/0/29792/coverbig.jpg?v=b17bc5f0babdbbce849d22cb4a92f651)
menenangkan hatinya yang penuh luka. Sudah hampir sebulan suaminya meninggal, meninggalkan Laras sendirian di dunia yang terasa begitu hampa. Setia
nanyakan kabarnya, selalu memastikan bahwa ia makan dengan cukup, dan bahkan membantunya dengan urusan rumah tangga. Mereka i
ada sesuatu di matanya yang selalu membuat Laras merasa diperhatikan secara lebih mendalam. Awalnya ia mengira itu hanya perhatian biasa-peduli karena La
ulkan air hujan. Hatinya bergemuruh, campur aduk antara kesedihan, kesepian, dan rasa rindu yang tak bisa diungkapkan. Ia menyesal ka
teh hangat. "Aku buatkan teh hangat, biar kamu tidak kedinginan," katanya sambi
"Terima kasih, Rizqan... Aku... aku tidak inginbuhnya. "Laras, jangan merasa seperti itu. Kami ingin kamu tetap kuat. Aku... aku juga ingin
kata-kata itu-perasaan yang selama ini ia sangka hanya imajinasinya sendiri. T
"Aku masih... belum siap untuk... perasaan baru. Aku masih merasa bersa
k ingin memaksamu. Tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku, Laras. Aku... ak
g menyelinap-bukan karena tidak mencintai Rizqan, tapi karena ia merasa tidak p
s. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Kalau kamu tidak membalasnya
reka saling menggenggam, saling merasakan kehangatan yang selama ini terpe
, dan hatinya seperti menjerit ingin menolak, tapi tubuhnya justru bergerak tanpa sadar mendekat. Rizqan menunduk,
i. Laras menarik diri, menatap Rizqan dengan mata yang berlinang air mata. "
dak ada yang salah kalau kita saling menghibur. Aku tidak ingin mem
atu yang baru-awal dari perasaan yang tak terduga, yang mungkin akan membuat hi
Laras mulai menyadari, mungkin Rizqan bukan sekadar abang ipar yang baik. Ia mungkin adalah orang yang bisa menemaninya
m tangan Laras lagi. "Laras, aku ingin kamu tahu... aku tidak ingin terburu-buru. Kita bi
tahu jalan mereka tidak mudah. Ada rasa bersalah yang terus menghantui, ada tatapan keluarga
erasakan secercah harapan yang belum pernah ia rasakan sejak kehilangan suaminya. Ia memutuskan,
onflik batin. Ia tahu, perasaan ini mungkin terlarang, tapi juga nyata. Dan di sisi Rizqan, ia menemukan ketenangan yang
minya. Laras duduk di sofa, menatap teh yang baru ia seduh dengan tangan yang sedikit gemetar. Rasanya aneh, campuran
p. Laras tahu, sejak malam itu, hubungan antara dirinya dan Rizqan akan berubah-tidak lagi sekadar per
ius daripada biasanya. "Laras, kita perlu bicara," katanya sambil meletakkan g
up lebih cepat. "Tentang apa?" tany
ita tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Aku tidak ingin kita saling
ya berat. "Rizqan... aku masih merasa bersalah. Aku kehilangan suami, dan aku...
ingin menunggu selamanya. Aku ingin tahu apakah kamu... setid
tapi juga rasa ingin tahu yang lama ia kubur dalam-dalam. Ia tahu, jika ia me
mbuat tanah basah dan aroma dedaunan terasa segar. Saat ia melangkah pelan di ja
nya mendengarkan suara tetesan air dan angin yang berdesir di dedaunan. Ada kenyamana
a. "Aku... aku tidak pernah melupakan malam-malam ketika aku merasa kamu sendiri. Setiap kali aku melihat
yang ia buat selama ini. Ia ingin lari, ingin menolak, tapi tubuhnya tera
lagi. "Aku tidak ingin memaksa. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di s
eluarga, ada tatapan masyarakat, dan tentu saja, kenangan suaminya yang selalu menem
uinya. Ia ingat semua momen bersama Rizqan-senyum yang lembut, perhatian yang hangat, tatapan yang memb
ngat terhadap Laras, namun ada juga yang memperhatikannya dengan tatapan penasaran. Laras mu
. "Aku ingin bicara lebih tenang," katanya. Laras mengikuti langkahnya, merasa canggu
m itu. Aku ingin kamu merasa nyaman. Aku ingin kita bisa perlahan-lahan membang
ul, tapi juga takut terseret terlalu jauh. "Rizqan... aku... aku takut. Takut kalau ak
ut. Tapi kita bisa hadapi bersama. Aku akan sel
ering tersenyum, lebih sering merasa hangat saat melihat Rizqan. Tapi ia juga merasakan teka
i di depan batu nisan, menunduk, dan berbicara dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku... aku masih
langkah yang ia ambil berikutnya akan menentukan masa de
ggu di rumah, menatapnya dengan cemas.
satu hal. Aku ingin mencoba. Pelan-pelan, tanpa memaksaka
"Aku akan menunggu. Tidak terburu-bur
anan ini tidak mudah, tapi untuk pertama kalinya sejak kematian suaminya, ia merasa ada hara
khawatiran, dan keinginan untuk selalu melindungi wanita yang mulai ia cintai. Ia tahu, perjalanan mere
tup mata, mencoba menerima perasaan yang tumbuh perlahan, sementara Rizqan menjaga jar

GOOGLE PLAY