Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Halo Vania!
Halo Vania!

Halo Vania!

5.0
1 Bab
15 Penayangan
Baca Sekarang

Dia bernama Vania Putri Ananda. Hatinya hancur ketika melihat pacarnya sendiri menyatakan cinta pada perempuan lain tepat di depan matanya. Tapi siapa sangka? Dia justru dipertemukan dengan lelaki lain tepat di detik yang sama. Bahkan ternyata lelaki itu adalah pacar dari perempuan yang ditembak pacarnya. Anehnya tak seperti dirinya yang hampir meledak, lelaki bernama Fadli itu tampak sangat tenang. Lalu sebenarnya takdir macam apa yang Tuhan siapkan untuk mereka? Dua potongan hati bertemu tepat di hari ketika mereka retak bersama. Mampukah mereka saling mengobati luka satu sama lain?

Konten

Bab 1 Kamu Bodoh Kalau Pergi Ke Sana

"Aku suka sama kamu Amel! Kamu mau jadi pacarku?" Pernyataan cinta diucapkan lantang. Di depannya, seorang gadis terkesiap.

"Ya, aku mau." Dengan senyum bahagia, gadis yang disebut Amel itu menjawab singkat.

Para penonton bersorak. Sepasang lelaki dan perempuan di atas panggung adalah peran utama mereka malam ini. Tepuk tangan berpadu dengan suara drum yang ditabuh oleh teman satu band si lelaki.

Di lihat sekilas, ini seperti kisah cinta di novel remaja yang berakhir bahagia. Tapi sayangnya, ini bukanlah akhir. Ini hanya sebuah permulaan, dan dua orang di atas panggung itu bukanlah tokoh utamanya.

***

"Brengsek lu ya! Bisa-bisanya lu lakuin ini ke gua!"

Suara tamparan menggema memecah kehebohan menjadi hening. Di depannya, seorang lelaki terpaku dengan cap lima jari di pipi kiri. Sedangkan dia sendiri terus menatap penuh amarah.

"Vania? Ngapain kamu di sini?"

Pasti itulah yang akan dikatakan Evan. Lelaki yang telah enam bulan lamanya berhubungan dengan Vania. Pasti suasana Caffe ini akan jadi lebih heboh lagi karena tingkahnya. Pasti akan begitu, jika saja Vania benar-benar melakukannya.

"Van? Vania! Lu gapapa? Kita pergi aja yuk!"

Tubuhnya terguncang. Sesaat kemudian pandangannya teralih pada gadis lain yang duduk di sisinya. Gadis itu bernama Echa. Teman sekelas, sekaligus yang paling mengerti perasaan Vania saat ini. Karena dia juga tahu seberapa besar temannya menyayangi lelaki di atas panggung sana.

Vania sendiri baru sadar bahwa skenario yang terjadi tadi hanya ada dalam bayangannya saja. Kenyataannya dia masih duduk di sini. Dengan dada sesak dan kedua mata memerah. Memandang perempuan yang tengah berbagi cinta dengan lelaki yang adalah kekasihnya.

"Kita pulang aja, ya? Aku nggak tega ngeliat kamu begini."

Echa mengusap pelan lengan sahabatnya. Berharap bisa mengurangi rasa sakit Vania. Walau dia tahu ini sama sekali tidak mudah. Bayangkan saja, pacarmu baru saja secara terang-terangan menyatakan cinta pada perempuan lain tepat di depan matamu.

"Nggak Cha. Aku nggak bisa terima ini terus pulang gitu aja."

Panas di hatinya memuncak. Vania bangkit dari kursinya dan melangkah meninggalkan Echa di meja mereka.

"Van! Wait! Vania jangan!" Echa bangkit dari kursinya namun tak beranjak dari sana.

Sulit sekali menghentikan Vania. Lagi pula Echa tahu benar perangai temannya satu itu. Jika sedang marah, Vania suka berpemikiran pendek. Maka tak aneh jika teriakannya tak diindahkan.

Vania melangkah melewati kerumunan orang yang tengah menyaksikan pertunjukan romantis di atas panggung. Raut wajah dan bening di kedua pipinya menegaskan bahwa hanya dialah yang merasa tidak bahagia di tempat ini.

Hanya sedikit lagi dia akan bisa membuat skenario di dalam kepalanya menjadi nyata. Hanya tinggal beberapa meter dia akan mencapai panggung. Tempat di mana Evan tengah memeluk pacar barunya yang Vania saja tidak tahu siapa.

Tapi tiba-tiba, seseorang menarik tangannya dari belakang.

"Stop!" Ujar sosok itu singkat, padat, dan menyebalkan.

Vania menoleh kemudian mendongak sebab sosok yang memegang tangannya ternyata jauh lebih tinggi dari dia sendiri. Lalu didapatinya seorang lelaki tampan dengan kedua mata yang tampak seperti ikan mati. Menatapnya tanpa ekspresi, namun tidak main-main ketika memegangi tangannya.

"Apa sih? Lepas! Lu nggak tau apa-apa ya jangan sok ikut campur!"

Seperti menemukan mangsa empuk, kini Vania justru menjadikan lelaki itu sasaran amarahnya. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri tapi ternyata pegangan lelaki itu cukup kuat. Hingga semakin dia berusaha, semakin dia menyakiti diri sendiri.

"Kamu bodoh kalau kamu ke sana."

Seperti kesurupan setan, Vania jadi lebih marah lagi. Terlepas dari benar atau tidaknya yang diucapkan lelaki itu, dia sudah terlanjur kesal dengan sikap sok ikut campur yang dilakukan lelaki asing tersebut.

"Lu siapa sih? Freak banget sumpah! Lu tau apa!? Yang di atas panggung itu cowok gua! Cowok gua!"

Vania bahkan sampai mengulangi klaimnya sebanyak dua kali. Menegaskan seberapa dia sakit hati. Tapi raut wajah yang dibuat lelaki itu tetap sama. Dingin, dan seolah tidak peduli.

Suaranya tertelan oleh musik keras yang terdengar dari arah panggung. Ternyata Evan tengah mempersembahkan sebuah lagu romantis berjudul To The Bones kepada pacar barunya.

Mendengar setiap bait lagu yang dinyanyikan Evan membuat hati Vania jadi lebih sakit lagi. Bahkan kini air mata mengalir deras. Tapi sayangnya, lelaki itu masih tampak tidak peduli. Bahkan masih belum melepaskan tangannya.

Ya, itu tidak penting lagi sekarang. Jangankan untuk melepaskan diri dari cengkeraman lelaki asing ini. Bahkan untuk bicara pun Vania sudah tidak sanggup. Hatinya terlalu sakit. Dia bahkan tidak peduli lagi pada pandangan lelaki di depannya.

Tapi di tengah keramaian itu, di antara nyanyian di atas panggung, seruan para penonton, dan tangisannya sendiri. Vania bisa mendengar suara yang lain.

"Aku tau, dan cewek di atas panggung itu, pacarku." Suara itu, berasal dari lelaki di hadapannya.

Vania tersentak. Saking terkejutnya dia sampai berhenti terisak. Kini pandangannya terdongak, menatap lurus lelaki berparas tampan tapi tidak berekspresi. Bahkan kalimat itu diucapkan begitu tenang seolah tidak berarti. Lalu dalam benaknya, muncul sebuah tanya.

"Cowok ini, sama kayak gua?"

Mereka saling menatap tanpa kata. Semua hal di sekitar mereka berdua seolah memutih. Menyisakan dua insan berbeda jenis ini di tengah-tengah. Beginikah rasanya jika di dunia hanya terdapat satu adam dan satu hawa?

Vania sadar bahwa ada seseorang yang bernasib sama dengannya. Tapi di satu sisi, dia juga menyadari bahwa lelaki ini berbeda. Tidak sepertinya, lelaki yang bahkan tidak dia ketahui namanya ini terlihat begitu tenang. Atau lebih tepatnya tidak beremosi.

Sementara beralih cukup jauh dari mereka berdua yang berdiri di tengah kerumunan orang. Terlihatlah Echa yang tak nyaman duduk seolah bokongnya berbisul. Pandangannya terus tertuju pada kerumunan. Mencari keberadaan Vania yang lenyap beberapa menit sebelumnya.

"Ish! Mana sih Vania ini?"

Sempat terpikir bahwa sahabatnya itu akan naik ke panggung dan berbuat keributan. Tapi ditunggu berapa lama, tidak ada orang yang naik ke panggung. Bahkan setelah Evan selesai menyanyikan lagunya, dan sampai lelaki itu turun dari panggung merangkul pacar barunya, Vania tetap tidak terlihat.

"Duh jangan-jangan dia pingsan kegencet!"

Echa bermonolog sambil meraih tas selempang miliknya dan milik sang sahabat yang ditinggalkan Vania di atas meja. Kemudian berjalan terburu-buru mendekati kerumunan. Tapi belum sempat dia bergabung, tiba-tiba saja semua orang membubarkan diri.

"Loh?" Echa melongo. Tanah luas yang semula diisi banyak orang kini tersisa dirinya sendiri.

Semua orang kembali ke bangku mereka masing-masing karena konser telah berakhir. Lalu di sini, Echa celingukan mencari sosok sahabatnya yang malang.

"Loh kok ilang!?"

Malam akhirnya berlalu begitu saja. Sampai pagi menjelang, Vania tetap tidak ditemukan. Mencoba menghubunginya pun percuma. Sebab ponsel, dompet, sampai tanda pengenal gadis itu kini ada di dalam tas yang berada dalam genggaman Echa.

Malam itu, bukannya Vania malah Echa yang menangis. Lebih tepatnya menangis panik karena temannya lenyap ditelan kerumunan dan tidak juga kembali. Echa menunggu sampai Caffe benar-benar tutup. Seperti anjing kecil malang yang menunggu tuannya kembali.

"Vania kamu di mana sih? Aku khawatir beneran loh ini!"

Dia terisak lagi. Rambut panjang yang sebelumnya dia catok berjam-jam kini terurai berantakan. Bahkan waktu setengah jam yang dia habiskan untuk merias wajah pun tidak bisa membuat riasan wajahnya bertahan lebih lama.

Keadaan gadis itu terlalu menyedihkan, sampai para pelayan pun tidak tega menyuruhnya pergi.

"Kamu gih bilang ke dia! Udah malam nih!"

"Ah enggak ah! Kasian. Kamu aja!"

Dua pelayan wanita saling dorong mendorong. Berusaha mengorbankan satu sama lain untuk mendatangi satu-satunya pelanggan yang tersisa di Caffe tempat mereka bekerja. Sampai akhirnya, seorang lelaki berseragam sama seperti mereka melangkah dari arah dapur. Melewati dua wanita begitu saja.

"Minum dulu. Dari tadi kamu kebanyakan nangis. Nanti dehidrasi."

Echa mengangkat wajahnya tak hanya karena suara itu. Tapi juga karena segelas air putih yang diletakkan di atas mejanya. Sedetik kemudian, seorang lelaki tampan berkacamata duduk di seberang meja dan tersenyum padanya.

"Oh, iya. Maaf ngerepotin." Dia mencicit.

Segelas air itu diraih dan diminumnya perlahan-lahan. Sementara lelaki di seberang meja hanya tersenyum sambil memandangnya dengan memangku dagu di tangan kanan.

"Aku nggak kerepotan. Tapi rekan-rekanku kayaknya kerepotan. Kami harusnya udah tutup sejak setengah jam lalu."

Lelaki itu terlalu frontal. Sampai akhirnya Echa menunduk dan siap untuk menangis lagi. Sudah kehilangan teman, sekarang merepotkan orang yang tidak dia kenal. Tiba-tiba saja dia merasa sangat tidak layak hidup di dunia.

Oke, itu berlebihan. Mari kembali ke cerita utama.

"Temanmu pasti udah pulang sekarang. Kamu juga pulanglah. Ya?"

Dia tahu lelaki itu hanya ingin mengusirnya secara halus. Echa juga paham bahwa dia tidak punya kebenaran untuk marah. Karena dialah yang telah banyak merepotkan orang-orang di sini. Karena itu, tanpa banyak membantah dia langsung mengangguk saja.

"Iya. Tolong bilang sama rekanmu, aku minta maaf." Echa mencicit.

Di depannya, lelaki itu tersenyum hingga kedua mata dibalik lensa bening itu menyipit. Tepat setelahnya dia bangkit. Lelaki itu bangkit mengikutinya.

"Kamu minta maaf sendiri aja nanti waktu kamu ke sini lagi." Lelaki itu melipat tangan di depan dada. Senyum masih belum hilang di wajahnya.

Menanggapi hal itu, Echa mengerucutkan bibir. Dengan jejak air mata yang masih tersisa di pipinya, gadis itu tampak imut.

"Pelit!" Dengusnya.

Tawa kecil mengalun dari lelaki di depannya. Echa tidak begitu memperhatikan karena sibuk membereskan tasnya sendiri. Tak lama kemudian, dia berlalu pergi.

Sedikit yang mereka tahu, bahwa malam yang penuh sakit hati itu adalah awal dari sebuah lembaran baru. Lembar buku yang tidak akan bisa mereka tulis sendiri.

Bersambung ....

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY