aun baru berwarna nude keemasan membungkus tubuhnya dengan anggun, hasil belanja siang tadi yang ia paksakan demi menuruti keinginan Victor. Rambutnya ia tata sederhana namun ele
i dadanya. Di lantai atas, terdengar samar suara Victor yang masih berbicara di telepon-nada suaranya serius, penuh
eks. Ia merapikan gaunnya sekali lagi dan merapatkan genggaman pada tas kecil di tangannya. Matanya
atung sejenak, memandangi istrinya dari atas hingga bawah. Tat
hal sekaligus?" ucapnya tajam, setiap kata seperti pisau dingin yang mengiris. "Lihatla
wajahnya menegang, tapi ia
i ini, mana bisa kau menar
an suara yang pelan namun terdengar tegas, ia bertanya lirih, "Kau sebenarnya meng
Dengan langkah besar ia mendekat, dan tanpa aba-aba-ta
!" bentaknya. Naf
i karena aku. Setidaknya, kau bisa balas budi dengan berkontribusi dalam kerja sama ini. Jan
buhnya menegang, dan matanya melebar. Dalam beberapa detik itu, ia benar-benar merasa sep
u-b
Selina terhempas ke sofa. Suara bentura
leher yang terasa panas dan nyeri luar biasa, sedangkan matanya menatap nadi... ia hampir
ina sempat merasa-kematian bukan lagi hal yan
ih hidup. Un
.. menuju perjamuan yang entah akan menyiks
di lehernya. Napasnya belum sepenuhnya stabil, tapi ia tahu-ia h
kat rak sepatu, ia membenahi rambut yang sedikit berantakan dan merapikan riasan yang sempat luntur d
gan tiba-tiba menyeringai tipis lalu be
a berpenampilan se
di cermin. Ia kemudian berbalik, melangkah perlahan mendekat. Matanya menatap t
ya ke atas, perlahan, hingga tampak jelas luka-luka lebam membiru y
. "Jika kau tidak keberatan dengan memar yang kau buat sendiri ini, aku bisa mengenakannya saa
tapi setiap katanya me
h tan
perla
u. Rahangnya mengeras, tampak terguncang, tapi tidak bisa membantah. Ses
langsung berjalan keluar tanpa sepatah kata lagi, menjemput mala
ka dan tertutup d
, lalu menghembuskan napas pan
ini... ia ber
pi hatinya perlahan mulai menemukan
--
eksklusif malam ini. Vila itu berdiri gagah dengan lampu-lampu taman berkilauan yang menyala temaram, menciptakan suasana hangat namun berkelas. Di halaman belakangnya terbentang taman lu
anah berumput, membuat langkahnya agak goyah. Ia sempat meraih lengan Victor untuk menggandeng-namun yan
ua pengawal tinggi besar yang berjaga di gerbang
a waktu untuk merasa sedih. Dengan langkah cepat dan sedikit terseok karena sepatu yang tak bersahabat, ia berusaha
tamu undangan. Pria-pria gagah dalam balutan jas hitam berdiri berkelompok sambil memegang gelas kristal, tertawa, berbicara soal bisnis, saham, dan k
ski dalam hatinya ia merasa kecil di tengah lautan manusia berpengaruh ini. Ia berjalan berdampingan deng
satu pria berperut buncit, berambut perak, hingga pengusaha muda dengan senyum manipulatif menyambut mereka. Victor me
ngguk bila perlu, berusaha menjadi sosok istri yang anggu
berharap menemukan ketenangan di antara keramaian
u
dalam benaknya. Hanya satu yang menghantui setiap denyut jantungnya. Pria yang hanya se
hu itu. Tapi pikirannya men
ah keramaia
merasa
se

GOOGLE PLAY