Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Sang Dewa Perang
Sang Dewa Perang

Sang Dewa Perang

5.0
10 Bab
8.9K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Dia adalah sang Dewa Perang yang selalu ditugaskan keluar negara untuk membantu negara sekutu yang berkonflik dengan negara lain. Kepulangannya kali ini adalah atas perintah ayah angkatnya Jenderal Pramudya Wasesa untuk kembali ke tanah air, berketepatan dengan wafatnya sang kakak saat bertugas. Namun siapa sangka ini adalah salah satu rencana ayahnya untuk menguasai kerajaan Ganinezia. Tanpa bisa ia tolak, dirinya diharuskan menikahi putri kaisar yaitu Diajeng Candramaya. Perempuan yang sama sekali tidak mencintainya dan selalu memperlakukannya buruk. Bagaimana ujung kisah ini? Disclaimer: Cerita ini hanya kisah fiktif belaka, berikut dengan nama tokoh beserta nama negara-negara yang ada di dalamnya.

Bab 1 Pemakaman Militer

Di sebuah pemakaman militer sedang diadakan upacara pemakaman. Terlihat peti mati yang diselimuti bendera kebangsaan telah berada di atas tanah merah yang telah digali, dengan ditopang oleh beberapa bilah kayu.

Di sisi kanan dan kiri peti mati telah berjejer beberapa anggota militer yang akan bertugas melakukan tembakan salvo sebagai bentuk penghormatan terakhir pada jenazah rekan mereka.

Semua pelayat maupun peserta yang hadir di pemakaman terlihat hening menunggu para anggota militer itu selesai dengan persiapan mengebumikan janazah. Namun tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara helikopter membuat sejenak para pelayat itu mengalihkan perhatian dari peti jenazah yang ada di hadapan mereka.

Awalnya mereka mengira kalau helikopter itu membawa salah satu pejabat militer untuk menghadiri pemakaman. Ternyata mereka salah karena helikopter itu justru mendarat di sebuah bukit yang tidak cukup dekat namun juga tidak cukup jauh dari lokasi tempat pemakaman militer itu dilaksanakan.

"Siapa?" bisik seorang pejabat militer yang hadir pada pria berpangkat Jenderal yang juga merupakan ayah dari mendiang jenazah yang akan dimakamkan.

Dilihat dari tanda kepangkatan yang tertera pada seragam mereka, rupanya mereka adalah perwira militer yang cukup tinggi pangkat dan kedudukannya.

Pria yang ditanya melirik ke arah bukit ilalang tempat di mana helikopter tadi berhenti. Bukan helikopter militer melainkan helikopter komersil. Wajahnya datar lalu ia menggeleng pelan.

Tak mendapat jawaban yang memuaskan darinya, rekannya itu lantas mengalihkan perhatian darinya dan kembali menatap helikopter yang berada nun jauh di atas sana. Sementara ia sendiri menghela napas.

'Kamu kembali, Cakra,' batin orang tua itu.

Sementara itu, di tempat yang mereka lihat, di bukit ilalang tersebut, terlihat dari arah yang berlawanan dengan tempat pemakaman militer, seseorang baru saja turun dari pintu helikopter itu dengan disambut oleh beberapa anggota militer.

"Selamat datang, Panglima Perang! Selamat datang!!" sambut mereka dengan suara yang lantang sambil memberi hormat.

Meski begitu suara mereka tetap saja kalah oleh suara baling-baling helikopter yang menderu menimbulkan angin yang membuat rata hamparan padang ilalang.

Helikopter itu tak berhenti lama. Begitu sang Panglima menjejakkan kedua kakinya di permukaan bukit, helikopter itu pun kembali take on meninggalkan tempat itu, membuat orang-orang di area pemakaman militer itu kembali memusatkan perhatiannya pada helikopter militer yang kembali terbang setelah terlihat menurunkan seseorang.

Siapa kira-kira yang akan mendarat dibukit gundul yang hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon itu? Jika orang yang diturunkan di sana adalah anggota militer yang ingin ikut menyaksikan pemakaman, kenapa tidak bergabung saja? Kenapa harus mendarat di bukit yang masih jauh dari lokasi dan dibawa oleh pesawat komersil? Namun jika itu warga sipil, apa yang sedang dilakukannya di bukit yang tak ada apa-apanya itu?

Begitulah kira-kira yang ada dipikiran para pelayat di pemakaman itu. Atau jangan-jangan itu adalah pasukan musuh yang mengintai dan akan menyerang mereka ketika sedang khidmat? curiga mereka.

"Jenderal, sepertinya ada mata-mata yang datang ingin mengacau pemakaman Letnan Kolonel Septian," bisik pria yang tadi bertanya pada Jenderal Pramudya Wasesa.

Pramudya menatap ke arah bukit ke beberapa titik hitam yang dia tahu itu adalah sosok manusia yang baru turun dari helikopter.

"Perlukah kita menunda pemakaman Letkol Septian dan mengutus anggota kita mengecek ke atas sana?" usul Letnan Jenderal Darmono.

Pramudya menggeleng.

"Itu tidak perlu, Darmono. Mari kita lanjutkan pemakaman ini kembali," kata Pramudya mengabaikan usulan itu.

"T-tapi, tapi ... bagaimana kalau ..."

Pramudya mendengus kemudian memberi aba-aba pada protokoler acara untuk melanjutkan acara pemakaman.

Darmono, lagi-lagi diabaikan. Kesal diabaikan ia kemudian membuang wajah untuk melampiaskan rasa kesalnya.

Acara kemudian berlanjut setelah mereka yang ada di sana yakin bahwa tak ada gangguan seperti yang mereka khawatirkan.

"Kepada ... jenazah mendiang Letnan Kolonel Septian Pradana Wasesa, hormat senjataaaaa .... Graaaak!!" seru komandan upacara yang dipimpin oleh rekan Pramudya.

DOOOR!!!

Terdengar suara tembakan senjata yang dilepaskan secara serentak ke arah atas. Burung-burung yang bertengger pada pepohonan pun sampai terkejut dan terbang menjauhi area itu.

Di bukit ilalang itu sang Panglima Perang itu beserta para anggota yang menjemputnya ikut memberi hormat sambil menatap ke kejauhan dan melihat ke satu objek dimana 'setumpuk' manusia berpakaian hitam dan hijau sedang memberi penghormatan terakhir pada jenazah kakaknya, Septian Pradana Wasesa.

Tak ada beda dengan orang-orang yang menghadiri pemakaman itu secara langsung , pria itu pun mengikuti rangkaian upacara itu tahap demi tahap meski ia berada dalam radius yang tidak begitu dekat dengan mereka.

Hingga upacara pemakaman itu selesai dan para pelayat membubarkan diri, ia masih berdiri sambil menatap lurus ke arah pemakaman yang kini sepi dan hanya tinggal satu dua orang yang ada di dalamnya.

"Panglima, ijin bertanya! Hari mulai sore, apakah kita masih lama di sini?" tanya salah seorang anak buah militer yang berada di belakangnya.

Dia adalah Cakra W Putra. Sang Panglima Perang yang selama ini di tugaskan negara konflik yang bersekutu dengan Ganinesia, negara kelahirannya. Kepulangannya ke negara ini adalah atas permintaan ayah angkatnya Pramudya Wasesa selaku pemimpin tertinggi di kemiliteran setelah lebih dari tujuh tahun dia ditugaskan oleh ayahnya itu untuk memimpin pasukan kaveleri angkatan darat di negara yang bersekutu dengan negara kelahirannya, Ganinezia.

Permintaan itu telah lama diungkapkan oleh Pramudya padanya dari beberapa bulan sebelumnya, tetapi karena kondisi di perbatasan negara konflik sangat rawan untuk ditinggalkan, Cakra tidak dapat langsung begitu saja memenuhi permintaan Pramudya.

Ia menunggu waktu yang tepat untuk mengurus segalanya dan siapa yang sangka kepulangannya bertepatan dengan meninggalnya sang kakak.

"Baiklah, kita berangkat sekarang!" kata Cakra.

"Siaaap!!" sahut anak buah militer yang sedang bertanya tadi.

Mereka berjalan menuruni perbukitan dengan dipimpin oleh tentara suruhan yang menjemputnya tadi. Mereka yang mengawalnya memilih diam padahal Cakra tahu di hati mereka pasti bertanya-tanya kenapa dia meminta dijemput di daerah perbukitan itu.

"Kalian tak perlu sekaku itu jika sedang berada di luar denganku," kata Cakra memecah keheningan di antara mereka.

"Kami sedang menjalankan tugas, Pak!" jawab keempat prajurit itu secara serempak.

Tiba-tiba Cakra menghentikan langkah kaki mendadak sehingga prajurit yang berjalan tepat di belakangnya hampir menabraknya andai ia tidak refleks menghentikan kakiny juga.

"Perhatian!" ucap Cakra lantang dan serius.

Hal membuat ketiganya spontanitas memposisikan tubuhnya dalam keadaan siap.

"Tugas kalian menjemputku telah selesai," lanjut Cakra membuat kaget.

"Tapi, Pak ..." protes mereka namun tak berani membantah.

"Saat ini aku hanya ingin diperlakukan seperti orang biasa atau seperti masyarakat sipil hingga aku diperkenalkan secara resmi oleh Jenderal di Markas besar. Bisa?" tanya Cakra lagi.

Ketiga orang itu saling pandang. Baiklah, mungkin atasan baru ini memiliki alasannya sendiri atau ingin bebas sebelum ia resmi ditugaskan dan harus berkutat dengan tugas yang tidak ada habisnya, pikir mereka.

Lalu dengan serentak mereka pun menyahut.

"Bisa, Pak!!"

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 10 Pedang Pora   07-08 19:38
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY