Namun, keluarganya-terutama mertua-memperlakukan Laras dengan sangat baik. Mereka menatapnya dengan mata yang penuh kasih, menanyakan kabarnya, selalu memastikan bahwa ia makan dengan cukup, dan bahkan membantunya dengan urusan rumah tangga. Mereka ingin menutupi kesedihannya, tapi Laras tahu, perhatian mereka juga seringkali terasa seperti pengingat bahwa ia kini sendiri.
Di antara semua orang itu, ada satu sosok yang selalu membuatnya merasa berbeda: Rizqan, abang iparnya. Rizqan bukan sekadar sosok keluarga yang hangat; ada sesuatu di matanya yang selalu membuat Laras merasa diperhatikan secara lebih mendalam. Awalnya ia mengira itu hanya perhatian biasa-peduli karena Laras kehilangan suami. Tapi lama-kelamaan, ia mulai melihat tatapan yang lebih lama, senyum yang lebih lembut, dan sikap yang selalu membuatnya merasa aman.
Malam itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Laras duduk di ruang tamu, memeluk lututnya sendiri sambil menatap kaca yang memantulkan air hujan. Hatinya bergemuruh, campur aduk antara kesedihan, kesepian, dan rasa rindu yang tak bisa diungkapkan. Ia menyesal karena tidak bisa memeluk suaminya untuk terakhir kali, tidak bisa berkata-kata lagi, dan kini hanya bisa menatap kenangan yang tersisa.
Langkah kaki terdengar dari arah tangga, dan Rizqan muncul membawa dua cangkir teh hangat. "Aku buatkan teh hangat, biar kamu tidak kedinginan," katanya sambil tersenyum. Suaranya lembut, namun ada getaran yang tak biasa di nada bicaranya.
Laras menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Rizqan... Aku... aku tidak ingin merepotkan kalian terlalu banyak," jawabnya pelan.
Rizqan duduk di sampingnya, jarak mereka begitu dekat sehingga Laras bisa merasakan hangat tubuhnya. "Laras, jangan merasa seperti itu. Kami ingin kamu tetap kuat. Aku... aku juga ingin selalu ada untukmu," katanya, menatap mata Laras dengan intensitas yang membuatnya tersentak.
Laras menunduk, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, ada perasaan di balik kata-kata itu-perasaan yang selama ini ia sangka hanya imajinasinya sendiri. Tapi kini, terasa jelas. Ia menatap Rizqan lagi, mencoba membaca makna di matanya.
"Rizqan... aku..." Laras menelan ludahnya. Kata-kata itu sulit keluar. "Aku masih... belum siap untuk... perasaan baru. Aku masih merasa bersalah, dan aku... aku takut kalau aku membiarkan diri merasa nyaman lagi."
Rizqan menghela napas panjang, namun tidak menarik diri. "Aku mengerti... aku juga tidak ingin memaksamu. Tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku, Laras. Aku... aku menyukaimu. Sudah lama. Sejak pertama kali aku melihatmu, sebelum semuanya terjadi..."
Laras menatapnya, terkejut. Hatinya berdebar kencang, dan ada rasa bersalah yang menyelinap-bukan karena tidak mencintai Rizqan, tapi karena ia merasa tidak pantas untuk memulai sesuatu yang baru saat kenangan suaminya masih begitu dekat.
Rizqan meraih tangan Laras perlahan. "Aku tidak ingin memaksamu, Laras. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Kalau kamu tidak membalasnya, aku bisa mengerti. Tapi aku tidak bisa pura-pura tidak peduli lagi."
Malam itu, hujan turun tanpa henti, dan mereka duduk dalam diam, tangan mereka saling menggenggam, saling merasakan kehangatan yang selama ini terpendam. Laras merasa campur aduk-takut, rindu, bersalah, dan anehnya, nyaman.
Seiring malam semakin larut, Laras merasakan tubuhnya semakin dekat dengan Rizqan. Napas mereka saling bersentuhan, dan hatinya seperti menjerit ingin menolak, tapi tubuhnya justru bergerak tanpa sadar mendekat. Rizqan menunduk, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut namun penuh ketegangan, memecahkan kesunyian malam yang dingin.
Setelah beberapa saat, mereka berdua tersadar akan apa yang baru saja terjadi. Laras menarik diri, menatap Rizqan dengan mata yang berlinang air mata. "Rizqan... apa yang kita lakukan... itu salah, kan?" suaranya nyaris berbisik.
Rizqan menatapnya dengan lembut, menepuk pipinya. "Tidak, Laras. Tidak ada yang salah kalau kita saling menghibur. Aku tidak ingin memaksa. Tapi kalau hatimu juga ingin... aku akan ada di sini, selalu."
Laras menunduk, hatinya bergejolak. Ia sadar bahwa malam itu menandai awal sesuatu yang baru-awal dari perasaan yang tak terduga, yang mungkin akan membuat hidupnya lebih rumit, tapi juga memberi harapan yang tak pernah ia pikirkan lagi.
Hari-hari berikutnya, mereka mencoba menjaga jarak tapi selalu berakhir bertemu, saling menatap, dan saling mendukung. Laras mulai menyadari, mungkin Rizqan bukan sekadar abang ipar yang baik. Ia mungkin adalah orang yang bisa menemaninya, mengisi kekosongan yang ditinggalkan suaminya, meski cara mereka menemukan kenyamanan itu tak biasa dan penuh risiko.
Suatu sore, ketika hujan kembali turun dan mereka berada di ruang tamu, Rizqan menggenggam tangan Laras lagi. "Laras, aku ingin kamu tahu... aku tidak ingin terburu-buru. Kita bisa pelan-pelan, tapi aku ingin kamu merasakan bahwa kamu tidak sendiri. Aku ada di sini."
Laras tersenyum, untuk pertama kalinya setelah lama, senyum yang tulus tanpa rasa bersalah. Ia tahu jalan mereka tidak mudah. Ada rasa bersalah yang terus menghantui, ada tatapan keluarga yang mungkin tak sepenuhnya bisa memahami, dan ada perasaan yang masih samar di hatinya sendiri.
Namun malam itu, di tengah hujan dan kehangatan tangan Rizqan yang menggenggam tangannya, Laras merasakan secercah harapan yang belum pernah ia rasakan sejak kehilangan suaminya. Ia memutuskan, perlahan tapi pasti, ia akan mencoba membuka hatinya kembali, meski jalan itu penuh ketidakpastian.
Malam berlalu, hujan reda, dan Laras menatap langit yang mulai cerah. Hatinya terasa lebih ringan, meski masih dipenuhi konflik batin. Ia tahu, perasaan ini mungkin terlarang, tapi juga nyata. Dan di sisi Rizqan, ia menemukan ketenangan yang selama ini dicari-ketenangan yang membuatnya berani menghadapi masa depan, dengan segala risiko yang mungkin akan datang.
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela ruang keluarga, menyoroti ruang yang biasanya sepi sejak kematian suaminya. Laras duduk di sofa, menatap teh yang baru ia seduh dengan tangan yang sedikit gemetar. Rasanya aneh, campuran antara tenang dan cemas. Ia baru saja melewati malam yang berat, dengan percikan emosi yang tak ia sangka akan muncul.
Namun pagi ini, suasana berbeda. Ada rasa berat di udara, seperti rahasia yang menunggu untuk terungkap. Laras tahu, sejak malam itu, hubungan antara dirinya dan Rizqan akan berubah-tidak lagi sekadar perhatian keluarga biasa. Tapi di balik rasa nyaman itu, ada perasaan bersalah yang terus menekan dadanya.
Rizqan muncul dari dapur dengan segelas jus jeruk. Wajahnya terlihat lebih serius daripada biasanya. "Laras, kita perlu bicara," katanya sambil meletakkan gelas di meja. Nada suaranya tegas, bukan lagi lembut seperti malam sebelumnya.
Laras menatapnya, jantungnya berdegup lebih cepat. "Tentang apa?" tanyanya pelan, mencoba menenangkan diri.
Rizqan duduk di seberangnya, menatap lurus ke matanya. "Malam itu... kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Aku tidak ingin kita saling menipu. Aku ingin jujur, tapi aku juga tidak ingin membuatmu tertekan."
Laras menunduk, menyesal sekaligus lega. Ia tahu mereka harus bicara, tapi hatinya berat. "Rizqan... aku masih merasa bersalah. Aku kehilangan suami, dan aku... aku tidak tahu apakah perasaan ini benar atau hanya cara melupakan rasa sakitku."
Rizqan menghela napas panjang. "Aku mengerti. Tapi aku tidak ingin menunggu selamanya. Aku ingin tahu apakah kamu... setidaknya mau mencoba. Tidak perlu buru-buru. Hanya mau mencoba."
Laras menatapnya, mata mereka bertemu. Ada ketegangan yang tak bisa diabaikan, tapi juga rasa ingin tahu yang lama ia kubur dalam-dalam. Ia tahu, jika ia melangkah lebih jauh, ia akan membuka bab baru dalam hidupnya yang penuh risiko.
Hari itu, Laras memutuskan untuk berjalan-jalan di taman rumah. Hujan semalam membuat tanah basah dan aroma dedaunan terasa segar. Saat ia melangkah pelan di jalan setapak, Rizqan muncul dari belakang. "Aku ikut," katanya tanpa menunggu izin.
Laras tersentak sebentar, tapi kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama, diam, hanya mendengarkan suara tetesan air dan angin yang berdesir di dedaunan. Ada kenyamanan yang aneh dalam keheningan itu-keheningan yang bukan sekadar kosong, tapi penuh arti.
Tiba-tiba Rizqan berhenti, menatap Laras. "Aku ingin kamu tahu sesuatu," katanya, menatap lurus ke matanya. "Aku... aku tidak pernah melupakan malam-malam ketika aku merasa kamu sendiri. Setiap kali aku melihatmu sedih, aku merasa ingin melindungimu. Bahkan ketika aku mencoba menjauh, hatiku selalu kembali padamu."
Laras merasa dadanya sesak. Kata-kata Rizqan menembus lapisan pertahanan yang ia buat selama ini. Ia ingin lari, ingin menolak, tapi tubuhnya terasa berat, seperti ditarik ke arah perasaan yang selama ini ia sembunyikan.
Mereka duduk di bangku taman yang basah, dan Rizqan menggenggam tangan Laras lagi. "Aku tidak ingin memaksa. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, Laras. Kapanpun kamu butuh seseorang... aku ingin kamu memikirkan aku."
Laras menunduk, napasnya tertahan. Ia tahu hubungan mereka akan menjadi rumit. Ada keluarga, ada tatapan masyarakat, dan tentu saja, kenangan suaminya yang selalu menempel di hatinya. Tapi ada juga perasaan yang tulus, hangat, dan sulit untuk diabaikan.
Malam hari itu, Laras menatap langit-langit kamarnya, mencoba meredakan kegelisahan yang terus menghantuinya. Ia ingat semua momen bersama Rizqan-senyum yang lembut, perhatian yang hangat, tatapan yang membuatnya merasa aman. Ia tahu, perasaan itu mulai tumbuh lebih dalam, meski hatinya masih penuh keraguan.
Keesokan harinya, suasana di rumah terasa berbeda. Beberapa anggota keluarga tampak lebih hangat terhadap Laras, namun ada juga yang memperhatikannya dengan tatapan penasaran. Laras mulai menyadari, tidak mudah menjaga rahasia ini. Setiap langkahnya kini harus lebih hati-hati.
Siang itu, Rizqan mengajaknya ke ruang kerjanya, sebuah ruangan yang jarang digunakan. "Aku ingin bicara lebih tenang," katanya. Laras mengikuti langkahnya, merasa canggung tapi juga penasaran. Ruangan itu sepi, hanya dihiasi rak buku dan meja kayu besar.
Rizqan menatapnya serius. "Laras... aku tidak ingin kita hanya berhenti di malam itu. Aku ingin kamu merasa nyaman. Aku ingin kita bisa perlahan-lahan membangun sesuatu, meski aku tahu jalan ini tidak mudah. Tapi aku percaya, kita bisa."
Laras menelan ludahnya. Ia ingin percaya, ingin menyerah pada perasaan yang mulai muncul, tapi juga takut terseret terlalu jauh. "Rizqan... aku... aku takut. Takut kalau aku salah melangkah, takut kalau aku mengecewakan semua orang, termasuk diriku sendiri."
Rizqan mendekat, menepuk bahunya. "Aku juga takut. Tapi kita bisa hadapi bersama. Aku akan selalu di sini, tidak peduli apapun yang terjadi."
Hari-hari berikutnya, Laras mulai menyadari adanya perubahan kecil dalam dirinya. Ia lebih sering tersenyum, lebih sering merasa hangat saat melihat Rizqan. Tapi ia juga merasakan tekanan, pertanyaan dari hati nuraninya sendiri tentang kesetiaan pada suami yang telah meninggal.
Suatu sore, ketika hujan ringan turun lagi, Laras memutuskan untuk mengunjungi makam suaminya. Ia berdiri di depan batu nisan, menunduk, dan berbicara dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku... aku masih mencintaimu. Tapi aku juga ingin... mungkin... merasakan kebahagiaan lagi. Maafkan aku kalau aku salah."
Air mata jatuh, dan ia merasakan lega sejenak. Ia tahu, langkah yang ia ambil berikutnya akan menentukan masa depannya. Ia tidak bisa selamanya terjebak dalam masa lalu.
Ketika Laras pulang, Rizqan sudah menunggu di rumah, menatapnya dengan cemas. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya lembut.
Laras tersenyum tipis. "Aku... belum tahu. Tapi aku tahu satu hal. Aku ingin mencoba. Pelan-pelan, tanpa memaksakan apapun. Aku ingin tahu apakah hatiku bisa terbuka lagi."
Rizqan mengangguk, senyumannya hangat. "Aku akan menunggu. Tidak terburu-buru. Aku hanya ingin kamu bahagia, Laras."
Malam itu, Laras duduk di jendela kamarnya, menatap lampu kota yang berkilau. Ia tahu perjalanan ini tidak mudah, tapi untuk pertama kalinya sejak kematian suaminya, ia merasa ada harapan. Harapan untuk menemukan cinta lagi, meski dalam keadaan yang tak biasa dan penuh risiko.
Dan di sisi lain, Rizqan menatap Laras dari ruang tamu, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk-cinta, kekhawatiran, dan keinginan untuk selalu melindungi wanita yang mulai ia cintai. Ia tahu, perjalanan mereka baru dimulai, dan banyak tantangan yang menanti. Tapi ia siap, selama Laras mau melangkah bersamanya.
Malam itu, hujan turun lagi, menutup dunia dengan kesunyian dan ketenangan. Laras menutup mata, mencoba menerima perasaan yang tumbuh perlahan, sementara Rizqan menjaga jarak, memberi ruang namun tetap dekat, sebuah janji tanpa kata yang mereka pahami bersama.