Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Menikahlah Denganku, Pak!
Menikahlah Denganku, Pak!

Menikahlah Denganku, Pak!

5.0
123 Bab
39.4K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

“Menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menjadi istri yang merepotkan. Bagaimana?” “Kau bercanda?” “Apa wajahku terlihat seperti seseorang yang sedang melucu?” “Iya.” Sial, gerutu Hanifa dalam hati. Sepintas, terlihat jelas kilatan listrik kekesalan pada wajahnya. Hanifa, seorang gadis kaya yang sudah mencetak rekor gagal lolos dalam seleksi ujian masuk perguruan tinggi sebanyak 2 kali berturut-turut ini dengan lantangnya meminta tutor belajarnya untuk menikah dengannya. Akankah keinginannya terkabul meskipun dengan alasan yang sangat tidak bisa diterima oleh tutornya itu?

Bab 1 Lamaran !

Mata bulat itu menatap lekat-lekat kertas putih berisi kumpulan soal latihan ujian masuk perguruan tinggi dengan dahi mengkerut. Pupil matanya bergerak lambat mengiringi gumaman otaknya saat membaca tiap kata dan angka-angka yang sudah familiar namun tak kunjung juga ia pahami. Seakan gerakan matanya tidak cukup untuk membuatnya fokus, kini telunjuk kanannya ikut bergerak menuntun fokus matanya agar mencerna baik-baik kalimat yang tertulis di sana.

“Apa masih belum menemukan titik permasalahannya?” , tanya pria di sebelahnya yang sejak tadi menatap gemas ingin mendaratkan sebuah jitakan kecil di atas dahi gadis di hadapannya.

Ia memangku dagu dengan tangan kirinya, mulai bosan menunggu sampai gadis ini menyelesaikan satu soal yang baru saja ia jelaskan untuk kedua kalinya lima menit yang lalu. Ini adalah pertama kalinya ia menghadapi murid yang langsung melupakan hal yang baru saja diajarkan, padahal sebelumnya mengaku sudah mengerti dan bisa mengerjakannya sendiri.

“Kau boleh bertanya.” , katanya lagi sebab tak kunjung mendapatkan balasan dari pertanyaan sebelumnya, sementara waktu mengajarnya hanya tersisa 15 menit lagi.

Gadis itu mengangkat kepalanya dengan ragu memberanikan untuk menatap pria di hadapannya yang sudah terlihat geram menunggu, “Aku hanya akan menanyakan tentang variabel x kuadrat ini. Sungguh! Aku bukannya lupa bagaimana cara menyederhanakannya.. Hanya saja..”

“Hmm?”

Gadis itu mengulum bibirnya dan menatap pria di hadapan nya selama beberapa detik. Ia menurunkan bahunya dan menggeser selembar kertas itu mendekat ke hadapan pria yang merupakan tutor bimbingan belajarnya.

“Ini. Tadi sebelumnya bapak bilang jika ada variabel yang sama maka harus disederhanakan dengan sistem eliminasi. Lalu x kuadrat dengan x itu variabel yang sama atau berbeda? Itu saja.”

Pria dengan kacamata persegi yang menutupi mata coklatnya itu sama sekali tidak menatap kertas soal yang disodorkan. Ia hanya memperhatikan garis wajah gadis di hadapannya dengan tatapan datar, berusaha menutupi keinginannya untuk membuka kepala isi kepala gadis itu dengan otak monyet peliharaan milik pamannya. Rasanya monyet yang biasa dipanggil Otan itu lebih pintar dibandingkan manusia di depannya ini.

“Menurutmu?”

“… sama?” , kata gadis itu ragu.

Tanpa diduga, pria itu mengangkat tangan kanannya yang masih memegang pensil dan mengetukkan pensil tersebut pada dahi gadis itu pelan, “Itu kau sudah tahu. Apa kau tahu apa masalah yang ada pada dirimu? Kau ragu. Kau selalu meragukan dirimu, Hanifa.”

“Tidak selalu,” , elak gadis yang biasa dipanggil Hanifa itu, “Aku hanya begitu dalam matematika saja.” , katanya sambil menarik kembali kertas soalnya dan mulai mengerjakannya.

“Cih.”

Suasana pun kembali tenang. Hanya terdengar suara halus dari pendingin ruangan yang ada di dalam kamar mewah itu. Meskipun barang-barang yang ada di sana bukan berlapis emas ataupun permata, dari bentuk dan warnanya saja sudah bisa terlihat bahwa itu semua bukan barang murahan dan mudah didapatkan. Namun interior kamar maupun rumah ini tidak menarik perhatian pria dengan kemeja abu-abu bergaris tipis lengan pendek itu, seakan-akan ia sudah terbiasa dengan semua hal ini.

Pria itu menarik kepalanya dan melirik jam tua yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktunya sudah hampir habis tetapi Hanifa masih juga belum kunjung selesai mengerjakan sepuluh soal dengan jenis soal yang sama. Hal itu membuatnya merebahkan punggung lelahnya di kursi kayu seraya menghela nafas berat.

“Kau sudah selesai?”

“Sebentar! Hanya tersisa 1 soal lagi!” , tukas Hanifa tidak mengalihkan pandangannya dan juga gerak tangannya yang berusaha menulis secepat yang ia bisa.

“Nah, sudah!” , katanya bersemangat dan langsung meletakan kertas di tangannya tepat ke hadapan tutornya yang dingin itu.

Seringai senyum penuh kemenangan terlukis jelas di wajah Hanifa, “Ingat, kau sudah berjanji akan membelikanku boba jika kali ini jawabanku benar semua.”

“Tsk, kau ini orang kaya, nona, tetapi masih mau memeras orang kecil sepertiku.” , balas sang tutor menggelengkan kepalanya.

“Kau juga orang kaya, pak.” , kata Hanifa ganti ia yang memangku dagunya.

“Apa maksudmu?”

Hanifa menunujukkan sedikit senyumnya,“Terlihat jelas dari jam tangan yang bapak pakai. Itu jam limited edition buatan Belgia, kan? Ayahku juga punya 1 yang seperti itu.”

Ujung bibir pria itu tertarik sedikit membentuk sebuah senyum kecil di wajahnya, “Oh begitu.”

Pria di hadapannya, Saka, adalah tutor bimbingan belajar Hanifa sejak 6 bulan silam, tepatnya setelah seminggu Hanifa ikut tinggal bersama dengan ibunya. Tidak seperti penampilannya yang sederhana dan terlihat kikuk, tutornya itu adalah seorang dosen di salah satu universitas ternama yang tidak pernah diberitahukan olehnya meskipun sudah ratusan kali bertanya.

Terlambat untuk Hanifa bertanya pada ibunya, sebab di awal sebelum keduanya berjabat tangan tanda Saka sepakat untuk menjadi tutor Hanifa, Saka mengajukan persyaratan untuk tidak memberitahukan di universitas mana ia mengajar dan ibu Hanifa sepakat dengan syarat yang sama sekali tidak sulit itu.

Hanifa adalah remaja dewasa yang sudah 2 kali gagal dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Meskipun ia tidak memiliki gen jenius dari keluarganya, tetapi yang dilakukan Hanifa adalah prestasi terburuk yang pernah tercatat dalam sejarah keluarga besarnya. Hal itu pun tak ayal menjadi buah bicara juga candaan saudara-saudaranya yang lain tiap kali ada pertemuan keluarga.

Beruntungnya Hanifa adalah anak yang keras kepala dan sulit untuk mendengarkan perkataan orang lain, sehingga semua cemoohan itu hanya masuk melalui telinga kanannya dan kembali keluar dari telinga kanannya, tidak keluar dari telinga kirinya yang berarti semua perkataan buruk itu sama sekali tidak singgah ataupun melintasi pikirannya.

Sifat keras kepalanya itu ia dapatkan dari ibunya yang merupakan wanita independen. Terbukti, di umurnya yang sudah menginjak kepala empat ini ibunya masih aktif mengurus perusahaan kosmetiknya tanpa bantuan suami karena sudah bercerai sejak Hanifa masih duduk di sekolah menengah pertama tahun akhir. Dari perceraian itu ayahnya mendapatkan hak asuh Hanifa sampai akhirnya 6 bulan yang lalu sang ibu mengambil alih kembali haknya dalam hal mengasuh Hanifa.

Tetapi ibunya mengambil Hanifa bukannya tanpa alasan, ia ingin Hanifa melanjutkan estafet nya dalam memimpin dan mengurus perusahaan miliknya. Itu sebabnya ia bersikukuh ingin Hanifa masuk jurusan akuntansi sebelum benar-benar berkecimpung dalam dunia bisnis yang sesungguhnya. Namun, visi dan realita yang terjadi sedikit bertentangan. Hal itulah yang membuatnya menyewa salah satu tutor termahal yang ada di kota untuk membimbing Hanifa dan menuntut untuk berhasil lolos ujian masuk tahun besok.

Di bulan-bulan awal fokus Hanifa tepat berada di jalur seperti yang ibunya inginkan, tetapi sejak tiga bulan ini perhatian Hanifa sudah terbagi. Performanya sedikit menurun meskipun pada akhirnya Hanifa tetap bisa menyelesaikan semua soal-soal latihan yang diberikan oleh Saka. Sama seperti yang terjadi hari ini. Materi tentang aljabar yang sudah pernah dipelajari dua bulan sebelumnya, masih belum berada di luar kepalanya.

“Kau tahu kita pernah membahas tentang ini dua bulan yang lalu, kan? Tetapi sepertinya kau sudah hampir lupa semuanya, hm?” , komentar Saka mengalihkan perhatiannya dari kertas setelah menorehkan nilai A dan juga tanda tangan serta tanggal hari ini, menatap Hanifa yang masih memangku dagu tepat di hadapannya.

“Sepertinya begitu.” , balas Hanifa tidak berniat untuk mengelak.

“Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini?” , tanya Saka menyatukan kedua tangannya membentuk segitiga di depan mulutnya.

Hanifa merubah posisinya mengikuti Saka, “Apa bapak mau membantu menyingkirkan beban pikiranku jika aku memberitahumu?”

“Tergantung. Jika aku bisa, maka aku akan membantumu.”

Hanifa diam sejenak, “Sebenarnya hanya bapak saja yang bisa membantuku.” , katanya setelah berdebat singkat dengan diri yang lain dalam pikirannya.

Tentu saja pernyataan itu membuat Saka bingung dan satu alisnya terangkat naik,“Bagaimana bisa begitu? Apa aku yang menjadi beban pikiranmu?”

Hanifa tersenyum geli melihat respon tutornya yang benar-benar kaku dan terlihat membosankan baginya itu, “Tidak. Tetapi benar hanya bapak yang bisa membantuku.”

Mendengar kesungguhan murid yang paling menguji kesabarannya itu, Saka memutuskan untuk tinggal beberapa menit lagi untuk mendengarkan meskipun waktu mengajarnya telah usai.

Saka menarik punggungnya menjadi bersandar pada punggung kursi yang ia duduki, “Baiklah, katakan padaku.”

Seakan-akan terhipnotis dengan gerakan Saka, Hanifa pun mengubah posisinya dengan menurunkan kedua tangannya, “Menikahlah denganku, Pak!”

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY