janjinya. Ia datang lima belas menit lebih awal, berdiri di depan ko
g melempar kalimat-kalimat ringan. Tapi suasananya tak bisa kusebut biasa. Rasanya se
visual terpajang di dinding putih bersih. Bau cat minyak, suara langkah pelan, dan caha
alan berd
atu sudut,
berwarna kelabu dan jingga. Ada percikan
Yang Tak
" kataku, sete
san yang sama. Lama. Lalu tiba-tiba, ia
apin itu yang justru pal
i ia tetap menatap luk
ri ruang yang selama ini tak pernah tersentuh oleh r
"Raka... kenapa kamu
hindar, tapi juga tak member
Nggak tahu kenapa... tapi ka
garnya. Tapi kenapa rasa
an jawaban. It
ku adalah rumah yang nyaman, tapi
yang lebih dulu melangkah menjauh dari lukisan itu. Raka
rku pulang. Sebelum a
tang bareng. Besok... bol
ta kalau cuma untuk sekadar hadir, aku
nangis bukan karena dia tak tahu... tapi kar
, aku tidak menanyakan
tertawa saat ia melempar candaan yang kadang terlalu basi untuk
oba membaca maksud di balik perhatiannya. Tak lagi bertanya-tanya, "apakah ini
rlahan... m
itinggali. Lelah menjadi ruang yang ia datangi saat dunia m
uh. Tapi juga
u, tetap dengan tatapannya yang tak pernah sampai pada kejujuran. Aku
k. Tapi ia tetap ada. Dan ada itu... cukup berarti ketika aku mulai belajar
*
menghampiriku. Duduk tanpa bicara. Membiark
ah, ya," ka
Rak. Apalagi kalau terlalu lama menun
nya, tidak dengan bingung, tapi
a pengakuan. Sebab aku tahu, kalaupun cinta itu ada, tapi tak berani diun
meski dia tetap berdiri di belaka
as daring, tapi aku tetap datang untuk bertemu dosen pembimbing. Langit
hitam tiba-tiba menaungiku dari atas. Saat aku menoleh, Raka berdiri di samping
nya datar, tapi nadanya seperti meny
"Aku... nggak, tap
ongnya cepat. Tapi langkahnya
antara kami. Tapi di sisi tubuhku yang bersisian dengannya, aku bisa merasakan bahwakan berpamitan. Tapi ia justru menahan le
apa-apa," katanya akhirnya.
terd
at kamu, aku nggak perlu bilang apa-apa. Ta
masih deras. Tapi duni
li kamu sama Arfan. Aku pengen nyamperin, tap
bungkam. Menunggu... berharap ada k
pi aku takut. Takut kehilangan, jadi aku milih diam.
rimis yang tertiup angin, atau karena hatiku ya
ah. "Kamu tahu berapa lama
nduk. "
h. Raka yang tak lagi menahan. Raka yang akhirnya mem
al yang harus diperjuangkan. Karena di antara kami
.. apakah hatiku masih bisa tinggal di tempat ya
ka berdiri begitu dekat. Napas kami nyaris bertabrakan, dan j
rgetar. "Kalau kamu masih marah, kecewa... aku terima. Aku cuma,
kutahan, seluruh pertanyaan yang pernah kusimpan sen
mata dan menatapn
ikku. "Cuma... aku lelah menunggu seseorang ya
ka bergeta
ampu menahan senyum kecil yang
yuran hujan, di tengah dunia yang seolah berhenti sejenak
ragu, tapi tulus. Lembut. Seolah semua rasa yang
g waktu yang menyesal. Tentang jarak yang akhirnya
ayung yang nyaris tak berguna, dan du
Tapi ini adalah awal dari k
elukannya,
. Bahkan saat kamu di
*
ama yang berakhir bahagia lalu semua menjadi sempurna. Tapi
a. Tapi kali ini, ia menggenggam tanganku sebelum berpisah. Tak berkata apa-apa, hanya tersenyum
jemputku lebih pa
a aku takut kamu nggak percaya lagi kalau aku bena
an. "Kamu telat
ku cicil waktu
ku masih merasa ingin bertanya, kenapa dulu kamu diam begitu lama? Tapi aku ta
le Maps, Raka yang diam-diam suka puisi meski selalu bilang "nggak ngerti beginian," dan Raka yang kalau menyukai
seperti ia yang tak kunjung membalas pesan karena lup
sekarang...
bersembunyi
ami duduk di taman kampus sambil berbagi teh panas dan
kasih,"
leh. "Un
l, bahkan saat aku n
linya, aku melihat versi Raka yang utuh y
anji kamu satu hal,
pa
gi cinta d
mendekat, mengecu
u cinta... d