lemari pakaian, membolak-balik blus dan rok yang tergantung rapi, namun tak satu pun terasa pas untuk acara makan malam ini. Bukan karena ia bingung memilih pakaian terb
ahun ia berusaha mati-matian, mengerahkan seluruh jiwa dan raganya, mencoba mengisi kekosongan hati suaminya dengan cintanya yang meluap-luap. Mencoba menepis kerag
an. Hanya sebuah kalimat singkat yang terasa seperti pernyataan: "Lina, aku ingin kau menjadi istriku." Saat itu, Lina merasakan kebahagiaan yang meluap. Rian, pria dingin dan karismatik yang selalu memikat perhatiannya sejak mereka kuliah, akhirn
gan taman yang selalu terawat dan mobil-mobil terbaru yang terparkir rapi di garasi. Mereka sering bepergian ke luar negeri, menginap di hotel-hotel bintang lima, dan makan malam di restoran-restoran eksklusif. Di mata teman-teman dan
rumah, ia akan menghabiskan waktu di ruang kerjanya, berinteraksi dengan laptopnya, seolah-olah pekerjaannya adalah satu-satunya entitas yang menarik perhatiannya. Komunikasi di antara mereka minim. Percakapan terbatas pada hal-
i tugas, seperti rutinitas yang harus diselesaikan. Tidak ada gairah, tidak ada kelembutan, tidak ada tatapan memuja yang sering Lina baca di novel-nove
lebih nyaman, bahkan mengenakan pakaian-pakaian seksi di malam hari. Ia mencoba menjadi istri yang sempurna, yang patuh, yang selalu tersenyum, y
ngi Arka. Ia memenuhi semua kebutuhan Arka, membelikan mainan mahal, menyewa pengasuh terbaik, dan memastikan Arka mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, cinta itu terasa berbeda. Lebih seperti kewajiban seorang ayah, bukan pancaran kasih sayang yang tulus dari lubuk hati. Rian bermain dengan Ark
rka? Ia merindukanmu," Lina pernah mencoba berbic
Aku sedang sibuk, Lina. Kau tahu sendiri pekerjaanku tidak bisa di
marah, kecewa, dan lelah. Lela
nya terlihat begitu palsu sekarang, senyum yang merefleksikan harapan yang hancur. Ia ingat bisikan ibunya sebelum ia menikah: "Lina, cinta itu penti
an tidurnya. Foto-foto lama yang tak sengaja ia temukan di laci meja Rian, senyum manis seorang wanita dengan mata berbinar, membuat hatinya remuk redam. Wanita itu adalah Maya. Rian tak pernah menyingkirkan kenangan itu. Bahkan, ada beberapa barang kecil di ruang kerja Rian yang ia tahu adalah
a-tiba menghilang. Tidak ada yang tahu pasti alasannya, hanya desas-desus bahwa Maya melanjutkan studi di luar negeri dan memutuskan hubungannya dengan Rian secara sepihak. Setelah itu, Rian berubah. Ia menjadi lebih tertutup, lebih dingin, lebih fokus pada pekerjaan
adanya, dengan segala kekurangan dan sifat dinginnya. Ia berharap, ketulusannya itu akan membuka hati Rian, melelehkan es ya
alah
tapi juga batin. Ia sering menangis dalam diam, membenamkan wajahnya di bantal agar isakannya tidak terdengar oleh Arka yang tidur di kamar sebelah, atau oleh
utuhan. Kebutuhan akan seorang istri yang bisa merawat rumah dan anak, kebutuhan akan citra keluarga yang utuh di ma
p dalam ilusi. Ia tak bisa lagi berpura-pura bahagia. Ia tak bisa lagi menipu dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, Rian ak
akhirnya ia melihat kenyataan, betapa pun pahitnya. Lega karena ia tak p
u. Ia berhenti berusaha menarik perhatian Rian. Ia berhenti mencoba mengisi kekosongan. Ia berhenti berharap. Ia hanya menja
agaimana caranya. Perceraian? Pikiran itu selalu muncul, namun selalu ia tepis. Bagaimana dengan Arka? Bagaimana deng
erdering. Nomor tak dikenal.
al
sa asing namun familiar. Le
ni aku,
ukan kenangan, namun tak pernah sungguh-sungguh mati. Daniel. Cinta pertamanya. Pria yang dulu pernah mengisi hatiny
bangun keluarga kecil yang bahagia. Namun, takdir berkata lain. Daniel harus pindah ke luar negeri mengikuti orang tuanya yang mendadak dipindahtugaskan. Mereka berjanji untuk tetap berhubungan, untuk menunggu, tapi jarak dan waktu mengikis segalanya. Perlahan, komunikasi mereka merenggang, hingga akhirnya terputus sama sekali. Lina hancur saat itu. H
uruh sarafnya. Mengoyak dinding pertahanan y
u tidak percaya ini
kembali ke Jakarta. A
Daniel tidak bertanya tentang pernikahannya, atau tentang Rian. Ia hanya bertanya tentang dirinya, tentang kehidupannya, tentang perasaannya. Dan Lina, tanpa sadar,
tawa mereka, sentuhan Daniel yang lembut, janji-janji yang mereka ucapkan. Ia tidak pernah benar-benar melupakan Daniel. Hanya saja ia telah menguburnya dalam-dalam, berharap bisa mengabaikan keberadaannya. Namun kini, setel
ereka bersama. Merelakan Rian, suaminya yang tak pernah mencintainya, bersama Maya, wanita yang selalu bertahta di hatinya. Dan merelakan dirinya, membiarkan Daniel masuk kembali, dan mungkin, membuka pintu menuju kebahagiaan yang selama ini ia dambakan. Sebuah pilihan yang sulit, namun ia tahu, ia tak p