/0/5575/coverbig.jpg?v=fc1b12f1b88558f4d5c99de4fc26d905)
Sebulan setelah pesta meriah akad pernikahanku dengan Mas Rio, konon lelaki yang bergelar suami itu, menikah siri dengan pacarnya sekaligus sahabatku. Kami hidup seatap. Namun, sikap Mas Rio dan Marta hanya menganggapku setan, menjadi yang ketiga. Aku diperlakukan tak selayak istri, pun tak sebagai pembantu. Intinya, aku hanya dianggap pajangan. Pajangan yang hanya mengambil tempat. Namun, tak berarti sama sekali. Entah apa yang merasuki Mas Rio, hingga suatu malam dia mendatangi kamarku dan mengambil paksa kehormatan yang selama ini kujunjung tinggi. Di pagi hari, barulah aku tahu jawabannya. Saat istri terkasihnya-Marta. Berteriak histeris akibat cemburu. Setelah mengetahui, kehormatan itu adalah ganti mahar agar tak sia-sia, jantungku seakan berhenti berdetak. Harga diriku sebagai istri dan wanita, sungguh telah terinjak-terinjak menjadi berkeping-keping. Aku melajukan motor di pagi buta untuk menceritakan kebobrokan rumah tanggaku kepada orang tuaku dan orang tua Mas Rio. Namun, sayang jauh panggang dari api. Pernikahan itu memang direncakanan karena ketiadaan cinta. Ke manakah hendak mengadu? Jika aku memang hanya dijadikan tumbal? Baiklah, aku akan pergi. Mencari obat pada luka di hati, mencari penawar pada lara di sukmaku. Kukirim tulisan pesan pamit ke nomor Mas Rio sebelum menghilangkan semua jejak tentang di mana keberadaanku. Selamat tinggal tanah kelahiran.
"Aku menunggu dudamu, Mas," ucap Marta sambil memeluk lelaki di sampingku saat kami masih berdiri di pelaminan hari ini..
Gadis cantik dan bohay itu menatapku nanar, tangannya mengenggam erat Mas Rio. Lelaki yang beberapa jam lalu sah menjadi suamiku itu, pun membalasnya tak kalah mesra. Air mata tak sengaja ikut luruh menyelami kesedihan mereka.
Cemburu? Tentu saja tidak. Aku tahu mereka memang telah berpacaran, bahkan biasa ikut menemani makan di kala mereka bertemu. Toh, kami memang berteman.
Aku dan Mas Rio dijodohkan. Ayah kami bersahabat sejak kecil. Dan anehnya, perjodohan itu berlangsung sejak masih orok katanya. Hingga di sinilah kami terjebak dalam situasi rumit.
Semua tatap mata teman-teman dan orang yang tahu tentang soal pertemanan ini ikut mengadili, seakan memvonis akulah sahabat tak punya nurani.
"Dasar pagar makan tanaman!"
"Perempuan nggak punya malu."
"Nggak punya hati."
"Kecentilan."
"Buang aja kelaut teman kayak gitu."
"Mending berteman sama monyet daripa teman seperti ini."
Berbagai hujatan dari teman dunia nyata dan dunia maya menghiasi gawaiku, meski tak sedikit juga yang membela. Saat mengaktifkan benda canggih itu usai acara pernikahan mewah hari ini.
Ternyata, ribuan komentar nyinyir muncul saat fotoku yang tadi siang diunggah di facebook dengan caption 'Sahabatku mengambil calon suamiku'. Entah siapa yang mengunggahnya? Sungguh bagus judul itu difilmkan di TV ikan teri.
"Kamu puas sekarang?" Mas Rio tiba-tiba muncul dengan wajah penuh amarah, tetapi tak mengurangi ketampanannya sama sekali.
"Untuk?" tanyaku cuek sambil menarik guling memberi dia ruang untuk berbaring di tempat tidur kosong sampingku, yang masih dipenuhi bunga. Ada setitik harap dia berubah pikiran, meski tahu sangat mustahil.
"Kupastikan pernikahan bodoh ini nggak akan lama. Dan aku akan kembali ke Marta!" tegasnya lagi penuh penekanan lalu mengambil selimut dan bantal, kemudian menggelarnya di lantai depan TV.
Ngapain juga dia bersikap lebay gitu? Bukannya kita sama-sama tak mampu menolak keputusan ini?
Halo, apa dia pikir aku nggak punya cita-cita apa? Apa dia kira aku nggak punya pria idaman? Apa? Ah, sudahlah ... toh, nyatanya aku telah jadi istri dari pria yang kupastikan tak mengharap diri ini.
"Belum bisa tidur?" tanyaku saat dia bolak-balik bak roti gulung dan mengganti chanel TV berulang-ulang.
Entah siaran apa yang dicarinya. Sekamar sekarang pun dipastikan sebagai formal, pelengkap rangkaian pernikahan utuh di depan orang tua dan keluarga. Sungguh, pembohongan yang masif dan teratur.
"Hmm ...," jawabnya tanpa membalikkan badan.
Semenjak mengetahui perjodohanku dengannya, tak pernah membayangkan malam pertama seperti pengantin pada umumnya. Dia bereaksi seperti itu saja walau sangat datar, sudah suatu kesyukuran. Setidak, aku merasa tak bersama dengan patung di malam pengantin.
"Makan, yuk!" ajakku setelah dari dapur. Dua porsi nasi lengkap, kuletakkan tak jauh darinya. Ada rasa iba melihat dia menzalimi cacing dalam perutnya. Apa dia mau bunuh diri dengan pernikahan ini? Sungguh lemah!
"Hidup itu dibawa santai aja. Kalau dibikin susah, yah, pasti ribetlah," ujarku lagi sambil melahap daging rendang yang kupanaskan sisa tadi siang. Kemudian menyeruput es jeruk yang sontak mendinginkan suasana kamar yang sedari tadi terasa pengap. Entah kenapa suhu AC tak ada rasanya sama sekali, padahal sudah distel paling dingin.
Pelan dia bangkit, tanpa komentar meraih piring dan jus di dekatnya. Aku hanya senyum dalam hati melihat dia makan dengan lahap. Pasti tak sanggup menahan demo cacing dari perutnya yang sedari tadi bunyi kriuk kriuk.
Benarlah kata orang, perut kosong bisa membuat otak udang, ditambah dengan dompet yang besar doang, tapi hampa melompong. Ditambah pasangan dilarikan orang, dipecat sama atasan. Penderitaan apalagi yang kamu dustakan? Hanya orang beriman yang sanggup sabar di situasi seperti itu.
"Aku lihat kamu tak punya beban." Ucapannya tak seketus tadi. Mungkin dia sudah berpikir jernih setelah perutnya terisi.
"Memang aku bisa apaan?"
"Protes kek, ngamuk kek. Lari, atau ... apalah."
"Kamu sendiri?" Kalimatku pasti menohok hatinya, sekaligus jawaban dari pertayaan tadi.
Kami berada di situasi sama-sama tak mampu menolak dengan rasa bakti kepada orang tua.
***
Sebulan di rumah hasil keringat Mas Rio sejak membujang. Mungkin ini istana kecil perencanaannya dan Marta, untuk merenda hari setelah menikah. Itu terlihat dari penataan ruang khas sentuhan wanita. Artistik, rapi, menarik, mewah, dan elegan.
Kami seatap, tapi berbeda kamar. Itu jugalah salah satu penyebab dia berkeras memboyongku keesokan hari setelah akad dengan alasan bulan madu.
Tak apalah, ini lebih baik daripada di tempat orang tua namun harus terus berlagak mesra. Sungguh menyiksa menjadi pesinetron, berakting bahagia walau sebenarnya hati menangis.
"Pakaian Mas, udah aku siapin di tempat biasa," ujarku sambil menyendokkan nasi di piringnya.
Meski kami tak layak disebut suami istri, tetapi aku selalu mengurus makan, pakaian, dan semua isi rumahnya. Hanya Allah yang tahu di mana akhir rutinitas ini berlangsung.
Mas Rio mengangguk dan kembali ke layar ponselnya. Siapa lagi yang diajak chatingan kalau bukan Marta?
Hampir sepulang kerja, bahkan berangkat lagi ke kantor mereka saling berkomunikasi. Aku tidak tahu kapan dia tertidur, yang pasti dan jelas, telinga ini mendengar percakapan haha hihi mereka yang hanya bersekat dinding dengan kamarku. Sampai aku terlelap, bahkan suara itu kadang membangunkan di kala subuh.
"Besok kamu nggak perlu mengurusku lagi," ujarnya di sela sarapan.
"Nggak perlu ambil pembantu, Mas! Aku bisa mengatur rumah dengan kerjaan kok," sanggahku percaya diri. Bukankah mengambil orang lain akan membuka aib rumah tangga ini? Dan berita itu bisa saja sampai ke telinga orang tua kami.
"Marta akan tinggal di sini," ucapnya tanpa beban.
Melihat sikap Mas Rio, sama sekali tak kaget dengan kalimat pria yang bergelar suamiku saat ini. Hanya saja belum siap ketahuan orang tua.
"Mama, papa?"
"Mereka nggak akan tahu, kalo kamu nggak cerita." Mas Rio menatapku tajam.
"Kami akan menikah siri nanti. Jadi, nggak ada yang kumpul kebo," ujarnya lagi memasukkan nasi goreng terakhir di mulutnya.
Dia tahu pikiranku, mungkin karena selalu melihatku pakai jilbab kemana-mana bahkan di depannya.
"Bersikap baiklah pada Marta," ujarnya lagi sebelum melangkah ke luar.
Akhirnya, sesuatu yang dikhawatirkan itu terjadi. Walau dari awal telah mewanti-wantinya. Kenapa ada gores perih di hati? Apa karena aku memikirkan perasaan orang tua kami? Atau memang murni dari diri yang lemah ini?
Ya, Rabbi, Engkau tak akan menguji seseorang di luar dari kemampuannya. Mudahkanlah hamba melalui ujian ini. Amin.
"Silakan masuk, Mar," ujarku pada Marta saat ia turun dari mobil.
Sejak pernikahanku dengan Mas Rio, kami tak pernah lagi saling menghubungi. Mungkin ini saat memperbaiki persahabatan itu kembali, apalagi dia telah jadi maduku.
Wanita seksi itu tak menjawab, langsung masuk kamar diikuti Mas Rio di belakangnnya yang menarik dua koper besar.
Sebagai anak yang dididik adab sopan santun, aku tetap menyiapkan makanan di atas meja. Meski tidak yakin mereka akan mencicipinya.
Hampir sejam menunggu di meja makan, kuputuskan ke kamar setelah tak ada tanda-tanda mereka akan keluar. Hati ini terasa tercubit, entah bagaimana caraku menghadapi dua manusia beku seperti es nantinya.
Sesampai di kamar, entah bagaimana lagi menggambarkan suasana hatiku mendengarkan tawa cekikikan di ruang sebelah. Antara marah, sedih, merinding, dan camburu bercampur menjadi satu. Namun, tidak mampu berbuat apa-apa.
***
Setelah azan Magrib, aku terbangun. Kepala terasa berat karena tidak biasa tidur jam segini.
Saat ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu, tak sengaja melihat tampilan diri di cermin. Mata tampak bengkak, ternyata sekuat apa menyabarkan diri, air mata tetap tak mau diajak damai. Sungguh lemah diri ini!
Setelah melaksanakan pengaduan panjang kepada Rabb-ku. Rasa lapar menuntun kaki ke dapur.
Aktivitas bercanda di sela makan Mas Rio dan Marta terhenti setelah menyadari kehadiranku. Suasana yang tadi ramai dari hasil pantulan suara mereka tiba-tiba lenyap, tergantikan dengan suara pergerakanku yang mencuci tangan di wastafel, mengambil piring, dan menarik kursi duduk bergabung di meja makan.
"Ini yang terakhir aku memakan masakanmu, selanjutnya Marta akan mengurus semuanya," ucap Mas Rio menatap mesra wanita seksi di depannya. Tangan mereka saling meremas. Sungguh aku hanya dianggap setan menjadi yang ketiga.
"Pokoknya, biar aku semua yang mengatur. Termasuk letak kursi dan barang-barang lainnya." Kembali aku tak bersuara, suara Marta setajam tatap matanya ke arahku, sinis dan meremehkan. Lagian buat apa protes? Paling hanya dianggap seperti suara kentut. Kini aku sadari persahabatan ini tak bisa lagi diperbaiki.
Gegas menyelesaikan makan, lalu mencuci tangan, serta piring yang kupakai tadi. Tak ingin rasanya berlama-lama menyaksikan dua manusia berakting lebay bermesraan.
Aku tahu hanya memanasiku. Tanpa mereka pikir, meski tak dipanasi pun, aku telah terbakar. Hati ini seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak.
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
BERISI ADEGAN HOT++ Leo pria tampan dihadapan dengan situasi sulit, calon mertuanya yang merupakan janda meminta syarat agar Leo memberikan kenikmatan untuknya. Begitu juga dengan Dinda, tanpa sepengetahuan Leo, ternyata ayahnya memberikan persyaratan yang membuat Dinda kaget. Pak Bram yang juga seorang duda merasa tergoda dengan Dinda calon menantunya. Lantas, bagaimana dengan mereka berdua? Apakah mereka akan menerima semua itu, hidup saling mengkhianati di belakang? Atau bagaimana? CERITA INI SERU BANGET... WAJIB KAMU KOLEKSI DAN MEMBACANYA SAMPAI SELESAI !!
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...