Kepala Maya pening bukan main lantas berlari ke kamar. Mengurung diri di sana untuk meratapi nasib gila yang sedikitpun tidak berpihak padanya. Berhari-hari Maya tidak bisa tidur. Terdiam tanpa kata dengan tatapan kosong.
"May."
"Pergi, Ka. Aku mau sendiri." Gumamnya lemah.
Tapi lelaki itu memaksa masuk tidak peduli Maya berteriak marah di wajahnya sekalipun.
"Ayo, menikah!"
Raka menatap serius pada wanita itu, "Tidak perlu merasa khawatir, aku tidak akan membiarkan mu sendiri, May. Kita hadapi semua sama-sama."
Raka Pratama adalah adik kelas Maya di Senior high school, akhir-akhir ini mereka tiba-tiba saja menjadi dekat. Bahkan Maya tebak, Raka diam-diam telah berani menaruh perasaan padanya. Lelaki itu memperhatikan Maya dari atas kebawah. Kondisi yang memang cukup memprihatinkan, dengan sorot sayu tak berdaya begitu.
Maya terduduk lemas disudut kamar gelap mencekam. Tidak ada pencahayaan lampu, hanya mengandalkan setitik cahaya yang terpancar dari luar. Maya menenggelamkan kepala diantara kedua lututnya, tubuhnya bergetar hebat, isak tangisnya membuat Raka semakin merasa sakit.
Tak tahan berlama-lama, membiarkan wanita yang dicintainya merasakan sesak sendirian. Perlahan Raka rengkuh Maya kedalam pelukannya, membenamkan kepala Maya pada dada bidang miliknya. Ia elus lembut surai panjang Maya. Menyalurkan ketenangan, berharap wanita itu merasa lebih baik.
"Aku yang akan bertanggungjawab, May. Kita besarkan bayinya bersama." Ucap Raka pelan yang ia kira dapat membuat wanita itu lega.
Raka hapus jejak air mata, disetiap sudut wajah Maya, tatapan matanya sulit diartikan. Namun sedetik kemudian Maya menemukan rasa takut bercampur iba terpancar jelas dimatanya.
"Jangan menangis lagi, May."
Katakanlah Maya hebat dalam menilai. Rasa takut lebih terlihat jelas tersirat dimata Raka dan Maya dapat menyadarinya meski laki-laki itu telah bersusah payah menyembunyikan. Lantas menggeleng bersama senyum kecut menyertainya.
"Tidak."
"Tapi, May. Kandunganmu akan semakin besar. Sementara kita tidak tahu di mana Jordan berada sekarang."
Maya berdiri, menghampiri cermin besar disebelah ranjangnya. Menatap pantulan dirinya sendiri di sana. Memperhatikan setiap jengkal tubuhnya yang semakin hari semakin kurus saja, kemudian ia jatuhkan pandangan pada bagian perut.
Masih terlihat datar, Maya menyentuhnya dengan tangan bergetar. Rasanya semakin sesak mengetahui ada kehidupan lain didalam sana.
"Bagaimana bisa aku akan menjadi seorang ibu, Ka? Usiaku bahkan belum genap 18 tahun."
Air mata kembali berkumpul di rongga mata. Maya merasa benci pada dirinya sendiri, menyalurkannya dengan memukul-mukul gambaran dirinya sendiri didalam cermin itu.
"Aku tidak siap, Ka. Bagaimana kalau orang tuaku tahu?"
Jijik sekali rasanya jika harus mengingat kala dirinya terbuai dengan bujuk rayu sang kekasih. Kata-kata cinta Jordan melambungkan perasaan Bella setinggi-tingginya. Terlena akan sentuhan memabukan yang membawanya pada kenikmatan sesaat dan berakhir malapetaka.
"Aku masih ingin sekolah, Ka. Masih ingin melanjutkan cita-cita ku. Ka, aku harus apa?" Tangis pilu kembali menggaung di ruangan, menyesakkan hati Raka.
Jordan Elders, ayah dari janin yang kini berkembang dalam perutnya, seolah tak peduli dengan keadaan Maya. Bahkan sudah dua minggu lamanya Maya tak menemukan keberadaan laki-laki itu. Di manapun.
Menghilang bak ditelan bumi. Menjadi seorang bajingan setelah berhasil meniduri Maya.
***