i yang baru diseduh memenuhi ruangan kecil itu, bercampur dengan aroma samar krim vanila yang masih tercium di tangannya. Di bali
kek, warisan neneknya, berdetik dengan presisi yang mengerikan. Ia tahu apa
mnya dalam hati samb
ukulan: surat penggusuran. Batas waktu: tiga puluh hari untuk membayar utang atau m
eja agar tidak jatuh. Segala yang ia perjuangkan untuk tetap hidup
knya ada di sana, dalam ingatannya, mengenakan celemek bermotif bunga, tangannya tetap tena
, cinta, dan sejumput keyakinan. Resepnya tak pern
bangku untuk mencapai meja. Selalu terpesona menyaksika
tanya lagi ke arah toko roti yang kosong. "Aku ber
nggan? Saat itu, hampir tak ada yang datang. Bel pintu berde
gis. Senyum yang dipaksakan, meskipun tak seorang pun
akangnya. Ia datang untuk mengamb
darkan tongkatnya di meja. "Masih sendi
r, memaksakan senyum. Ia mengambil kotak putih berhias pi
ilo cokelat murni berisi briga
ua itu tertawa, meremas tangan Clara. H
ut, merasakan kehangatan yang sangat d
gizinkannya, Nyonya
itu tak lebih dari setetes air di lautan yang bocor. Setelah tetangganya pergi, C
g yang menggema di ruangan kecil itu. Ia
Martins, se
emudian, terdengar suara
Clara
Y
n serah terima kunci jika utang tidak dibayar tepat waktu." Clara merasakan amarah membuncah di dalam dirinya, membakar kulitnya. Itu bukan sekadar pemberitahuan. Itu adalah sebuah penghakiman. Dan siapa
rusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Mereka t
mi sarankan Anda untuk mencapai kesepakatan
g berkabut, papan nama tua bergoyang tertiup angin: Confeitaria Martins - Sejak 1978. Sepotong sejarah keluarga, sepotong dir
enelan harga diriku d
senyum sedingin es, mata yang selalu tahu ke mana harus menusuk. Pewaris semua ini. Pria yang dulu ham
eolah neneknya bisa mendengarnya. "Aku tak
permen dan melihat ke mesin kasir. Sebuah gestur kecil, tetapi cukup untuk mengingatkan dir
agi gadis ketakutan yang bersembunyi di balik meja kasir. Ia kini seorang