Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Pembalasan Anak Laki-lakiku
Pembalasan Anak Laki-lakiku

Pembalasan Anak Laki-lakiku

5.0
17 Bab
2.5K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Suamiku memilih menikah lagi dan pergi meninggalkan kami, Namun Karma akan selalu mengikuti.Dia dan wanita itu sedang menikmati masa tuanya yang suram.

Bab 1 Mengiba

Pembalasan Anak Laki-lakiku

Part 1

"Jangan cari aku lagi, anggap saja aku tidak pernah hadir dalam hidup kalian," usir Mas Rahman. Wanita yang ada di sampingnya tersenyum sinis dan terus menggamit erat lengan suamiku.

"Apa yang harus aku jelaskan pada anak-anak kita, Mas?" tanyaku mengiba, aku berharap Mas Rahman luluh dan mau pulang bersamaku.

"Apa peduliku, mereka hanya jadi beban dalam hidupku. Jika aku terus hidup bersamamu, aku harus kerja banting tulang untuk makan kalian. Aku capek!" teriak Mas Rahman garang, kini semua orang yang berlalu lalang di terminal melihat ke arah kami. Sebenarnya aku sangat malu jika harus memohon dan mengiba agar Mas Rahman mau pulang. Tapi aku tidak punya pilihan lain lagi, aku butuh dia untuk anak-anakku.

"Tapi siapa lagi yang akan memberikan mereka nafkah jika bukan ayahnya," lirihku pelan. Hancur perasaanku saat mengetahui suamiku menikah lagi, tapi hatiku terlebih sakit saat mengetahui jika dia mengakui pada semua orang yang ada disini jika dia duda tanpa anak. Bagaimana perasaan anak-anak di rumah jika mereka mengetahui ayahnya sendiri tidak mengakui mereka sebagai anak.

"Kan sudah kukatakan dari tadi, anggap saja aku sudah mati. Aku juga tidak butuh kalian lagi, disini aku sudah memiliki anak dan istri." Dia berkata dengan pongah, ku akui dia laki-laki yang tampan. Yang dengan mudahnya menaklukkan hati wanita mana saja yang dia inginkan. Disini dia juga sudah memiliki istri dan satu orang anak laki-laki, anak si perempuan itu.

"Kamu nggak dengar kata suamiku Aini, dia sudah mengusirmu, kamu nggak malu?" tanya perempuan itu dengan sinis, dia tersenyum melihatku mengiba seperti ini. Hilang sudah harga diriku di depan mereka, ini semua aku lakukan semata demi anak-anakku. Mereka butuh sosok ayah, sebagai pelindung, sebagai pahlawan mereka.

"Yang mana suamimu, yang ini? Suami yang hasil rampasan," tanyaku menatap tajam matanya yang penuh dengan riasan makeup.

"Mas …." Dia merengek manja pada Mas Rahman meminta untuk dibela karena aku telah menyindirnya.

"Diam kamu Aini, dia sama sekali tidak merebutku darimu, aku yang dengan suka rela menikahinya, tarik balik kata-katamu tadi," bentak Mas Rahman dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.

Dia benar-benar telah dibutakan cinta wanita jalang itu, janda beranak satu, itupun anak dari hasil hubungan gelapnya dengan suami orang. Dan sekarang dia butuh sosok ayah untuk anaknya, hingga dia merebut ayah anak-anakku.

Aku tau semua cerita tentang wanita itu, karena wanita itu adalah gadis yang dulunya mengontrak di rumah mertua. Iya, Ibu dan Ayah Mas Rahman memang mempunyai rumah yang sedikit lebih luas. Jadi ada beberapa kamar kosong yang dijadikan sebagai kamar kontrakan bagi mahasiswa atau orang yang yang masih single. Wanita yang merebut suamiku bernama Maya, dia salah satu yang mengontrak di rumah mertuaku. Dia dulunya kuliah di Universitas di dekat rumah mertua, jadi untuk lebih mudah untuk berangkat ke tempat kuliah dia memilih untuk ngekost di daerah yang dekat dengan kampusnya.

Tapi sayangnya, dia tidak lulus kuliah karena telah di DO oleh pihak kampus. Itu karena dia ketahuan hamil diluar nikah, dan naasnya laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab atas janin yang ada dikandungnya. Beberapa kali kulihat istri dari laki-laki itu kerumah Ibu mertua untuk melabrak Maya. Aku sebagai wanita saat itu juga kasihan melihat Maya di aniaya oleh istri sah pacarnya, tapi aku bisa apa. Karena saat itu aku juga sedang mengandung buah cintaku yang pertama dengan Mas Rahman.

Tidak berapa lama setelah hari penganiayaan itu, akhirnya Maya dijemput oleh keluarganya. Terlihat Ayah dan Ibunya Maya berkali-kali meminta maaf kepada mertua karena kelakuan anaknya yang meresahkan. Hanya saja dulu Mas Rahman sama sekali tidak melirik ataupun tertarik pada Maya. Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu lagi dengannya setelah kejadian itu, entah dimana mereka bertemu kembali.

"Mas, aku mohon. Pulanglah demi anak-anak, aku tidak tau harus menjelaskan apa jika mereka bertanya tentang kamu," ujarku penuh iba, jika memang Mas Rahman tidak mau menerimaku lagi tidak mengapa, tapi jangan anak-anak. Mereka masih butuh kasih sayang seorang ayah, apalagi si bungsu, dia sangat lengket dengan Mas Rahman.

"Apa kamu bilang, pulang demi anak-anak? Kamu tau Aini, aku pergi meninggalkan kalian karena aku tidak sanggup lagi menghidupi anak-anak kamu yang seabrek," maki Mas Rahman lagi dengan tertawa simpul. Seabrek katanya, dulu ketika aku ingin menggunakan kontrasepsi Mas Rahman lah yang paling melarang, karena dia tidak puas katanya, sekarang dia malah menyalahkan aku. Wanita itu tertawa karena melihatku di hina oleh Mas Rahman, dia menang.

Lalu aku pulang dengan air mata berlinang dan tidak bisa berhenti menetes. Aku pulang menaiki bus yang menuju ke kotaku. Kota dimana aku merajut mimpi dan cinta, berjanji berdua akan setia selamanya sampai ke surgaNya. Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya aku akan di tinggalkan oleh laki-laki yang telah memberikan aku enam orang anak. Anak-anakku masih kecil, empat orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan.

Sebelumnya keluarga kami termasuk keluarga yang harmonis, walaupun ekonomi kami pas-pasan tapi tidak pernah sekalipun kami mengeluh. Sampai akhirnya Mas Rahman yang bekerja sebagai teknisi dipecat, karena pengurangan karyawan di perusahaan. Saat itulah sikap Mas Rahman menjadi sedikit berubah, dia sangat pusing memikirkan bagaimana caranya agar kami tetap bertahan hidup. Jadi, suatu hari datang teman kantornya Mas Rahman kerumah. Dia bernasib sama dengan suamiku, di PHK oleh perusahaan. Dia mengajak Mas Rahman untuk pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, lebih tepatnya membuka usaha sendiri.

Temannya Mas Rahman yang bernama Adi itu menjelaskan jika di kota, besar peluang untuk kita membuka usaha di bidang teknisi. Setelah berbincang-bincang lalu temannya Mas Rahman pamit pulang dan menunggu jawaban dari kami.

"Bagaimana menurutmu, Dek?" tanya Mas Rahman saat aku sedang memasak di dapur untuk makan malam kami sekeluarga.

"Bagaimana apanya, Mas?" Aku malah berbalik tanya, karena sejujurnya aku berat jika harus jauh dari Mas Rahman. Bukan hanya karena akan rindu, tapi juga tidak ada lagi yang membantuku mengurus anak-anak.

"Yang ditawarkan oleh Adi tadi."

"Menurut Mas gimana?" aku menjawab tanpa menoleh kearah Mas Rahman yang sedang menggendong si bungsu. Sedang kakak-kakaknya bermain di ruang keluarga.

"Sebenarnya Mas juga berat jika harus pisah jauh dari kalian, tapi kalau disini Mas nggak tau harus kerja apa. Kamu tau sendiri tabungan kita sudah nggak ada, belum lagi biaya sekolah anak-anak." Wajah Mas Rahman terlihat lesu, aku tahu jika dia sekarang sangat pusing memikirkan darimana harus mendapatkan uang. Sebaiknya memang aku yang harus mengalah.

"Pergilah, Mas. Tapi kamu kan tau jika pergi kesana untuk membuka usaha membutuhkan modal. Sedangkan tabungan kita sudah tidak ada, untuk makan besok saja aku bingung mau masak apa. Untung saja masih ada stok beras,"

"Bagaimana, jika aku menggadaikan sertifikat rumah ini." Usulan dari Mas Rahman mampu membuatku tercengang, bagaimana mungkin menggadaikan rumah ini. Sedangkan ini adalah rumah peninggalan orang tuaku yang sudah tiada, aku tidak rela melepaskan rumah ini jika sewaktu-waktu Mas Rahman tidak mampu membayar.

"Nggak, Mas. Aku nggak setuju, bagaimana jika kamu tidak sanggup untuk membayarnya. Bagaimana jika usaha kamu tidak maju," tanyaku bertubi-tubi.

"Dek, setiap usaha itu ya butuh modal. Dan setiap kita ingin membuka usaha, kita harus siap rugi. Tapi kamu tenang saja, aku akan berusaha semampuku untuk membuat kalian bahagia."

Lama aku terdiam dan tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Aku melanjutkan aksi memasak agar segera cepat selesai.

"Salma, tolong siapkan piring dan gelas untuk kita makan malam ya," aku sedikit berteriak pada Salma-- anak perempuan tertuaku. Dia anak yang gesit juga pintar, kulitnya juga putih bersih seperti kulitku. Umurnya sekarang sudah dua belas tahun, dia anak kami yang ke empat.

Setelah piringnya di atur oleh Salma, aku segera menaruh nasi pada piring-piring. Kami makan malam bersama, jika biasanya orang-orang makan dalam keheningan, tidak dengan keluarga kami. Anak-anakku selalu ribut dan kadang-kadang yang tua menggoda adiknya.

Aku juga ikut makan dengan kondisi menggendong si kecil Anto, bisa dibayangkan bagaimana nyamannya aku makan. Tapi aku sama sekali tidak merasa sedih, malah aku bahagia bisa mengurus mereka semua dengan kasih sayang.

Setelah siap makan malam, anak-anak langsung aku suruh untuk tidur. Dan aku akan segera membereskan dapur dan piring kotor, sedang Mas Rahman menidurkan si kecil Anto. Dia tidak mau tidur jika bukan dengan ayahnya, sungguh mereka tidak bisa dipisahkan.

"Gimana, Dek?" Tiba-tiba Mas Rahman sudah ada di dapur. Aku yang sedang mencuci piring tidak menjawab dan terus saja kulanjutkan pekerjaan mencuciku.

"Kamu nggak kasian sama anak-anak, mereka butuh biaya untuk melanjutkan cita-cita. Kita butuh biaya untuk membahagiakan mereka, aku janji jika nanti aku sudah sukses disana. Kalian akan kubawa ke kota untuk tinggal bersama." Mas Rahman terus mengiba dengan dalih untuk membahagiakan anak-anak, dia tau aku, jika sudah menyangkut tentang kebahagiaan anak-anak aku akan luluh.

Ku hembuskan nafas perlahan dan mengelap tanganku yang basah, lalu aku berbalik menatap manik matanya yang mampu membuatku jatuh cinta.

"Baiklah, Mas. Aku setuju, besok pergilah mengurus semuanya," jawabku tersenyum dan dibalas pelukan hangat dari suamiku.

"Terimakasih, sayang." Mas Rahman mengecup keningku mesra, dia memang mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali.

Setelah semuanya selesai, hari yang ditunggu pun datang. Hari ini Mas Rahman akan pergi ke kota bersama Adi temannya, aku melepaskan kepergiannya dengan air mata. Jangan tanya anak-anak, mereka histeris menangisi kepergian ayahnya. Maklum, kami tidak pernah berjauhan sebelumnya. Aku menenangkan pikiran dengan mensugesti diri sendiri jika Mas Rahman pergi menjemput kebahagiaan, ternyata benar. Dia memang pergi menjemput kebahagiaannya sendiri, tapi tidak dengan kami.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 17 Marah Ali   11-16 09:14
img
1 Bab 1 Mengiba
06/08/2022
4 Bab 4 Uang Transferan
06/08/2022
5 Bab 5 Obat Gatal
06/08/2022
6 Bab 6 Ancaman Ali
06/08/2022
7 Bab 7 Dibayar Lunas
06/08/2022
8 Bab 8 Dipermalukan
06/08/2022
9 Bab 9 Masa lalu Aini
06/08/2022
10 Bab 10 Ali ke kota
06/08/2022
11 Bab 11 Benci ayah
06/08/2022
12 Bab 12 POV Rahman
06/08/2022
13 Bab 13 Anak durhaka
06/08/2022
14 Bab 14 Anak tiri Ayah
06/08/2022
16 Bab 16 Rasa menyesal
05/09/2022
17 Bab 17 Marah Ali
05/09/2022
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY