Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Please, Jangan Panggil Ibu
Please, Jangan Panggil Ibu

Please, Jangan Panggil Ibu

5.0
31 Bab
3.4K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Tanika dan Faris menikah saat Tanika mengajar di salah satu SMA, itu dulu. Tanika menikah dengan alasan menolong Faris. Tetapi, siapa sangka cinta tumbuh di antara keduanya. Meski sayang, mereka yang berbeda usia sepuluh tahun harus berpisah karena suatu alasan. Lima tahun berlalu, mereka bertemu lagi. Akankah mereka kembali bersama, setelah Faris tahu Tanika sudah punya suami? Untuk pemesanan buku cetaknya bisa hubungi 083816535767

Bab 1 Kecelakaan

Seorang pria muda berusia dua puluh dua tahun berlari melewati pintu rumah sakit. Dia menggendong anak perempuan yang kaki dan tangannya berlumuran darah. Usia anak itu sekitar empat tahunan.

Diikuti empat orang suster yang membawa dua korban kecelakaan lainnya, pria itu berlari dengan tangan gemetar. Wajahnya nampak begitu panik setelah anak dan sepasang nenek kakek itu masuk ruang UGD yang berbeda.

Sekitar dua jam yang lalu.

Juanda Alfarisi, pemuda yang baru saja pulang dari Singapura berniat untuk pulang ke kampung halamannya di daerah sekitar Cilacap.

Saat perjalanan, Faris, sebutan untuk pemuda itu. Dia terjebak hujan hingga akhirnya harus menepikan mobil cukup lama sekitar satu jaman.

Lalu saat hujan sudah reda, Faris langsung melajukan mobil. Tanpa menghiraukan sebuah peringatan disepanjang jalan. Peringatan yang bertuliskan 'JALAN RAWAN LONGSOR DIHARAP PUTAR BALIK'.

Faris hanya berpikir positif, meski jalan di sana terlihat cukup licin. Tetapi, ketika melewati sebuah jalan belokan mobil Faris terhenti. Faris melihat sebuah pohon tumbang yang menghalangi jalan.

Faris berpikir untuk memutar balik, tapi tidak jadi. Pandangannya tertuju pada kepulan asap dibalik pohon itu. Karena penasaran ia menghampiri pohon.

Sungguh, suatu kejadian yang tak pernah diduga Faris. Ia kaget saat melihat sebuah mobil yang sudah tertindih. Pohon besar menindih mobil tersebut di bagian depan, sedang belakangnya tertutupi tanah longsor.

Faris turun, mendekati mobil yang nyaris tak terlihat itu. Mencoba membuka pintu depan mobil kemudian. Faris tak bisa melakukan apa-apa, tangannya tiba-tiba gemetar. Di mobil sepasang nenek kakek nampak dalam keadaan mengenaskan. Kepala si Kakek terbentur setir dan tubuhnya tertindih dahan pohon yang tumbang, begitu pun dengan si nenek yang tubuhnya tertindih dahan pohon itu.

Belum usai kekagetannya, Faris mendengar getaran dan bunyi ponsel sontak membuatnya terperanjat. Faris mencoba mencari, ponsel itu ternyata ada di saku celana si kakek. Diambilah ponsel dengan tangan gemetar. Satu panggilan masuk, Hafid angkat perlahan.

"Hallo ...." Faris mendengarkan dengan seksama suara di balik ponsel itu.

"Yah! Ayah, Ayah baik baik aja, kan? Jangan jalan ke jalan biasa, Yah! Hujannya gede lho, Yah, aku takut ayah kenapa napa," Tanya wanita di balik telepon itu.

"Hallo, Mbak."

"Lho? Ini bukan ayah, ya? Ini siapa? Ayah saya mana, ya?" Wanita itu mulai panik.

"Ayah Mbak ...." Faris mengerjap cemas kemudian melihat ke arah mobil. "Di-a kecelakaan, Mbak ...."

"Apa?! Ayah kecelakaan? Gimana keadaannya, Ibu sama Arista gimana kabarnya? Mereka baik baik aja, kan?" sahut wanita itu dengan cemas dan takut.

"Mbak tenang, ya. Saya baru menemukan mereka saya akan bawa mereka ke rumah sakit terdekat, nanti saya kirim alamatnya, Mbak."

"Ya udah, cepat, ya! Nanti saya nyusul." Terdengar suara wanita itu tergesa-gesa.

Berikutnya dia langsung mematikan sambungan telepon. Faris pun bergegas memasukkan ponsel itu ke saku celananya. Ia lalu membuka pintu belakang mobil itu dan matanya membulat seketika, tak kala melihat seorang gadis kecil yang berlumuran darah di kakinya akibat tertimpa tanah longsor.

Tanpa basa-basi, Faris segera mencoba menyingkirkan tanah yang menimbun kakinya, lalu menggendong gadis kecil itu ke dalam mobil miliknya. Tak lupa setelah itu, Faris langsung menghubungi ambulance dan polisi untuk menangani kecelakaan itu.

Ingatan beberapa jam lalu itu cukup membuat Faris termangu. Dirinya yang usai mengelap tangan dengan tisu hanya bisa terduduk lesu, menunggu di depan ruang UGD. Dia menunggu gadis kecil yang tadi ia selamatkan, sementara kakek dan nenek yang tadi di jok bagian depan, mereka dibawa ke ruang UGD yang berbeda.

Faris belum sempat menemui wanita yang menelponnya tadi. Hatinya masih shock mendapati kejadian yang di luar dugaan. Sementara si wanita tadi, setelah diberitahukan alamat rumah sakit, wanita itu langsung menemui pasangan nenek dan kakek.

Lalu Faris mendapatkan amanah dari wanita itu, untuk menunggu si gadis kecil sadar, dan ternyata dia adalah putri dari wanita yang meneleponnya tadi.

Faris masih tertunduk diruang tunggu depan UGD, menatap tangan bekas lumuran darah yang baru saja dia bersihkan. Tak lama, tiba-tiba seorang dokter keluar dari UGD.

Faris langsung berdiri.

"Anda keluarga pasien?" tanya dokter itu.

"Saya yang menyelamatkannya tadi, bagaimana kondisi nya, Dok? Dia baik baik saja, kan?" Faris panik bergegas mendekati dokter.

"Alhamdulillah, dia berhasil melewati masa kritis. Kita hanya tinggal menunggunya sadar saja," jelas dokter.

"Alhamdulillah, syukur kalo begitu. Apa saya boleh melihat nya?" tanya Faris lagi.

"Silahkan, Pak."

"terima kasih, Dok. Saya akan melihatnya."

"Kalau begitu saya permisi." Dokter tersenyum lalu pergi meninggalkan Faris yang lekas masuk menuju ruangan itu.

Faris membuka pintu perlahan. Ia melihat seorang gadis kecil yang sedang terbaring lemah dengan selang di hidung dan infusan di tangannya.

Faris mendekati gadis kecil bernama Arista itu. Ia merasa kasihan dan sedih melihat kondisinya. Faris duduk di samping gadis yang terbaring tak berdaya dan memegang satu tangan gadis itu.

"Hey ... kamu harus kuat, ya. Sebentar lagi ibumu akan datang," ucap Faris dengan lembut.

Jantungnya seketika terenyuh. Entah kenapa Faris begitu merasa terluka saat melihat gadis itu, bahkan ia hampir menitihkan air mata.

Gerakan jari dari gadis kecil itu mengagetkan Faris, ia bergegas memanggil dokter dengan tombol otomatis yang ada di sana. Beberapa saat kemudian dokter pun datang bersama dua orang suster.

"Pak, mohon maaf, Bapak keluar dulu, kami akan memeriksanya dulu. Mohon bapak tunggu di luar," pinta salah seorang suster.

"Baiklah."

Faris menuruti perintah suster itu. Ia pun keluar dan kembali menunggu, duduk disalah satu kursi di sana.

Wanita mengenakan setelan dress selutut dan jeans menghampiri Faris dan langsung menepuk bahu Faris yang sedang tertunduk karena khawatir.

Dengan mata sembab wanita itu memberanikan diri bertanya pada Faris, "gimana keadaan anak saya?"

Faris mengangkat wajah lalu menatap wanita itu. "Dia ...." Kalimat Faris terhenti tiba-tiba dengan sorot mata cukup tercengang.

"Fa--ris?" Sama halnya Faris, wanita itu pun malah kaget. Menatap wajah Faris nyaris tak berkedip.

"Tanika?"

"Maaf, pasien sudah sadar dan dia ingin bertemu dengan ibunya" Tiba tiba suara dokter menghentikan lamunan keduanya.

"Saya ibunya, Dok." Tanika langsung menghampiri dokter di depan pintu UGD. "Bagaimana keadaan Arista?"

"Alhamdulillah, sudah sadar, Bu. Dia ingin bertemu dengan Ibu. Silahkan masuk." Dokter itu tersenyum mempersiapkan Tanika masuk.

"Terima kasih, Dok." Tanika berjalan cepat masuk ke dalam ruangan.

Sementara Faris, dia masih mematung karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Dia kembali bertemu dengan gurunya waktu di SMA. Guru yang tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya di masa lalu.

Sudah sekitar lima tahun berlalu. Pernikahan yang terjadi akibat kesalahpahaman, tapi Faris masih selalu memikirkan wanita yang telah menjadi mantan istrinya itu. Dan lagi, memang perpisahan itu pun bukan karena kemauan Faris.

Kembali Faris terduduk di kursi. Entah apa yang harus Faris rasakan? Bahagia atau sedih? Haruskah dia bahagia karena bisa bertemu lagi dengan Tanika, atau sedih karena kini Tanika sudah memiliki anak dan kemungkinan besar Tanika sudah menikah lagi?

Faris menarik napas dalam, mencoba tenang dan tak terhanyut dengan perasaan. Semua sudah berlalu dan kisahnya pun sudah usai lima tahun yang lalu.

Cukup lama Faris duduk disana. Merasa gadis kecil sudahlah ada yang menjaga. Hingga saat Faris memutuskan untuk beranjak, kakinya baru melangkah beberapa meter dari depan ruangan, suara Tanika menghentikan laju langkah itu.

"Faris!"

Faris berhenti lalu menoleh. Tanika berlari kecil menghampirinya.

"Terima kasih, kamu sudah menjadi penyelamat untuk Arista," ucapnya melukis senyum.

Faris balas tersenyum. "Ya Bu sama sama. Oh, ya. Kondisi Ayah--eh maksud aku orang tua Ibu bagaimana?"

Tanika terdiam, untuk kemudian menghela napas sebentar. "Allah lebih menyayangi mereka, mereka menghembus napas terakhir, bahkan sebelum sampai kesini. Mungkin itu yang terbaik" Tanika berusaha tegar saat mengatakan itu pada Faris, meski hatinya sangat terluka.

"Inalillahi, aku turut berduka cita. Maaf, karena aku terlambat datang ke sana," ucap Faris penuh penyesalan.

"Enggak kok, kamu adalah penyelamat. Aku sangat berterima kasih." Tanika tersenyum getir.

"Oh, ya. Udah lama aku nggakk ketemu kamu. Gimana kalau kita ngobrol dulu atau kamu mau langsung pulang?" tanya Tanika berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"itu, sebenarnya aku ...." Faris ragu untuk menjawab. Dia dapat melihat sinar mata memilukan di kedua mata Tanika. Faris sungguh tak tega melihat kesedihan di sana.

"kamu sibuk, ya?"

"Em, enggak kok, Bu."

"Ya udah, kita ke kantin dulu, yuk! Kamu mungkin belum makan, kita makan dulu." Masih dengan senyum itu, Tanika berusaha tenang di tengah gejolak hati yang masih bergemuruh. Rasanya perih sekali di sana. Begitu banyak ujian yang ia rasa saat ini. Sakit memang, tapi apa yang bisa dilakukan selain berusaha tegar.

"Tapi Bu--"

"Anggap saja ini ucapan terima kasih," potong Tanika.

"Baiklah." Faris ikuti kemauan Tanika.

Mereka pun pergi ke kantin dan memesan makanan. Faris makan seperti biasa. Tetapi, hatinya masih merepih ketika melihat Tanika yang hanya diam saja. Bahkan, dirinya hanya memesan teh hangat. Tidak diminum dan hanya diaduk-aduk saja.

"Bu!"

"Ya." Tanika sedikit terkejut.

"Ibu baik baik aja, kan? Kenapa Ibu enggak makan?" tanya Faris khawatir.

"aku enggak laper, Ris."

"Oh gitu ya." Faris mengelap bibir karena makannya selesai. "Eh iya, Bu. Ibu sendiri aja? Ayah Arista, Ibu tidak menghubunginya?" tanya Faris mulai penasaran dengan kehidupan Tanika sekarang.

Perasaan Tanika serasa dihujam seribu pedang atas pertanyaan Faris. Ia menelan ludah, lalu memandang Faris dengan tetap berusaha tenang.

"Dia ... sibuk, Ris," singkat Tanika berbohong. Ah, mau bagaimana lagi? Tanika merasa tidak mungkin dan tidak mau juga menceritakan kehidupan rumah tangganya sekarang.

Melihat raut wajah Tanika yang nampak kecewa Faris terdiam. Ia meraih teh hangat di atas meja, meminumnya sekilas.

"Maaf, Bu. Aku enggak bermaksud ...."

"Enggak apa-apa. Pertanyaan kamu wajar kok." Tanika berusaha tersenyum lagi.

Hati Faris serasa begitu sakit saat mengetahui Tanika sudah menikah lagi dan lagi dia sudah memiliki anak. Meskipun tatapan Tanika menunjukkan kekecewaan saat membahas suaminya. Tapi tetap saja, Tanika kini sudah dimiliki pria lain.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY