Arya adalah salah satu kejutan itu. Dijodohkan, ya. Sebuah konsep yang terdengar kuno di era modern ini, namun itulah yang terjadi padanya. Keluarga mereka punya ikatan persahabatan yang
elah beberapa generasi, justru kemba
nggantung di udara. Ayah dan ibunya duduk berhadapan dengan orang tua Arya. Arya sendiri duduk di sofa tunggal, ekspresinya sulit dibaca. Kir
ak Danang, memecah keheningan. "Kami i
tau mungkin, tentang kerja sama yang lebih besar antara perusahaan ayah mereka. Pikiran itu ter
ut Ibu Arya, Bu Santi, nadanya lembut namun
rik Arya, mencari reaksi. Lelaki itu hanya diam, tatapan kosong menatap ke depan. Tidak
rana akhirnya memberanikan diri be
gguk. "Ya, Nak. Ini untuk kebai
api: mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya, mandiri, dan perlahan meniti karier. Menikah? Apal
Kirana lagi, kali ini
, Bu Rina, mencoba menenangkan. "Kalian sama-sama cerdas, dari keluarga yang
ar, tanpa emosi. "Jika itu memang keingi
sa-sisa harapan Kirana. Bagaimana bisa seseorang menerima keputusan sebesar ini tanpa pe
akdirnya sendiri. Di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang samar tentang Arya. S
egah, tamu-tamu penting, senyum-senyum palsu, dan janji suci yang diucapkan di hadapan Tuhan. Kirana mengucapkannya dengan bera
ebuah rumah minimalis modern di pusat kota. Kirana berusaha keras membangun suasana. Ia memasak, membersihkan rumah, dan sesekali mencoba mengajak Arya berbicara tentang hal
ini adalah caranya mengatasi situasi. Jadi, Kirana mencoba bersabar, berharap seiring waktu, h
i kantor. Sesekali, ia akan tertawa kecil mendengar lelucon Kirana. Mereka bahkan pernah berlibur bersama, dan di sana, Kirana melihat sisi lain Arya yang
secara alami. Namun, Kirana adalah orang yang setia. Sekali ia berkomitmen, ia akan memberikannya yang terbaik. Ia p
r di telepon, ada sedikit nada khawatir. Malam i
. Kamu tidur duluan saja, ya," jaw
ku buatkan sup han
repot-repot,
Hati-hati di jalan ya,"
sedikit, Arya menunjukkan perhatian padanya, meskipun itu hanya berupa ucapan terima kasih atas sup yang ia buat, a
Arya semakin sering pulang larut, bahkan di hari-hari yang sebelumnya ia habiskan di rumah. Alasan yang diberikan semakin beragam
p ke bawah. Dan terkadang, Kirana mendengar nada notifikasi pesan masuk di tengah malam, nada yan
mandi. Kirana melihat nama penelepon: "Zia". Sebuah nama yang tidak pernah Arya sebutkan sebelumnya. Entah mengapa, tan
angkat
irana terdengar
uah suara perempuan, lembut tapi t
Arya," Kirana
suara itu lagi, kali ini lebih din
lan te
ise di muka bumi. Mengapa ada nada kaget? Mengapa ia langsung memutus telepon? Otak Kiran
inggangnya, Kirana sudah duduk di tepi ranjang, ponse
rya bertanya, meliha
a bertanya balik,
enjadi tegang. Ia menatap ponselnya, lalu
r mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Klien baru yan
kat, mencoba meraih tangan Kirana. "Bu
a menarik tangannya. "Jel
alu, ia duduk di sebelah Kirana, mengusap waja
a tertahan.
ai berbicara, suaranya pelan, nyaris berbisik
tnya luar biasa, menusuk hingga ke tulang. Ke
a kamu menikahiku, Arya? Kenapa kamu mengatakan janji su
idaknya, itulah yang Kirana lihat. "Pernikahan ini... kamu tahu kan, ini perjodo
ra Kirana meninggi, air matanya tumpah ruah. "Kamu tega
ha. Aku sungguh berusaha untuk melupakannya. Aku berusaha men
saha dengan masih berhubungan dengan dia? Berusaha dengan membohongiku s
ami hanya sesekali berkomunikasi. Tapi kemudian... dia kembali hadir d
ana bisa seseorang yang ia cintai, yang ia coba bangun kebersam
kamu bilang meeting mendadak, kamu bersamanya?"
idak selalu. Tapi
n, satu tahun perjuangan Kirana untuk membuka hatinya, satu tahun ia berusaha menc
dari ranjang, air mata terus mengalir di pipin
annya lagi, tapi Kirana mundur. "Aku tahu aku sala
a. "Pilihanmu jelas, Arya. Setia pada istrimu, atau
ya tiba-tiba berkata, suarany
pengakuan yang menghancurkan hatinya? Kata-kata itu te
rkata pelan. "Jika kamu mencintaiku,
menangis hingga kelelahan. Arya mencoba mengetuk pintu, memohon untuk
bisa lagi menanggung beban ini sendiri. Ibunya terkejut mendengar cerit
yah Kirana berkata dengan suara b
ku tidak ingin memperpanjang masalah
erpisah. Ia meminta maaf berkali-kali, mengatakan bahwa ia akan memutuskan hubungan dengan Zia. T
lam, saat Arya terus berusaha berbicara denganny
Arya menjawab. "Aku akan membuk
a seperti dua orang asing. Kirana mencoba fokus pada dirinya sendiri, pada rencana-rencana yang dulu ia
i, mudah lelah, dan nafsu makan yang berubah. Awalnya ia mengira itu hanya efek stres. Tapi
-diam. Dengan tangan gemetar, ia melakuka
baru hadir dalam rahimnya. Perasaan campur aduk menyerbu dirinya. Antara ke
ni sendirian? Apakah ia harus memberitahu Arya
ata. Ada janin di sana, buah cintanya dengan Arya, terlepas dari se
memiliki kondisi kesehatan tertentu. Kirana selalu memiliki riwayat anemia kronis dan tekanan darah rendah. Ia tahu, dengan kondisi tu
harapan untuk memiliki seseorang yang bisa ia cintai sepenuh hati tanpa syarat. Sebuah ba
ikir, untuk merencanakan langkah selanjutnya. Ia tidak ingin Arya mengetahui ini sekarang, di tengah keretak
menjalani kehamilan ini dengan aman. Ia akan mencari kekuatan dari dalam diri
a yang kini disimpan rapat-rapat oleh istrinya, rahasia yang akan mengubah segalanya. Ia masih sibuk dengan pekerjaannya, sesekali melamun tentang Zia, mencoba memutuskan apakah ia h
benar pupus, atau akan ada keajaiban yang menyatukan mereka kembali dalam sebuah ikatan yang tulus? Dan bagaimana nasi