/0/8157/coverbig.jpg?v=4b299bd68b971aa1c0d72d7b8698e197)
Seorang pemuda tampan tiba-tiba saja muncul di hadapan Zeana, memaksa untuk ikut ke rumah, dan rela diapa-apakan olehnya asalkan bisa mendapatkan makan dan juga tempat tinggal. Zeana yang tak tahu apapun dan menganggap pemuda itu hanya sebagai gelandangan, terpaksa menerimanya dan akhirnya mereka pun tinggal bersama. Siapa sangka pemuda berparas tampan yang terlihat tak memiliki apapun itu, rupanya adalah anak dari seorang CEO di sebuah perusahaan besar tempat di mana selama ini Zeana bekerja! Ada apa sebenarnya? Mengapa sang tuan muda begitu sangat terobsesi untuk mendekatinya?
"Tante. Apakah aku boleh ikut denganmu?" tanya seorang pemuda bertubuh tinggi tegap di hadapannya.
Wajahnya sangat tampan, alisnya terukir dengan tajam dan indah sempurna. Hidungnya mancung, dan memiliki senyuman manis yang sangat memabukan. Selama beberapa saat, Zeana terpaku memandang keindahan paras yang ada di sana. Hingga ucapan sang pemuda, membuat Zeana mengerjap dan tersadar kembali dari keterpakuannya.
"Tante ... "
Zeana pun berdecak dengan gemas. "Jangan panggil aku Tante! Umurku masih sangat muda!"
"Tapi tante bisa melakukan apapun kepadaku dengan sesuka hati," bujuk pemuda itu lagi dengan polosnya, membuat Zeana sampai menyentuh keningnya frustasi.
Mereka berdua tak sengaja bertemu sekitar dua jam yang lalu, ketika Zeana mampir ke sebuah toko sebelum akhirnya akan pulang ke rumah setelah seharian bekerja di kantor.
Menyadari ada seorang pemuda yang tak henti-hentinya mengamati, Zeana cukup merasa risih. Namun ia sama sekali tidak menyangka, jika pemuda itu juga akan berani untuk terus mengikuti setiap langkahnya.
"Tante ... "
Kedua tangan Zeana mengepal, menahan diri untuk tidak segera membungkus pemuda tampan itu dan memasukkannya ke dalam karung! Sungguh! Bagaimana bisa ada pemuda setampan ini berkeliaran di tengah malam?
"Apapun?" tantang Zeana dengan raut jengah, karena pemuda itu begitu sangat keras kepala, dan terus mengikutinya tanpa henti sehingga sulit bagi Zeana untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Apapun," jawab pemuda itu dengan yakin. "Sungguh! Aku akan melakukan apapun asalkan Tante mau membawaku pulang."
Zeana mendesah seketika. Ia menatap jam yang ada di pergelangan tangannya, lalu mengernyit ketika menyadari jika waktu sudah semakin larut. Sepatu high heels sudah ia lepas dan berganti dengan sandal jepit, blazer lengan panjangnya pun sudah ia lipat setengah, menunjukkan betapa lelahnya ia hari ini.
"Kenapa kau ingin sekali ikut denganku?" tanya Zeana penasaran. "Pemuda sepertimu, seharusnya sadar jika wanita asing yang tak dikenal bisa saja menjadi berbahaya. Dan bisa jadi aku adalah salah satunya. Pergilah! Aku sedang tidak ingin berurusan dengan pemuda sepertimu."
Pemuda itu mengedip-ngedipkan matanya dengan polos. "Memangnya tubuhku tidak bagus ya? Kenapa Tante sama sekali tidak tertarik? Aku bisa memperlihatkannya kepadamu, siapa tahu saja Tante bisa berubah pikiran," ujarnya polos.
Ya Tuhan! Rasanya Zeana ingin sekali menepuk jidat. Mimpi apa dirinya semalam sehingga harus berurusan dengan hal yang menjengkelkan seperti ini?
Sesekali matanya menyapu ke arah sekeliling, menahan rasa malu karena tidak sedikit orang yang masih berlalu lalang memperhatikan percakapan mereka berdua, dan memberikan pandangan yang sangat aneh.
Bagaimana tidak? Tak henti-hentinya pemuda ini menawarkan dirinya untuk ia bawa dan rela diapa-apakan dengan nada lantang.
Sungguh gila! Memangnya Zeana terlihat seperti tante-tante yang sedang mencari berondong, hah?
"Pergilah!" Perintah Zeana dengan geram. "Cari wanita lain jika kau ingin melakukan sebuah modus, karena aku sama sekali tidak merasa tertarik denganmu."
"Wanita lain?" Pemuda itu mengernyit, menunjukkan sedikit rasa kecewanya. "Tapi aku hanya ingin bersama dengan Tante."
Ya Tuhan! "Tapi kenapa?" tanya Zeana gemas.
"Karena Tante cantik dan sepertinya sangat kaya. Aku mau jika hanya dijadikan sebagai simpanan. Tante tidak perlu memberi uang, asalkan aku bisa makan dan memiliki tempat tinggal selama beberapa waktu."
Deg! Zeana terpaku sejenak. Tempat tinggal? Dan juga makan? Sepertinya Zeana mulai mengerti dengan alasan mengapa pemuda ini bisa sampai berani menawarkan diri. Namun anehnya, kenapa Zeana sama sekali tidak menemukan raut putus asa di wajah polos itu.
Seolah-olah, menawarkan diri adalah hal yang biasa pemuda itu lakukan. Apakah mungkin dirinya adalah wanita yang kesekian?
Zeana, tentu tidak akan mudah luluh begitu saja dengan kepolosan yang mungkin hanyalah sekedar modus seperti ini.
"Oke, mungkin kau sudah salah paham, Anak Muda. Tapi aku tidak pernah memakai jasa seorang pria untuk menyalurkan hasratku. Lebih baik kau pergi sebelum aku memanggil para petugas keamanan."
"Aku masih perjaka, Tante. Belum pernah terjamah dan belum pernah berpacaran sama sekali. Apakah Tante sama sekali tidak tertarik? Tante juga bisa memeriksanya secara langsung jika belum yakin."
Wajah Zeana memerah. Ya Tuhan! Anak ini benar-benar ...
Kenapa menawarkan diri seperti sedang menawarkan jajanan?
"Bersama siapa kau sebenarnya?" selidik Zeana dengan tajam sambil bersedekap dada. "Katakan. Apakah ada seseorang dibelakangmu yang menyuruhmu untuk melakukannya, hah?"
"Tidak ada," jawab pemuda itu apa adanya. "Ini adalah inisiatifku agar bisa bertahan hidup."
"Bertahan hidup apanya?" Zeana mendadak jengkel.
Ia kembali mengamati keseluruhan pemuda itu, yang hanya mengenakan kaos polos lengan pendek berwarna putih, dengan celana panjang berwarna hitam. Memang terlihat polos, namun memiliki jahitan rapi dan sepertinya bahan yang digunakan sangatlah mahal. Atau hanya perkiraannya saja?
Dan pemuda itu juga hanya membawa tas kecil yang terlampir di pundak dan tidak ada benda apapun lagi di sana.
Menyadari Zeana terus diperhatikan, membuat pemuda itu tersenyum dengan begitu antusias. "Apakah Tante mulai penasaran dengan bentuk tubuhku? Aku bisa memperlihatkannya sekarang jika Tante mau."
Zeana melotot sambil membekap mulut pemuda itu dengan tatapan memperingatkan, karena ada sepasang anak muda-mudi yang baru saja melewati mereka lalu tertawa. "Kau gila! Aku sampai merinding ketika menghadapimu."
Bola mata pemuda itu bergulir mengamati mulutnya yang masih dibekap, lalu menatap Zeana lagi sambil tersenyum.
Menyadari setiap sudut bibir yang ada di dalam bekapan tangannya terangkat, Zeana panik dan segera melepaskannya.
"Aku sama sekali tidak menyangka jika Tante tidak sabar untuk menjamah tubuhku."
"Diam! Dan jangan panggil aku Tante!" Entah rona di wajahnya sudah semerah apa. Pintar sekali pemuda ini membuatnya salah tingkah. "Aku akan pulang! Dan berhentilah mengikutiku! Jika kau tidak mau mendengarkan, maka aku tak segan-segan untuk berteriak. Apa kau mengerti?" Sambil menunjuk dengan tegas.
Pemuda itu hanya menatap dengan sedih, membuat Zeana mulai diserang perasaan tidak tega. Namun tidak mungkin wanita lajang seperti dirinya membawa seorang pria ke tempat tinggalnya, karena hanya akan menyebabkan masalah dan juga fitnah jika orang-orang sekitar sampai mengetahui.
"Awas saja jika kau berbuat nekat!" ancam Zeana lagi.
Awalnya Zeana bergerak mundur hanya dua langkah, dengan sepasang mata yang terus menatap pria muda itu dengan waspada. Sadar jika pemuda itu hanya diam saja dan tidak lagi mengikuti, Zeana pun terus melangkah mundur hingga ia pun sampai ke bagian mobilnya yang masih terparkir di sana.
Gerakannya seperti sebuah robot, terus mengamati pemuda itu hingga ia bisa memasuki mobilnya dengan aman. Oke, berhasil.
Zeana mulai menyalakan mesin mobilnya dan bersiap-siap untuk pergi. Meskipun begitu, sepasang matanya tak bisa berhenti untuk melihat pemuda itu dari kejauhan yang masih setia berdiri di sana.
Tatapan yang sama, seakan ada harapan besar untuk ikut dengannya.
Tapi hei! Sadarkan dirimu Zeana. Dengan membawa pemuda itu bersamamu, hanya akan membawa banyak bencana.
Pernikahan tiga tahun tidak meninggalkan apa pun selain keputusasaan. Dia dipaksa untuk menandatangani perjanjian perceraian saat dia hamil. Penyesalan memenuhi hatinya saat dia menyaksikan betapa kejamnya pria itu. Tidak sampai dia pergi, barulah pria itu menyadari bahwa sang wanita adalah orang yang benar-benar dia cintai. Tidak ada cara mudah untuk menyembuhkan patah hati, jadi dia memutuskan untuk menghujaninya dengan cinta tanpa batas.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Jatuh cinta bisa terjadi pada siapa saja, tidak terkecuali pada istri orang. Itulah yang terjadi pada Alex Spencer, pria pengangguran yang hidup menumpang pada istrinya, Tracy. Pesona Tessa membuatnya jatuh cinta teramat jauh. Sedang, Tessa merupakan istri Kapten Pasukan Elit Angakat Darat Salvador, Leo Willborwn. Jika dibandingkan dengannya, jelas Leo jauh lebih baik dari segi apa pun. Hanya saja, Tessa sering kesepian saat suaminya pergi bertugas. Kesempatan itu pun Alex gunakan untuk menjerat Tessa dalam hasrat gilanya. Mampukah Tessa menahan derasnya godaan birahi?
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Awalnya, Krystal hanya meminta pertolongan pada Kaivan untuk meminjam uang demi mengobati adiknya yang sakit. Namun, semua niat Krystal tidak bisa gratis begitu saja. Ada harga yang harus dibayar. Menjadi istri kedua dari seorang Kaivan Bastian Mahendra adalah syarat utama yang harus Krystal lakukan. Hubungan rumit layaknya sesuatu hal yang tak mungkin, mampukah Krystal bertahan?
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.