Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT
MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT

MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT

5.0
36 Bab
45.9K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Sebulan setelah pesta meriah akad pernikahanku dengan Mas Rio, konon lelaki yang bergelar suami itu, menikah siri dengan pacarnya sekaligus sahabatku. Kami hidup seatap. Namun, sikap Mas Rio dan Marta hanya menganggapku setan, menjadi yang ketiga. Aku diperlakukan tak selayak istri, pun tak sebagai pembantu. Intinya, aku hanya dianggap pajangan. Pajangan yang hanya mengambil tempat. Namun, tak berarti sama sekali. Entah apa yang merasuki Mas Rio, hingga suatu malam dia mendatangi kamarku dan mengambil paksa kehormatan yang selama ini kujunjung tinggi. Di pagi hari, barulah aku tahu jawabannya. Saat istri terkasihnya—Marta. Berteriak histeris akibat cemburu. Setelah mengetahui, kehormatan itu adalah ganti mahar agar tak sia-sia, jantungku seakan berhenti berdetak. Harga diriku sebagai istri dan wanita, sungguh telah terinjak-terinjak menjadi berkeping-keping. Aku melajukan motor di pagi buta untuk menceritakan kebobrokan rumah tanggaku kepada orang tuaku dan orang tua Mas Rio. Namun, sayang jauh panggang dari api. Pernikahan itu memang direncakanan karena ketiadaan cinta. Ke manakah hendak mengadu? Jika aku memang hanya dijadikan tumbal? Baiklah, aku akan pergi. Mencari obat pada luka di hati, mencari penawar pada lara di sukmaku. Kukirim tulisan pesan pamit ke nomor Mas Rio sebelum menghilangkan semua jejak tentang di mana keberadaanku. Selamat tinggal tanah kelahiran.

Bab 1 Madu di Pengantin Baru

“Aku menunggu dudamu, Mas,” ucap Marta sambil memeluk lelaki di sampingku saat kami masih berdiri di pelaminan hari ini..

Gadis cantik dan bohay itu menatapku nanar, tangannya mengenggam erat Mas Rio. Lelaki yang beberapa jam lalu sah menjadi suamiku itu, pun membalasnya tak kalah mesra. Air mata tak sengaja ikut luruh menyelami kesedihan mereka.

Cemburu? Tentu saja tidak. Aku tahu mereka memang telah berpacaran, bahkan biasa ikut menemani makan di kala mereka bertemu. Toh, kami memang berteman.

Aku dan Mas Rio dijodohkan. Ayah kami bersahabat sejak kecil. Dan anehnya, perjodohan itu berlangsung sejak masih orok katanya. Hingga di sinilah kami terjebak dalam situasi rumit.

Semua tatap mata teman-teman dan orang yang tahu tentang soal pertemanan ini ikut mengadili, seakan memvonis akulah sahabat tak punya nurani.

“Dasar pagar makan tanaman!”

“Perempuan nggak punya malu.”

“Nggak punya hati.”

“Kecentilan.”

“Buang aja kelaut teman kayak gitu.”

“Mending berteman sama monyet daripa teman seperti ini.”

Berbagai hujatan dari teman dunia nyata dan dunia maya menghiasi gawaiku, meski tak sedikit juga yang membela. Saat mengaktifkan benda canggih itu usai acara pernikahan mewah hari ini.

Ternyata, ribuan komentar nyinyir muncul saat fotoku yang tadi siang diunggah di facebook dengan caption ‘Sahabatku mengambil calon suamiku’. Entah siapa yang mengunggahnya? Sungguh bagus judul itu difilmkan di TV ikan teri.

“Kamu puas sekarang?” Mas Rio tiba-tiba muncul dengan wajah penuh amarah, tetapi tak mengurangi ketampanannya sama sekali.

“Untuk?” tanyaku cuek sambil menarik guling memberi dia ruang untuk berbaring di tempat tidur kosong sampingku, yang masih dipenuhi bunga. Ada setitik harap dia berubah pikiran, meski tahu sangat mustahil.

“Kupastikan pernikahan bodoh ini nggak akan lama. Dan aku akan kembali ke Marta!” tegasnya lagi penuh penekanan lalu mengambil selimut dan bantal, kemudian menggelarnya di lantai depan TV.

Ngapain juga dia bersikap lebay gitu? Bukannya kita sama-sama tak mampu menolak keputusan ini?

Halo, apa dia pikir aku nggak punya cita-cita apa? Apa dia kira aku nggak punya pria idaman? Apa? Ah, sudahlah ... toh, nyatanya aku telah jadi istri dari pria yang kupastikan tak mengharap diri ini.

“Belum bisa tidur?” tanyaku saat dia bolak-balik bak roti gulung dan mengganti chanel TV berulang-ulang.

Entah siaran apa yang dicarinya. Sekamar sekarang pun dipastikan sebagai formal, pelengkap rangkaian pernikahan utuh di depan orang tua dan keluarga. Sungguh, pembohongan yang masif dan teratur.

“Hmm ...,” jawabnya tanpa membalikkan badan.

Semenjak mengetahui perjodohanku dengannya, tak pernah membayangkan malam pertama seperti pengantin pada umumnya. Dia bereaksi seperti itu saja walau sangat datar, sudah suatu kesyukuran. Setidak, aku merasa tak bersama dengan patung di malam pengantin.

“Makan, yuk!” ajakku setelah dari dapur. Dua porsi nasi lengkap, kuletakkan tak jauh darinya. Ada rasa iba melihat dia menzalimi cacing dalam perutnya. Apa dia mau bunuh diri dengan pernikahan ini? Sungguh lemah!

“Hidup itu dibawa santai aja. Kalau dibikin susah, yah, pasti ribetlah,” ujarku lagi sambil melahap daging rendang yang kupanaskan sisa tadi siang. Kemudian menyeruput es jeruk yang sontak mendinginkan suasana kamar yang sedari tadi terasa pengap. Entah kenapa suhu AC tak ada rasanya sama sekali, padahal sudah distel paling dingin.

Pelan dia bangkit, tanpa komentar meraih piring dan jus di dekatnya. Aku hanya senyum dalam hati melihat dia makan dengan lahap. Pasti tak sanggup menahan demo cacing dari perutnya yang sedari tadi bunyi kriuk kriuk.

Benarlah kata orang, perut kosong bisa membuat otak udang, ditambah dengan dompet yang besar doang, tapi hampa melompong. Ditambah pasangan dilarikan orang, dipecat sama atasan. Penderitaan apalagi yang kamu dustakan? Hanya orang beriman yang sanggup sabar di situasi seperti itu.

“Aku lihat kamu tak punya beban.” Ucapannya tak seketus tadi. Mungkin dia sudah berpikir jernih setelah perutnya terisi.

“Memang aku bisa apaan?”

“Protes kek, ngamuk kek. Lari, atau ... apalah.”

“Kamu sendiri?" Kalimatku pasti menohok hatinya, sekaligus jawaban dari pertayaan tadi.

Kami berada di situasi sama-sama tak mampu menolak dengan rasa bakti kepada orang tua.

***

Sebulan di rumah hasil keringat Mas Rio sejak membujang. Mungkin ini istana kecil perencanaannya dan Marta, untuk merenda hari setelah menikah. Itu terlihat dari penataan ruang khas sentuhan wanita. Artistik, rapi, menarik, mewah, dan elegan.

Kami seatap, tapi berbeda kamar. Itu jugalah salah satu penyebab dia berkeras memboyongku keesokan hari setelah akad dengan alasan bulan madu.

Tak apalah, ini lebih baik daripada di tempat orang tua namun harus terus berlagak mesra. Sungguh menyiksa menjadi pesinetron, berakting bahagia walau sebenarnya hati menangis.

“Pakaian Mas, udah aku siapin di tempat biasa,” ujarku sambil menyendokkan nasi di piringnya.

Meski kami tak layak disebut suami istri, tetapi aku selalu mengurus makan, pakaian, dan semua isi rumahnya. Hanya Allah yang tahu di mana akhir rutinitas ini berlangsung.

Mas Rio mengangguk dan kembali ke layar ponselnya. Siapa lagi yang diajak chatingan kalau bukan Marta?

Hampir sepulang kerja, bahkan berangkat lagi ke kantor mereka saling berkomunikasi. Aku tidak tahu kapan dia tertidur, yang pasti dan jelas, telinga ini mendengar percakapan haha hihi mereka yang hanya bersekat dinding dengan kamarku. Sampai aku terlelap, bahkan suara itu kadang membangunkan di kala subuh.

“Besok kamu nggak perlu mengurusku lagi,” ujarnya di sela sarapan.

“Nggak perlu ambil pembantu, Mas! Aku bisa mengatur rumah dengan kerjaan kok,” sanggahku percaya diri. Bukankah mengambil orang lain akan membuka aib rumah tangga ini? Dan berita itu bisa saja sampai ke telinga orang tua kami.

“Marta akan tinggal di sini,” ucapnya tanpa beban.

Melihat sikap Mas Rio, sama sekali tak kaget dengan kalimat pria yang bergelar suamiku saat ini. Hanya saja belum siap ketahuan orang tua.

“Mama, papa?”

“Mereka nggak akan tahu, kalo kamu nggak cerita.” Mas Rio menatapku tajam.

“Kami akan menikah siri nanti. Jadi, nggak ada yang kumpul kebo,” ujarnya lagi memasukkan nasi goreng terakhir di mulutnya.

Dia tahu pikiranku, mungkin karena selalu melihatku pakai jilbab kemana-mana bahkan di depannya.

“Bersikap baiklah pada Marta,” ujarnya lagi sebelum melangkah ke luar.

Akhirnya, sesuatu yang dikhawatirkan itu terjadi. Walau dari awal telah mewanti-wantinya. Kenapa ada gores perih di hati? Apa karena aku memikirkan perasaan orang tua kami? Atau memang murni dari diri yang lemah ini?

Ya, Rabbi, Engkau tak akan menguji seseorang di luar dari kemampuannya. Mudahkanlah hamba melalui ujian ini. Amin.

“Silakan masuk, Mar,” ujarku pada Marta saat ia turun dari mobil.

Sejak pernikahanku dengan Mas Rio, kami tak pernah lagi saling menghubungi. Mungkin ini saat memperbaiki persahabatan itu kembali, apalagi dia telah jadi maduku.

Wanita seksi itu tak menjawab, langsung masuk kamar diikuti Mas Rio di belakangnnya yang menarik dua koper besar.

Sebagai anak yang dididik adab sopan santun, aku tetap menyiapkan makanan di atas meja. Meski tidak yakin mereka akan mencicipinya.

Hampir sejam menunggu di meja makan, kuputuskan ke kamar setelah tak ada tanda-tanda mereka akan keluar. Hati ini terasa tercubit, entah bagaimana caraku menghadapi dua manusia beku seperti es nantinya.

Sesampai di kamar, entah bagaimana lagi menggambarkan suasana hatiku mendengarkan tawa cekikikan di ruang sebelah. Antara marah, sedih, merinding, dan camburu bercampur menjadi satu. Namun, tidak mampu berbuat apa-apa.

***

Setelah azan Magrib, aku terbangun. Kepala terasa berat karena tidak biasa tidur jam segini.

Saat ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu, tak sengaja melihat tampilan diri di cermin. Mata tampak bengkak, ternyata sekuat apa menyabarkan diri, air mata tetap tak mau diajak damai. Sungguh lemah diri ini!

Setelah melaksanakan pengaduan panjang kepada Rabb-ku. Rasa lapar menuntun kaki ke dapur.

Aktivitas bercanda di sela makan Mas Rio dan Marta terhenti setelah menyadari kehadiranku. Suasana yang tadi ramai dari hasil pantulan suara mereka tiba-tiba lenyap, tergantikan dengan suara pergerakanku yang mencuci tangan di wastafel, mengambil piring, dan menarik kursi duduk bergabung di meja makan.

“Ini yang terakhir aku memakan masakanmu, selanjutnya Marta akan mengurus semuanya,” ucap Mas Rio menatap mesra wanita seksi di depannya. Tangan mereka saling meremas. Sungguh aku hanya dianggap setan menjadi yang ketiga.

“Pokoknya, biar aku semua yang mengatur. Termasuk letak kursi dan barang-barang lainnya.” Kembali aku tak bersuara, suara Marta setajam tatap matanya ke arahku, sinis dan meremehkan. Lagian buat apa protes? Paling hanya dianggap seperti suara kentut. Kini aku sadari persahabatan ini tak bisa lagi diperbaiki.

Gegas menyelesaikan makan, lalu mencuci tangan, serta piring yang kupakai tadi. Tak ingin rasanya berlama-lama menyaksikan dua manusia berakting lebay bermesraan.

Aku tahu hanya memanasiku. Tanpa mereka pikir, meski tak dipanasi pun, aku telah terbakar. Hati ini seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY