Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Bodyguard Mafia Seksi
Bodyguard Mafia Seksi

Bodyguard Mafia Seksi

5.0
63 Bab
14.3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Sungguh malang nasib Drystan Cordner. Tidak pernah terbayangkan olehnya bekerja sebagai bodyguard Avyana Burcardo. Avyana merupakan anak seorang mafia yang terkenal gemar mengoleksi pria tampan dan berbadan kotak-kotak. Drystan harus kuat menahan dirinya dari godaan Avyana. Dia selalu ingat, kalau dia hanyalah seorang bodyguard. Sementara itu, entah kenapa Avyana kesal mendengar Drystan yang selalu mengingatkan posisi mereka yang merupakan atasan dan bawahan. Bagaimana Drystan menjalani kehidupan barunya? Mampukan Avyana mengubah Drystan yang polos dan lugu menjadi liar dan agresif?

Bab 1 Siapa Mereka

Matahari bersinar terik, membuat badan terasa hangat. Seperti hari-hari biasanya, jalan raya di Texas tidak pernah sepi dari berbagai macam kendaraan dan trotoar dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu lalang. Maklum, sedang jam istirahat.

Drystan membantu ibunya berjalan keluar dari rumah sakit dengan perlahan. Dia merasa kasihan bercampur sedih, melihat tangan sang ibu yang terdapat beberapa plester itu. Sudah berapa ratus kali ibunya melakukan cuci darah? Dia sangat bangga, karena ibunya dapat berdiri kokoh dan tegar hingga hari ini. Andai dia memiliki uang untuk membeli ginjal supaya dia tidak perlu lagi melihat ibunya kesakitan dan pergi ke rumah sakit untuk cuci darah.

"Ibu duduk di sini, ya. Aku akan mencari taksi." Drystan menyuruh ibunya duduk di bangku besi tempat menunggu halte. Dia berjalan ke depan untuk memberhentikan taksi yang tampaknya dari tadi melaju dengan cepat karena membawa penumpang. Dia memperhatikan tiga pria yang lewat di depannya seraya berbincang dan memandangi orang-orang lain yang berjalan kembali ke kantor mereka bekerja.

Dia menghela napas panjang. Dia telah menyebar puluhan surat lamaran pekerjaan, tetapi hingga kini belum ada perusahaan atau bank yang meneleponnya menyuruhnya datang untuk melakukan interview. Padahal dia telah menyiapkan setelan jas beserta dasi dan sepatu pantofel warna hitam—yang dia beli menggunakan uang hasil menabung selama bekerja sambilan—yang selalu dia lap takut dihinggapi debu, juga berlatih berbicara siang dan malam agar nanti tidak gugup. Beberapa temannya sudah mulai bekerja dan ada pula yang baru melakukan pelatihan.

Dia kapan? Apakah dia terlihat tidak menarik? Padahal dia sudah mencantumkan berbagai keahlian dan pengalaman kerja sambilan. Walaupun itu hanya bekerja di minimarket dan karaoke. Tidak, dia tidak boleh menyerah dan pesimis. Dia harus selalu optimis. Dia pasti akan mendapatkan pekerjaan. Drystan mengangguk. Jauhkan segala pikiran buruk yang menghantui. Akan ada waktunya dia mengenakan kemeja, jas, dasi, dan sepatu pantofel.

Salah satu taksi yang berlalu lalang berhenti di depannya, dia meminta sopir untuk menunggu dan dia berlari ke ibunya, menuntut malaikat tanpa sayapnya itu hingga masuk ke mobil warna kuning itu. Drystan menyebutkan alamat rumahnya, mobil melaju membelah ibu kota.

"Jangan sedih. Percayalah, kamu akan segera mendapatkan pekerjaan." Isabel menggenggam tangan anaknya erat, dia tahu perasaan seperti apa yang sedang berkecamuk dalam hati anak tunggalnya itu.

Drystan mengulas senyuman tipis. "Iya. Aku juga sangat yakin. Nanti kalau aku bekerja, aku akan mengajak ayah dan Ibu ke mal. Beli pakaian baru." Dia menyengir lebar hingga menunjukkan deretan giginya.

Isabel terkekeh. "Ibu tidak sabar menunggu hari itu tiba. Kita sudah lama tidak membeli pakaian."

Drystan mengangguk pelan, sekilas terdapat kesedihan di pancaran matanya. "Nanti beli yang banyak, ya."

Isabel tertawa seraya mengelus lembut rambut anaknya itu.

***

"Ibu ke apartemen duluan saja, biarkan aku yang ke minimarket. Ibu istirahatlah." Drystan menatap sang ibu lekat.

"Tidak apa."

"Tapi aku khawatir, takut Ibu jatuh dari tangga."

"Kamu jangan berlebihan." Isabel memukul lengan anaknya itu. "Ibu bisa, tenang saja. Lagi pula, ayah sudah pulang, bukan?"

Drystan mengangguk. "Oh, atau aku telepon ayah? Supaya ayah menunggu Ibu di tangga."

Isabel menggeleng. "Tidak perlu. Ibu bisa sendiri. Hanya ke lantai tiga, bukan sepuluh." Dia terkekeh kecil.

Namun, Drystan tetap tidak bisa mengenyahkan perasaan khawatirnya. "Aku akan antar Ibu."

Isabel memelototi anaknya itu. "Tidak perlu. Nanti kamu capek. Selama seharian kamu menemani Ibu di rumah sakit."

"Aku menunggu sambil duduk, Ibu. Hanya pantat dan punggungku yang pegal." Drystan menggandeng tangan Isabel. "Ayo."

Isabel bergeming di tempatnya berdiri, tidak mau melangkah barang sejengkal. Dia menatap Drystan dalam dengan wajah tegas. "Kamu lupa siapa Ibumu ini? Ibu dulu merupakan atlet angkat besi. Bahkan sampai sekarang Ibu bisa mengangkat ayahmu!"

Drystan mengerutkan keningnya. "Aku tidak pernah melihat Ibu mengangkat ayah." Dia pun heran, ibunya seperti batu yang tidak bergeser sedikitpun walaupun dia menarik tangan keriput itu dengan lumayan kencang. Ternyata masih tersisa kekuatan ibunya yang dulu merupakan atlet angkat besi.

Isabel menatap anaknya sangat datar. Berkutat pada buku dan pekerjaan sambilan, membuat Drystan tidak tahu apa-apa. Padahal laki-laki yang seusia dengannya telah bermain dengan puluhan wanita atau setidaknya pernah melakukan hubungan intim dengan seorang wanita. Hah, Isabel bingung mengekspresikan perasaannya. Dia harus senang atau sedih?

"Kamu tidak perlu melihatnya." Isabel melepaskan tangannya dari genggaman Drystan dengan kencang, hingga sang anak terdorong ke arahnya. "Bahkan Ibu bisa mengangkatmu dengan mudah. Mau dicoba? Sudah lama Ibu tidak menggendongmu."

Drystan menatap ibunya dengan horor. "Tidak." Dia meneguk salivanya. "Bukan maksudnya aku tidak ingin digendong oleh Ibu. Oke, aku percaya Ibu dapat menaiki puluhan anak tangga sampai ke unit apartemen kita dengan selamat."

Isabel mengelus senyuman geli. "Dasar kamu, ya. Padahal Ibu ingin menggendong kamu."

"Sebelum Ibu melakukannya, aku yang akan lebih dulu menggendong Ibu." Drystan menyengir.

Isabel terkekeh. "Dasar. Sudah sana ke minimarket."

Drystan mengangguk. Lalu dia memperhatikan punggung ibunya hingga berbelok dan tidak terlihat lagi di indra penglihatannya. Dia menunggu lampu lalu lintas yang berwarna hijau berubah merah bersama beberapa orang lainnya yang juga akan menyeberang. Matanya menyipit, ketika melihat lima mobil mewah warna hitam memasuki gang yang lumayan sempit yang dia lalui untuk menuju gedung apartemen yang dia tinggali. Keningnya mengerut dalam. Apakah selama ini ada orang kaya yang tinggal di sana? Bukankah kawasan tempat tinggalnya itu ditinggali oleh kalangan orang yang kurang berada sepertinya?

Drystan menoleh ke kanan dan kiri, suara bisikan yang mengandung rasa penasaran terdengar sampai ke telinganya. Ternyata bukan hanya dia yang heran dan bertanya-tanya, kenapa ada lima mobil mewah memasuki wilayah tempat tinggal mereka?

Lampu berubah merah, secara serempak mereka melangkah melewati mobil, motor, dan bus yang berhenti dengan patuh. Drystan membantu seorang nenek yang berjalan menggunakan tongkat. Dia teringat dengan neneknya yang telah meninggal saat dia berusia 10 tahun.

"Terima kasih, ya, Nak." Nenek yang semua rambutnya telah berubah putih itu merasa senang dan terbantu oleh kemurahan hati Drystan.

"Sama-sama, Nek. Hati-hati di jalan." Drystan tersenyum seraya melambaikan tangannya. Kemudian dia ke minimarket untuk membeli semua barang yang tertera di kertas yang ditulis sang ibu.

***

Kening Drystan berlipat ganda, memandangi kelima mobil mewah—yang tidak dia ketahui mereknya apa—yang tadi dia lihat, kini parkir berurutan secara rapi di halaman gedung apartemen yang dia tinggali. Ternyata selama ini ada penghuni apartemen ini yang merupakan orang kaya, tinggal bersamanya? Siapa? Drystan sangat yakin, dia hampir mengenal semua orang yang menghuni apartemen.

Oh, atau mereka baru pindah? Drystan mengangguk yakin. Ini adalah opsi yang paling benar. Kelima mobil mewah itu dikerubungi oleh anak-anak kecil. Membuang rasa penasarannya, dia melangkah melewati puluhan anak tangga menuju unit apartemennya seraya menenteng kantong belanjaan.

Di sisi lain, seorang wanita cantik yang sedang menatap keluar jendela mobil dengan wajah bosan bercampur kesal. Tiba-tiba mata cokelatnya bersinar cerah. Apakah dia baru saja melihat sosok malaikat yang menjelma menjadi manusia karena mengemban sebuah misi? Apakah dia tidak salah lihat?

Setiap Drystan melangkah, jantungnya semakin kuat menggedor-gedor tulang rusuknya seakan meminta dikeluarkan. Dia celangak-celinguk, keringat bercucuran membasahi wajah tampannya. Padahal dia sedang tidak mengikuti lomba lari maraton. Dia hanya sedang berjalan menuju unit apartemennya. Bagaimana dia tidak syok sekaligus bingung? Di sepanjang lorong, berjejer pria mengenakan pakaian serba hitam dilapisi jas serta kacamata hitam yang menggantung di hidung, wajah mereka seram, tidak ada ekspresi sama sekali. Drystan seperti sedang melewati lorong menuju neraka. Dia sangat yakin, di balik kacamata itu mereka memperhatikannya.

Dia tercengang, melihat pintu apartemennya terbuka lebar. Kenapa ayah atau ibunya tidak menutupnya? Kalau ada kucing liar masuk, bagaimana? Dia hendak menutup pintu, tetapi pintu yang terbuat dari besi itu ditahan oleh salah satu pria berpakaian serba hitam dengan badan kekar yang mirip seorang petinju. "Kenapa? Ini rumah saya!"

"Masuklah. Lihat sendiri di dalam." Suara bariton pria itu membuat Drystan merinding. Dia pun menurut karena takut dibanting.

Mata hijau Drystan seakan ingin meloncat keluar saking kagetnya bahkan jantungnya ikut berpartisipasi dengan berhenti memompa darah selama dua detik. "A-ayah?!" Akhirnya dia dapat mengeluarkan suara yang tertahan di tenggorokan. "Kenapa kau menodongkan pistolmu ke Ayahku!" Dia menunjuk pria berkepala plontos yang mengarahkan pistolnya tepat di pelipis ayahnya itu dengan ponsel.

"Ini anakmu?" Pria yang tidak memakai kacamata yang berdiri di sebelah Drystan mengamati penampilan Drystan dari atas sampai bawah.

"Jangan bunuh anak saya, Tuan Besar. Dia tidak tahu apa-apa. Istri saya juga tidak tahu." Orson, ayah Drystan, memohon dengan air mata yang mengalir deras.

Drystan melongo. Apa kata ayahnya? Bunuh? Siapa yang dibunuh?

"Biarkan anak kami, lepaskan dia." Isabel yang berjongkok di sebelah suaminya ikut memohon belas kasih.

Drystan dilanda kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang mau dibunuh?" Pertanyaan terakhirnya mengundang senyuman miring para pria berpakaian hitam.

Pria yang berdiri di samping Drystan, memandang anak laki-laki itu dengan mata yang tak terbaca. Drystan bolak-balik meneguk salivanya. "Selama dua bulan ini, ayahmu tidak memberikan hasil penjualan obat-obatan terlarang yang dia edarkan."

"Apa?" Kaget Drystan. Jantungnya terasa ingin meletus. "Ayahku jualan apa?" Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Aku tidak perlu mengulangi, karena kau sudah mendengarnya dengan jelas." Pria itu menatap Orson sangat tajam.

Drystan mendekati ayahnya, meminta penjelasan. Orson mengatakan segalanya, jika salah satu pekerjaannya ialah mengedarkan obat-obatan terlarang. Drystan syok luar biasa. Suara tangisan memohon dari ibunya masuk ke telinganya. Dia menghadapkan tubuhnya ke pria yang dia yakini merupakan ketuanya. "Saya janji, saya akan mengembalikan uang tersebut." Seketika Drystan mengutuk mulutnya. Uang dari mana? Dia saja belum bekerja!

Pria yang memiliki luka di atas alis matanya itu memandang Drystan rendah.

"Ayah!" Mereka dikejutkan oleh suara melengking yang terdengar hingga ke lantai bawah itu. Seorang wanita cantik mengenakan rok di atas lutut yang memperlihatkan paha mulusnya dengan rambut sepunggung berwarna merah terang yang dibiarkan tergerai itu berdiri di sebelah pria yang Drystan yakini merupakan bos mafia. "Aku ingin menjadikan dia sebagai bodyguard-ku." Wanita itu menunjuk Drystan seraya mengedipkan sebelah matanya, nakal.

Rahang Drystan terjun bebas.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY