menguasai ruang dan waktu. Tapi bersamaan dengan itu, aku merasa ada magnet yang tak bisa kuhindari, sesuatu yang membuatku ingin memahami pria ini, meskipun setiap pemahamanku datang dengan harga nyawa-atau setidaknya harga kebebasan.
Malam itu, aku menangis diam-diam di bantal. Aku menyadari satu hal: hidupku tidak akan pernah normal lagi. Tidak akan pernah damai. Semua mimpiku tentang ketenangan dan privasi kini hanyalah bayangan yang mudah hancur. Aku hidup di dunia yang dikuasai Kaelion Verez Montefalco, dan aku adalah pion di papan catur yang hanya dia pahami.
Hari demi hari, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih kompleks daripada takut atau benci. Ada rasa penasaran yang tidak kuinginkan, rasa ingin tahu tentang pria yang tampaknya bisa menghancurkanku dengan satu senyuman. Dan aku mulai sadar, meskipun aku membencinya dengan seluruh hati, ada bagian dalam diriku yang ingin... memahami, ingin tahu, dan mungkin, pada titik tertentu, menentangnya dengan cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Namun saat itu, aku masih seorang gadis yang hanya ingin belajar dan hidup damai. Dan Kaelion, dengan segala kekuasaannya, telah mengambil semuanya dariku sebelum aku sempat bersiap.
Aku tahu satu hal: bertahan hidup bukan hanya soal menghindar. Aku harus belajar bergerak, merencanakan, dan berpikir lebih cepat daripada bayangan yang selalu mengikuti langkahku. Tapi bagaimana caranya mengalahkan seseorang yang selalu ada di mana-mana, seseorang yang sepertinya tahu segala hal tentangmu bahkan sebelum kau menyadarinya sendiri?
Itulah pertanyaan yang terus menghantui setiap detik hidupku, di setiap langkahku di rumah baru ini, di setiap napas yang kuhela, dan di setiap malam yang membuatku terjaga.
Aku tidak tahu bagaimana kisah ini akan berakhir. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa keluar dari dunia yang Kaelion ciptakan untukku. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan menyerah begitu saja. Karena meskipun aku hanyalah seorang gadis biasa, aku memiliki satu kekuatan yang mungkin dia remehkan: tekad untuk tetap hidup, tetap bebas, dan suatu hari, mungkin, menulis kembali nasibku sendiri.
Dan itu adalah awal dari segalanya.