Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kutukan Cinta Sang CEO
Kutukan Cinta Sang CEO

Kutukan Cinta Sang CEO

5.0
24 Bab
111 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

“Bagaimana jika aku mencintaimu?” “Maka kau akan mati.” *** Khaidar Wijaya, seorang pemuda konglomerat yang mendapatkan kutukan bahwa setiap orang yang mencintainya dengan tulus akan mendapatkan kesialan hingga kematian dalam waktu dekat. Kutukan itu telah membuat kedua orangtua Khaidar meninggal dunia dan semua kerabatnya memilih untuk menjauh agar terhindar dari malapetaka itu, kecuali sang nenek yang berusaha keras untuk tidak mencintainya agar bisa dekat dengannya. Suatu hari, neneknya sedang sekarat dan memiliki permintaan terakhir untuk melihat kutukan yang ada pada diri Khaidar menghilang. Hal itu menuntunnya untuk bertemu dengan Viona, teman sekolahnya dulu, yang tidak pernah menyukainya. Khaidar membuat kesepakatan dengan Viona untuk menikah agar sang nenek tidak khawatir lagi. Apakah Viona berhasil mempertahankan perasaannya pada Khaidar tetap sama seperti dulu? Atau dia akan berakhir sama seperti orang-orang yang mencintai Khaidar?

Bab 1 Mimpi Buruk Dari Kenyataan

“Ibu mencintaimu, Nak.”

“Tidak!”

“Ayah juga mencintaimu, Nak!”

“Jangan! Tidak! Jangan pergi! Ayah! Ibu!”

Dahi pria itu mengerut dan nampak gelisah dalam tidurnya. Kepalanya terus menoleh ke kanan dan ke kiri bergantian, sampai akhirnya matanya tiba-tiba terbuka lebar menatap langit-langit kamar. Selama beberapa saat ia hanya diam, tidak bergeming.

“Hanya mimpi.” , gumamnya pelan dan merebahkan tangannya di atas dahi seraya memejamkan matanya kembali.

Belum lama ia memejamkan mata, sebuah suara yang keluar dari intercom mengejutkannya.

“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tiga tuan muda, Khaidar. Semoga anda panjang umur dan sehat selalu. Nenek anda sudah menyiapkan kejutan di ruang utama dan sudah menunggu anda.”

Pria muda itu membuka matanya perlahan menatap lampu yang padam di atasnya. Ia memikirkan perkataan sekretaris pribadinya yang baru saja berbicara padanya melalui intercom karena tidak berani masuk begitu saja.

“Masuklah.” , balas Khaidar dan tak berselang lama pintu kamarnya yang besar itu terbuka.

Seorang pria dengan setelan jas rapi masuk. Suara sepatu pantofelnya membentur lantai marmer menimbulkan suara yang memaksa Khaidar untuk tidak memejamkan matanya lagi. Dia adalah Hardian, sekretaris pribadi Khaidar yang paling lama bertahan dengannya. Sebelum Hardian, sudah puluhan orang yang mengundurkan diri setelah bekerja tidak kurang dari sebulan. Tidak ada yang istimewa dari Hardian, hanya saja ia memiliki hati yang keras seperti es di kutub yang sulit untuk mencair. Itu adalah salah satu modal besar yang harus dimiliki untuk bertahan sebagai sekretaris pribadi Khaidar.

“Nenek anda sudah menunggu sejak tadi, tuan muda. Sebaiknya anda segera bangun dan menyapanya sebentar.” , ungkap Khaidar dengan tegas seperti rambutnya yang klimis.

“Tadi kau bilang hari ini aku ulang tahun yang ke berapa?”

“23 tahun, tuan.”

“Ah benar. 23 tahun hidupku yang tidak berguna.”

“Sebaiknya anda lekas bangun dan temui nenekmu, atau–”

“Atau apa?” , tanya Khaidar terlihat tidak peduli.

Hardian melangkah mendekat dan tanpa ragu langsung menyibak selimut yang menutupi dada Khaidar sampai ke ujung kakinya dan membuat dadanya terekspos, “Apa saya harus menyeretmu juga, tuan?”

Khaidar sejak dulu memiliki kebiasaan untuk tidur tanpa mengenakan baju meskipun kamarnya dingin. Ia lebih memilih untuk memakai selimut yang tebal. Ia yang masih terkejut dengan tindakan Hardian barusan langsung turun dari tempat tidur sebelum Hardian benar-benar menyeretnya dengan cara yang sama sekali tidak terhormat. Saat Khaidar bangun berdiri, Hardian melihat bagian bantal yang membentuk kepala Saka tampak agak basah tanda bahwa Khaidar berkeringat saat tidur, padahal pendingin ruangan terus menyala sepanjang malam.

“Apa semalam anda mimpi buruk lagi, tuan muda?” , tanya Hardian berjalan mengikuti Khaidar yang sudah melangkah keluar dari kamarnya dengan mengenakan jubah mandi abu-abu.

“Apa kau seorang peramal, mas Hardian? Bagaimana bisa tebakanmu selalu benar?” , kini Khaidar yang balas bertanya.

Sepanjang jalan Khaidar dari kamarnya menuju ruang utama, ia bertemu dengan beberapa orang yang menunduk sambil mengucapkan selamat pagi padanya. Mereka adalah para pekerja yang mengurus rumah dua lantai yang memiliki luas 2.500 meter persegi itu. Kebanyakan orang-orang yang bekerja untuk merawat rumah ini adalah laki-laki. Tentu ada alasan khusus untuk itu.

“Bukan meramal. Saya lebih suka menyebutnya dengan deduksi.” , jawab Hardian singkat.

Saat Khaidar menuruni tangga melingkar yang besar itu, ia bisa melihat ada begitu banyak kotak-kotak kado yang dibungkus dengan pita-pita besar bertebaran di sekitar sofa. Beberapa pelayan sudah berdiri dengan atribut khusus ulang tahun seperti topi kerucut dan juga terompet.

“Selamat ulang tahun, tuan muda Khaidar!” , sahut mereka semua dengan kompak lalu diiringi dengan tepukan tangan dan juga lagu ucapan selamat ulang tahun.

“Stop! Stop! Stop!” , pekik Khaidar terlihat tidak senang dengan itu dan mereka semua langsung berhenti, “Aku sudah besar. Sudah berkepala dua. Tidak perlu seperti itu.”

Para pelayan yang langsung ciut itu menatap ke arah Hadrian bersamaan, seolah-olah bertanya ‘apa yang harus mereka lakukan sekarang’. Tanpa sepatah kata pun, Hadrian selaku orang terdekat Khaidar saat ini, langsung memberi kode dengan menggerakan kepalanya untuk meminta mereka pergi kembali pada pekerjaan mereka masing-masing.

Kado yang tentu saja tidak dibutuhkan oleh Khaidar itu benar-benar menumpuk, tumpah ke lantai. Saat hendak duduk di tengah sofa, Khaidar menendang beberapa kado yang menghalangi langkah kakinya, sementara beberapa pelayan yang masih ada di sana hanya bisa bersedih hati. Mereka yakin kotak terkecil yang ada di situ adalah ponsel keluaran terbaru dan Khaidar menendangnya begitu saja seakan itu adalah kertas tak terpakai yang telah diremas menjadi bentuk bola.

“Selamat ulang tahun cucuku sayang.” ,ucap seorang wanita tua yang tampil di layar sebuah tablet yang sudah berdiri di atas meja, tepat di hadapan Khaidar.

Pria itu bisa melihat sang nenek yang tersenyum lebar menampilkan garis kerutan di sudut mata, sementara dirinya sendiri tidak menyalakan kamera sesuai dengan permintaan sang nenek.

“Nenek terlihat cantik hari ini.” , puji Khaidar dengan senyum pahit di wajahnya.

Wanita tua yang tampak di layar, tertawa renyah mendengarnya, “Tentu saja. Ini hari yang istimewa untuk nenek karena cucu nenek berulang tahun. Tidak terasa kau sudah tumbuh besar.”

“Bagaimana nenek bisa tahu aku tumbuh besar jika tidak melihatku?” , tanya Khaidar tersenyum miris.

Senyuman lebar sang nenek pun memudar namun ia tetap memaksa kerutan di sekitar bibirnya untuk tetap terangkat.

“Apa nenek tidak mau melihatku? Sekali saja. Aku tidak butuh hal lain. Aku tidak butuh semua kado bodoh ini. Aku ingin nenek melihatku.”

Hardian dan beberapa pelayan yang masih ada di situ ikut bersedih dalam hati mereka merasakan betapa kesepiannya Khaidar, sepanjang hidupnya tidak pernah benar-benar merasakan kasih sayang secara langsung meskipun hidupnya sangatlah berkecukupan.

Bibir sang nenek bergetar, ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh cucu kesayangannya itu. Namun ia tidak punya pilihan selain tetap tersenyum, terlihat tegar.

“Nenek akan datang berkunjung nanti.”

“Nenek juga bilang begitu pada ulang tahunku tahun lalu.”

“Kau tahu nenek sangat sibuk mengurus banyak hal.”

“Nenek juga tahu aku sangat merindukan nenek.”

Bak serangan peluru dari juru tembak, setiap kata yang Khaidar ucapkan tepat mengenai hati sang nenek, melukainya, dan meninggalkan rasa sakit di sana. Ia tidak bisa mengingkari bahwa perkataan cucunya adalah benar dan ia pun merasakan hal yang sama.

“Baiklah. Silahkan kau buka kameramu. Nenek ingin melihat wajah cucu nenek yang paling tampan.”

Khaidar tersenyum senang dan matanya sudah berkaca-kaca. Ia menoleh pada Hadrian dan lelaki berpakaian rapi itu langsung mendekat untuk menyalakan fitur kamera dengan ragu-ragu. Sebelum menyalakannya, ia menoleh kembali pada Khaidar dan yang ia dapatkan hanya anggukan kepala.

Di seberang panggilan video, sang nenek merasa begitu gugup sampai ia harus memegangi tangannya yang gemetar. Selama setahun ini ia hanya melihat cucunya melalui foto saja, tidak pernah melihatnya secara langsung untuk keselamatannya.

Khaidar Wijaya, cucu satu-satunya dan juga merupakan pewaris tunggal dari perusahaan property miliknya. Kehidupan sempurnanya yang sudah terjamin sejak dalam kandungan dihentikan oleh kutukan yang datang padanya. Semua orang yang menyayanginya dengan tulus akan terus mendapatkan kesialan sampai puncaknya adalah kematian.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY