tahu. Kekuatan untuk tetap tersenyum, bahkan ketika dunia terasa enggan untuk membalas. Mata indahnya, bagai danau tenang di pagi hari, memancarkan kedamaian dan sedikit jejak kesedihan ya
buah kecelakaan tragis, itu yang ia dengar dari Ibu Asih, kepala panti yang berwajah teduh dan selalu wangi melati. Tidak ada sanak saudara, baik dari pihak ibu maupun ayah, yang pernah datang menjenguknya, apalagi mengulurkan tangan untuk mengasuhnya. Dunia terasa seperti sebuah lingkaran tertutup, di mana Azura
selalu merasakan perbedaan. Ia melihat anak-anak lain sesekali dijenguk oleh paman, bibi, atau bahkan kerabat jauh. Ia melihat binar di mata mereka saat menerima hadiah atau pelukan dari dunia luar. Azura tidak pernah m
uaranya yang lembut, selembut beludru. Suara itu adalah anugerah baginya. Setiap kali ia berbicara, ada ketenangan yang menyebar, menenangkan hati pendengarnya. Para sukarelawan yang sering berkunj
derhana: ingin bekerja, mendapatkan uang, dan membalas budi Ibu Asih yang sudah mengasuhnya selama ini. Ia ingin membangun Panti Harapan yang lebih baik, dengan fasilitas yang lebih
ah semua anak terlelap, Azura akan duduk di teras panti, di bawah cahaya rembulan yang samar, membaca buku atau sekadar memandang bintang. Pada saat-saat itulah, topeng keceriaannya sedikit longgar. Kesedihan itu akan merayap keluar, membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia temukan jawabannya. M
ntara deretan rumah sederhana di sekitar panti. Seorang pria berjas hitam keluar dari kursi penumpang depan, membuka pintu belakang, dan mempersilakan seorang pria lain keluar. Pria
k kejam. Konon, ia adalah sosok yang tak kenal ampun, ambisius, dan tak segan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Orang-orang menyebutnya "Serigala Hitam", karena ma
mbil alih sebagian lahan di dekat panti. Kabar itu sudah membuat Ibu Asih pusing tujuh keliling, karena akan ada penyesuaian besar yang harus dilakukan
emegang selang air, merasa jantungnya berdebar tak karuan. Ia belum pernah melihat pria semengerikan ini secara langsung. Revan melirik sekilas ke arah Azura yang berdiri mematun
an masalah lahan. Azura, setelah selesai menyiram bunga, masuk ke dalam untuk membantu Mbak Siti di dapur. Ia bisa men
Asih keluar. Revan terlihat akan segera pergi, namun pandangannya kemb
" suara Revan ber
itu Azura, Nak. Salah satu anak asu
bertabrakan sejenak dengan mata Revan yang tajam. I
elas air?" perintah Revan, suaranya s
gan tangan sedikit gemetar, Azura menuangkan air dingin ke dalam gelas,
ya lembut dan lirih, seolah takut m
ik tangannya, merasa seperti tersengat listrik. Revan tidak meminum air itu. Ia hany
uara, nadanya sedikit berubah, tidak
kin dalam. Jantungnya berdebar tak keruan. Pujian dari Revan Aksa
li sunyi setelah kepergiannya, namun aura dingin yang ia tinggalkan masih terasa. Azura merasa lega, namun di sa
dengan penawaran untuk merenovasi seluruh panti, membangun fasilitas baru, dan menjamin keberlangsungan hidup anak-anak hingga mereka dewasa. Ib
amitha. Beliau ingin menjadikan Nona Azura istr
usan itu dengan tatapan tak percaya. "Apa?
idupan Nona Azura dan juga keberlangsungan panti asuha
ngin dan mengerikan itu? Ini pasti mimpi buruk. Azura menangis, menolak keras. Ia tidak mengenal pria
menetes. "Tapi pikirkanlah. Panti ini... anak-anak ini. Jika kita menolak, sia
erlalu besar, jaringannya terlalu luas. Ia bisa menghancurkan panti ini hanya dengan satu kedip
ura mengangguk. "Baiklah,
asa seperti kutukan. Ia membayangkan hidupnya di samping Revan, sebuah kehidupan yang pasti jauh dari impian sederhana tentang kebahagiaan. Azura tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, namun ia tahu, hi