Prima Jayashree, itulah nama yang diberikan oleh ayahnya saat lahir kedunia. Tumbuh dengan penuh kasih sayang dan dimanja Sang Ayah. Ibunya, sudah meninggal lima belas tahun lalu karena kanker hati. Sebagai satu-satunya pewaris Jayashree Company, apapun yang diminta selalu dituruti oleh ayahnya.
Akan tetapi, kekayaan ayah dan pemenuhan kebutuhan lahir sama sekali belum membuat Prima puas akan hal itu. Terang saja, meski dekat dengan beberapa gadis, tidak ada satu pun yang bisa membuat hatinya bergetar.
"Pagi, Papa!" Prima masuk ke ruangan ayahnya tanpa mengetuk.
"Pagi, Nak! Seperti biasa kamu selalu tampil keren. Sudah cocok gantiin ayah beberapa tahun lagi, nih!" ujar ayahnya.
Prima melebarkan tangan, memperlihatkan penampilan dirinya dengan jas semi formal dengan dalaman kaus turtle neck warna putih.
"Aku setiap hari selalu sekeren Papa."
"Tapi, kamu tidak keren kalau masih jomblo. Papa bisa memperkenalkanmu kepada beberapa putri rekan bisnis Papa. Nanti malam ikutlah dalam acara perayaan kontrak. Ada banyak gadis di sana!" ajak Pak Dev Jayashree. Pria berbadan tambun itu mengulurkan kopi kaleng yang baru saja dia keluarkan dari mesin pendingin mini di atas nakas dekat mejanya.
"Papa gak usah repot-repot. Kalau ada jodoh juga pasti datang sendirinya." Alasan klasik Prima setiap kali diminta ayahnya untuk menikah atau mengajak Sang Putera ke acara-acara formal perusahaan.
"Selalu saja alasanmu begitu!" Pak Dev menepuk pundak puteranya yang tegap nan datar. Pundak itulah yang dia harapkan nantinya untuk meneruskan perusahaan. Pundak yang harus siap menanggung beban kekayaan yang dirasa tidak akan ada habis hingga tujuh keturunan nanti.
Prima melempar pantat di sofa mewah di ruangan ayahnya. Dia memutar tutup kaleng kopi kemudian menenggak sedikit. Tangan yang kekar meraih sebuah katalog furniture rumah di atas meja. Menopang buku tebal itu di atas kaki jenjang yang disilangkan.
"Permisi!" Suara lembut seorang wanita membuat mata Prima teralihkan dari katalog. Wanita dengan rok pendek lima senti di atas lutut dengan atasan berwarna senada itu mengedip nakal ke arah Prima. Rambutnya yang cokelat lurus melewati bahu dibiarkan tergerai dan ujungnya menjuntai melewati bahu. Polesan lipstik warna merah hati menghiasi bibirnya yang tipis. Make up yang natural tidak membuatnya kalah dengan artis Korea. Pokoknya, siapapun lelaki yang berpapasan dengan wanita seakan mampu terhipnotis oleh pesona kecantikannya.
"Pagi, Sayang!" Pak Dev memeluk mesra pinggang wanita yang ramping. Lalu mengecup mesra pipi wanita itu.
Prima tertegun melihat tingkah Sang Ayah langsung di depan mata. Kelopak mata dengan bulu lentik itu mengerjap beberapa kali.
"Ada yang perlu kutandatangi?" tanya Pak Dev pada wanita itu sembari melepaskan tangan yang melingkar di pinggan wanita itu.
"Tentu saja, Tuan!" ucapnya mesra sembari meletakkan map warna biru pudar di atas meja kerja mewah Pak Dev.
Pak Dev mengeluarkan kacamata dari balik saku jasnya kemudian menarik pulpen mewah dari kantong jas di dadanya. Pria itu mengambil tempat di kursi direktur. Memeriksa sebentar dokumen yang diberikan wanita tadi lalu membubuhkan tanda tangan setelah semua dirasa benar.
Selagi Pak Dev lengah, wanita itu menoleh ke arah Prima dan kembali melemparkan kedipan nakal. Bukannya terpesona, Prima malah bergidik geli.
"Sudah!" ucap Pak Dev sembari menutup map kemudian menyerahkannya kembali kepada si wanita.
Wanita itu mendekatkan wajah, menggoda dengan menunjukkan belahan tombol kebanggaan.
"Makasih!" ucap wanita itu genit. Dia menarik map kemudian melambai. Meninggalkan Pak Dev dan puteranya di ruangan itu.
"Apa itu tadi, Pa?" Prima masih terheran dengan wanita itu.
"Calon mama baru!"
"Hah?" Prima menelengkan kepala. Berharap ayahnya hanya bercanda.
Tingkah ayahnya semakin aneh saja beberapa tahun belakangan.
"Mana mungkin calon mamaku sepantaran denganku!" protes Prima pada ayahnya yang sedang tersenyum menyeringai.
"Hahaha, Prima ... Prima! Gak apa kalau Papa bersenang-senang saja sedikit menikmati masa tua. Kamu jangan kalah sama Papa, ya!"
"Pa!"
"Ya sudah, Papa tinggal dulu. Pokoknya kamu harus dapat pacar akhir tahun ini!"
Pak Dev melepas kacamatanya, mengedip nakal ke arah putra semata wayang yang duduk santai di sofa mewah ruang kerja. Sepeninggal ayahnya dari ruangan itu, Prima melengos asal-asalan, menegadahkan kepalanya ke langit-langit sambil bersandar pada daun sofa.
Prima memijat kepalanya yang tidak sakit. Pikirannya mulai melayang jauh tentang bagaiman jika wanita yang barusan itu benar-benar menjadi ibu sambungnya. Bisa-bisa dia ikut campur segala urusan batin Prima. Terlebih lagi, wanita itu ebih cocok menjadi saudara perempuan dibandingkan menjadi ibu karena sepantaran. Prima bergidik geli, dia berdecak, bibirnya kemudian bergetar.
"Sudah mulai jadi sugar daddy!"
Tingkah ayahnya di kantor sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan seperti itu. Dibalik wibawa Sang Ayah yang selalu dia kagumi sebagai seorang pemimpin, kecerdasan dalam mengkoordinir tim dan ketegasan tanpa pandang bulu, Prima baru menyadari tingkah ayahnya itu sekarang. Seakan menyindir dirinya yang sampai saat ini masih menikmati masa lajang.
Terang saja, Pak Dev masih terlihat awet muda meski usianya sudah nyaris memasuki usia lima puluh dua tahun. Jika mereka berjalan berdua dalam sebuah kesempatan, Prima dan Pak Dev bahkan terlihat seperti kakak beradik. Kesalahpahaman di mata orang-orang yang sering terjadi. Tidak hanya itu, tubuh Pak Dev masih tampak bugar karena sering menyempatkan diri untuk berolahraga di waktu senggang.