Prastu menemukan seorang wanita tergeletak di trotoar. Wanita itu bernama Erika Hana, seorang manager yang bekerja untuk sebuah industri makanan. Karena janji orang tua keduanya di masa lalu, mereka terpaksa harus bertunangan tanpa cinta.
Prastu menemukan seorang wanita tergeletak di trotoar. Wanita itu bernama Erika Hana, seorang manager yang bekerja untuk sebuah industri makanan. Karena janji orang tua keduanya di masa lalu, mereka terpaksa harus bertunangan tanpa cinta.
Wanita itu masih berbaring di tempat tidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku menemukannya tergeletak di trotoar dalam perjalanan pulang dari kedai mie ayam milikku. Aku tidak kenal wanita itu sama sekali. Mungkin dia terlalu banyak minum alkohol namun kalau kuperhatikan wajahnya, dia sama sekali tidak terlihat seperti wanita pemabuk atau wanita yang bekerja di klub malam.
Aku tidak bermaksud buruk terhadapnya, hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantu wanita itu supaya tidak kedinginan di luar sana saat hujan begini. Bajunya sudah ku ganti dengan yang kering. Meski ukurannya kebesaran, setidaknya dia tidak akan masuk angin karena mengenakan baju yang basah.
Sambil menunggunya bangun, aku menyibukkan diri bermain playstation. Memasang semua kabel penghubung ke smart TV. Logo produsen muncul begitu kutekan tombol pada remote. Selanjutnya, aku menekan tombol untuk menghubungkan ke playstation. Menu game kemudian muncul. Sudah lama sekali aku tidak memainkan playstation yang sudah lama kubeli ini.
"Siapa?"
Terdengar suara parau dari belakang.
"Sudah bangun?" tanyaku tanpa menoleh ke sumber suara karena mataku fokus pada layar dan jariku asik menekan konsol.
"Ke ... kenapa aku di sini?"
Aku tidak langsung menjawab. Suara konsol game terdengar lebih menyenangkan.
"Kamu siapa?" tanyanya lagi.
Aku masih tidak memperdulikannya dan fokus pada permainanku. Lalu tiba-tiba saja layar smart TV berubah jadi gelap.
"Aish! Lagi seru, nih!" umpatku.
Wanita itu mengacungkan remote, seakan-akan benda itu adalah senjata. Rambut hitam panjang sebahu wanita itu terlihat lepek dan kusut. Mata sipitnya melebar.
"Kamu siapa? Kenapa aku di sini?"
Aku meletakkan konsol game di lantai, berdiri dan pelan-pelan mendekat. Tatapan matanya awas. Sembari terus mengarahkan remote seperti mengarahkan pistol, dia mundur selangkah-selangkah seiring dengan langkahku yang maju mendekat.
"Bingung?"
"Apa maksudnya itu? Tentu saja aku bingung. Bangun-bangun ada di rumah orang asing!" nadanya mulai meninggi.
"Justru aku yang bingung. Lagian, kamu ngapain tidur di trotoar malam-malam begini? Apa kamu mabuk?"
Aku mendekatkan wajahku lalu mengendusnya.
"Gak bau alkohol sama sekali."
Kaki jenjangnya terus melangkah mundur hingga masuk kembali ke kamar.
Aku duduk di tepi tempat tidur sementara, dia tetap waspada, menjaga agar bagian depan badannya tetap berhadapan denganku.
"Aku mau pulang!" rengeknya.
Dengan santai aku meraih gorden, menyibak nya. Menunjuk suasana di luar, begitu gelap di tengah derasnya hujan.
"Masih hujan deras di luar. Sudah larut malam juga."
"Pokoknya aku mau pulang!"
Degar!
Petir menggelegar di luar sana, bak lampu flash kamera yang memotret objek. Wanita itu merosot ke lantai sambil menutup kedua telinga dengan tangan kurusnya.
"Yakin berani pulang sendiri?" tanyaku sambil menyilangkan kaki.
"Pokoknya aku mau pulang, titik!" bentaknya.
"Oke!"
Aku menarik tangan yang menempel di telinganya, mengantarnya ke pintu kemudian menghempas tubuhnya keluar, mengunci pintu secepat mungkin.
Bukannya bermaksud kasar terhadap wanita tapi, dia sendiri yang merengek ingin pulang.
Degar!
Petir kembali menggelegar di langit dalam waktu sepersekian detik.
"Buka! Buka pintunya!" teriak wanita itu dari luar.
Dia menggedor pintu dengan keras.
"Buka pintunya, woy!"
"Pulang saja sendiri!" teriakku dari dalam.
Bukannya berhenti menggedor pintu, dia malah menggedor semakin keras. Nyaris memecah gendang telinga.
"Berisik! Katanya mau pulang?" bentakku sembari membuka pintu lebar-lebar.
Wanita itu terisak, mengedikkan bahu mendengar bentakanku.
"Masuk!" perintahku.
Dia masuk dengan langkah lunglai, menunduk dan takut. Namun begitu melewatiku yang berdiri memegang pintu, dia berlari ke ruang tamu, duduk di lantai beralaskan karpet berwarna biru muda.
"Merepotkan!" umpatku pada diri sendiri.
Aku melenggang ke belakang konter dapur. Mengambil gelas kaca lalu memenuhinya dengan cairan berwarna bening dari dispenser. Aku membawanya ke hadapan wanita itu.
"Tenang dan minum dulu!"
Gemang, tangan wanita itu merebutnya dengan kasar, nyaris tumpah namun diteguknya juga cairan berumus kimia H2O itu, habis dalam sekali teguk bak seorang kelana dari gurun pasir yang menemukan oasis.
Aku bersila berhadapan dengannya di atas karpet.
"Jangan dekat-dekat!" bentaknya.
Aku mengusap wajah, mengela napas dan mengembuskannya kasar.
"Mau aku keluarkan lagi atau bagaimana?" Kutatap dalam-dalam matanya yang basah.
Lagi-lagi, dia hanya terisak.
"Aku bukan orang jahat, Nona!"
Dia memeluk lutut.
"Kalau lapar, di atas meja makan ada bubur. Mungkin udah sedikit dingin tapi, masih layak makan, kok. Kamu mau pulang pun gak bisa!"
Derau air di luar sana semakin deras, hujan malam ini tidak akan mereda dalam waktu singkat.
"Besok aku harus tunangan, kalau gak pulang malam ini apa kata orang tuaku nanti?" ucapnya lirih.
"Kalau hujannya sederas ini tidak akan segera mereda. Di luar juga bahaya!" Aku mengingatkan.
"Malam ini boleh pakai kamarku, aku tidur di kamar sebelah," ucapku sembari meninggalkannya yang masih duduk memeluk lutut.
Aku masuk ke dalam selimut putih. Meski mencoba untuk memejamkan mata tetap saja alam bawah sadarku tidak dapat mendorongku untuk masuk ke mimpi. Pikiranku terganggu oleh wajah tirus wanita itu. Dari jendela kamar ini, aku melihat dengan jelas hidung pesek yang mengembang dan mengempis karena menarik napas.
***
Sudah jam setengah dua belas malam, sejak dia merengek ingin pulang aku jadi hanya mengerjap- ngerjapkan mata di atas kasur. Entah sudah berapa posisi yang kucoba untuk memaksa diri ke alam mimpi akan tetapi tetap saja, aku mengkhawatirkannya. Tidak tahan lagi dengan perasan gelisah ini, aku menghampirinya. Posisi duduknya tidak berubah, masih memeluk duduk dan menopang dagunya di atas lengan.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
Alih-alih menjawab pertanyaanku dia menangis sejadi-jadinya.
"Eh ... Ssssst!" Aku menempelkan jari telunjuk di bibir. Mencoba menenangkannya.
"Ini tengah malam, bisa-bisa suaramu mengganggu tetangga!" bisikku.
Melihat tingkahnya seperti bocah, aku menepuk pipiku. Entah kenapa aku jadi menyesal membawanya ke sini meski niatku baik.
"Nona, tenanglah!" tegasku sekali lagi.
Mataku berkelana mencari sesuatu untuk menenangkannya lalu, terhenti ketika mataku menangkap bungkus teh hijau di atas konter dapur. Otakku bergerak dengan cepat, memerintah untuk menyeduhkannya teh hijau. Aku kembali padanya dengan cangkir yang mengeluarkan uap, duduk bersila di depannya.
"Minumlah!" Kusodorkan cangkir benda di tanganku kepadanya.
"Ini udah malam, setelah ini tidur, ya!" ucapku kepadanya yang sedang menyeruput teh.
Wanita itu mengangkat wajah, memandangku lekat-lekat.
"Kamu gak ngapa-ngapain aku, kan?" tanyanya penuh curiga.
"Ngapa-ngapain gimana?"
Sejurus kemudian dia mengerutkan badan. Menyadari dia sudah salah sangka, aku menepuk pipi.
"Huft. Jangan negatif thinking begitu. Aku pilih-pilih kalau soal wanita. Aku gak selera sama wanita yang tiduran di trotoar!" ucapku.
Mata wanita itu kembali memincing. Aku sudah salah sangka karena menganggapnya menerima niat baikku.
"Tapi, kamu itu laki-laki. Tampangmu mesum!"
Seenaknya saja berkata begitu. Benar-benar wanita tidak tahu diri. Padahal aku sudah menolongnya sampai mengorbankan waktu tidurku.
"Masih bagus tampangku saja yang terlihat mesum. Kalau kamu dipungut oleh pria mesum beneran gimana?" umpatku.
Matanya memandangku lurus-lurus, menutup seluruh bagian depan tubuhnya dengan lutut.
"Kalau gak percaya padaku, kamu cuma punya satu pilihan. Keluar!" ucapku.
Dia malah membulatkan mata, ujung bibirnya melengkung turun.
"Di luar sana bahaya malam-malam begini. Kamu bisa ketemu pria hidung belang, begal atau anjing liar."
Melihat wajahnya memucat, aku menghentikan kata-kataku.
"Besok pagi aku akan mengantarmu pulang. Sekarang tidurlah!"
"Bener?"
"Kenapa harus bohong?"
Aku berdiri, sekali lagi memperingatkannya untuk kembali tidur. Ragu-ragu, dia melangkah pelan ke kamarku. Menutup pintu kemudian, aku tidak tahu lagi kegiatannya di dalam kamar kesayanganku itu.
Prima Jayashree, seorang pewaris keluarga Jayashree yang sudah naik tahta menjadi seorang CEO di perusahaan ayahnya, Jayashree Company. Prima dituntut untuk segera menikah dan memiliki pewaris selanjutnya Jayashree Company. Tuntutan itulah yang membawa Prima untuk liburan ke Jepang demi melepaskan rasa frustasinya. Dipandu oleh teman lama yang bekerja di Jepang, Prisma berkeliling kota Tokyo. Di hari kedua tour, Prima membaca sebuah selebaran yang menyewakan keluarga untuk menemaninya. Berbekal bahasa Jepang yang kurang fasih, Prima kemudian menyewa keluarga dengan anggota seorang istri dan seorang anak. Akan tetapi, di hari terakhir penyewaan, Prima berpikir untuk membawa anggota keluarga sewaannya pulang ke Indonesia. Akankah Prima berhasil membawa keluarga sewaan menjadi keluarga yang sesungguhnya meski harus mendustai Sang Ayah?
Ini tentang Zhea Logari Gadis SMA yang dijual ibu tirinya pada seorang germo sekaligus Mafia terkemuka di kota Malta. Bukannya dijadikan budak, Zhea malah dijadikan seorang putri. Yang mana hal itu membuat kakak tirinya berusaha menghalalkan segala cara untuk menggantikan posisi Zhea.
Cerita bermula, ketika Adam harus mengambil keputusan tinggal untuk sementara di rumah orang tuanya, berhubung Adam baru saja di PHK dari tempat ia bekerja sebelumnya. "Dek, kalau misalnya dek Ayu mau pergi, ngga papa kok. " "Mas, bagaimanapun keadaan kamu, aku akan tetap sama mas, jadi kemanapun mas pergi, Aku akan ikut !" jawab Ayu tegas, namun dengan nada yang membuat hati kecil Adam begitu terenyuh.
WARNING 21+ā¼ļø (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
BANYAK ADEGAN DEWASA ++ Niat mencari pemandangan indah di kampung neneknya, Bayu justru terpikat janda muda yang cantik dan molek. Meski sudah mempunyai pasangan di kota, Bayu tak bis menahan hasratnya terhadap Lina. Lantas bagaimana akhirnya? BACA SELENGKAPNYA
Neneng tiba-tiba duduk di kursi sofa dan menyingkapkan roknya, dia lalu membuka lebar ke dua pahanya. Terlihat celana dalamnya yang putih. āLihat Om sini, yang deket.ā Suradi mendekat dan membungkuk. āGemes ga Om?ā Suradi mengangguk. āSekarang kalo udah gemes, pengen apa?ā āPengen⦠pengen⦠ngejilatin. Boleh ga?ā āEngga boleh. Harus di kamar.ā Kata Neneng terkikik. Neneng pergi ke kamar diikuti Suradi. Dia melepaskan rok dan celana dalamnya sekaligus. Dia lalu berbaring di ranjang dan membentangkan ke dua pahanya.
Lima tahun lalu, aku menyelamatkan nyawa tunanganku di sebuah gunung di Puncak. Insiden itu membuatku cacat penglihatan permanenāsebuah pengingat yang berkilauan, yang terus-menerus ada, tentang hari di mana aku memilihnya di atas penglihatanku yang sempurna. Dia membalasku dengan diam-diam mengubah rencana pernikahan kami di Puncak menjadi di Bali, hanya karena sahabatnya, Amara, mengeluh di sana terlalu dingin. Aku mendengarnya menyebut pengorbananku sebagai "drama murahan" dan melihatnya membelikan Amara gaun seharga delapan ratus juta rupiah, sementara gaunku sendiri ia cibir. Di hari pernikahan kami, dia meninggalkanku menunggu di altar untuk bergegas ke sisi Amara yangāsangat kebetulanāmengalami "serangan panik". Dia begitu yakin aku akan memaafkannya. Dia selalu begitu. Dia tidak melihat pengorbananku sebagai hadiah, tetapi sebagai kontrak yang menjamin kepatuhanku. Jadi, ketika dia akhirnya menelepon ke lokasi pernikahan di Bali yang kosong melompong, aku membiarkannya mendengar deru angin gunung dan lonceng kapel sebelum aku berbicara. "Pernikahanku akan dimulai," kataku. "Tapi bukan denganmu."
Ā© 2018-now Bakisah
TOP
GOOGLE PLAY